Hari itu sabtu sore. Ayah
langsung meminta Mama menelepon rumah sakit untuk mencari tahu; apakah ada
dokter spesialis yang praktek malam ini. Ada. Parktek dari jam 18.30
sampai 21.00. Maka setelah selesai sholat Magrib Ayah langsung berangkat
bersama Kakak menuju ke Rumah Sakit. Waktu belajar kemarin, kakak merasakan
sakit dibelakang telinganya.
Ada benjolan kecil yang bisa diraba disana. Sudah dibawa ke dokter sekolah. Dan dokter sekolah merujuknya ke dokter spesialis. Kakak baru bicara ke Ayah dikeesokan harinya. Maka Ayah buru-buru membawanya kerumah sakit begitu tahu ada dokter spesialis yang praktek. Ayah. Sangat menghargai ilmu. Dan profesionalisme orang lain. Dan Ayah. Tidak pernah keberatan untuk membayar orang lain secara layak. Yaa.. seperti halnya Ayah juga ingin dihargai dan dibayar layak oleh orang lain. Sebagai syaratnya ya tentulah Ayah mesti bekerja dengan sebaik-baiknya. Karena bekerja, bukan sekedar mencari uang belaka.
Bekerja itu adalah melayani hamba-hamba kesayangan Tuhan. Maka bekerja itu adalah amanah. Yang dipercayakan kepada kita, oleh orang lain atau klien atau perusahaan yang memberi pekerjaan itu. Kata Ayah, nggak main-main loh amanah itu. Ternyata, kualitas pribadi seseorang kelihatan dari caranya menjaga amanah itu. Hanya pribadi mulia yang memuliakan amanah yang diembannya. Dan sebaliknya.
Ada benjolan kecil yang bisa diraba disana. Sudah dibawa ke dokter sekolah. Dan dokter sekolah merujuknya ke dokter spesialis. Kakak baru bicara ke Ayah dikeesokan harinya. Maka Ayah buru-buru membawanya kerumah sakit begitu tahu ada dokter spesialis yang praktek. Ayah. Sangat menghargai ilmu. Dan profesionalisme orang lain. Dan Ayah. Tidak pernah keberatan untuk membayar orang lain secara layak. Yaa.. seperti halnya Ayah juga ingin dihargai dan dibayar layak oleh orang lain. Sebagai syaratnya ya tentulah Ayah mesti bekerja dengan sebaik-baiknya. Karena bekerja, bukan sekedar mencari uang belaka.
Bekerja itu adalah melayani hamba-hamba kesayangan Tuhan. Maka bekerja itu adalah amanah. Yang dipercayakan kepada kita, oleh orang lain atau klien atau perusahaan yang memberi pekerjaan itu. Kata Ayah, nggak main-main loh amanah itu. Ternyata, kualitas pribadi seseorang kelihatan dari caranya menjaga amanah itu. Hanya pribadi mulia yang memuliakan amanah yang diembannya. Dan sebaliknya.
Jam 19.00 Ayah sampai di rumah
sakit, lantas bergegas menuju ke ruang praktek dokter. Ternyata, dokternya belum
datang. Kata suster, biasanya datang sekitar jam delapan malam. Kakak yang
cerdas itu spontan berkata;”Katanya jam setengah tujuh….” Maklum, Kakak kan
masih kecil. Jadi ceplas-ceplos kalau bicara. Tapi Ayah juga begitu kok. Jam
delapan, suster memberi tahu bahwa dokternya masih dalam perjalanan. Baru sampai
sekitar setengah Sembilan. Ya udah deh sabar saja. Pokoknya malam ini bisa
konsultasi kepada ahlinya, dan mendapatkan penjelasan yang memuaskan.
Ketika giliran dipanggil tiba,
Ayah dan Kakak segera masuk ke ruang periksa. Lalu dokter memeriksa seperti
biasanya. Setelah itu, Ayah bertanya;”Dok, sakit apa anak saya?”
Sebagai seorang ahli, tentu
saja dokter bisa bicara banyak sekali. Namun, dalam bahasa awam bisa dirangkum
menjadi satu kalimat kira-kira begini;”Untuk mengetahui penyakitnya diperlukan
foto ronsen….”
Ya sudah, kami bergegas ke lab
ronsen. Mendaftar. Difoto. Lalu diminta menunggu sekitar setengah
jam. Ayah sih tidak keberatan. Demi kesembuhan anaknya. Tapi ada masalah lain.
Ayah melihat dokter ahli itu keluar dari lift lalu pulang. Katanya, hari senin
aja penjelasan hasil foto ronsennya. Wah, berarti Ayah tidak bisa mencapai
tujuannya untuk mendapatkan pandangan dokter ahli itu tentang penyakit anak
kesayangannya. Tapi manusia kan mesti sabar. Tidak boleh grusa grusu. Apalagi
menyulitkan orang lain untuk menolongnya. Lho, tapi kan bayar? Iya. Meskipun
kita membayar, tapi tidak berarti kita boleh merampas hak orang lain.
Maka Ayah dan Kakak pun pulang. Sambil bersabar untuk menunda rasa ingin
tahunya sampai hari senin.
Belajar dari pengalaman
sebelumnya. Senin malam ini Ayah tidak terlalu buru-buru. Santai saja perginya
karena yakin kalau dokter itu akan datang seperting kemarin. Nggak bakalan lebih
cepat. Kalau kata Ayah, itu berkaitan dengan pola mental kita. Jika kita sudah
terbiasa datang terlambat, maka akan sangat sulit untuk datang tepat waktu. Coba
saja lihat. Dikantor, orang yang suka terlambat itu ya orangnya yang itu-itu
juga kan? Jadi benar kata Ayah. Maklum Ayah kan seorang trainer yang dulunya
juga pernah bekerja sebagai professional di perusahaan global yang besar.
Pengalaman Ayah, membuat argumennya sulit dibantah. Malam itu pun, kata-kata
Ayah terbukti lagi. Tapi bedanya, sekarang Ayah dan Kakak tidak perlu
tergesa-gesa berangkat dari rumah. Begitulah salah satu hikmah ketika kita bisa
memahami orang lain. Nggak ada kesal. Yang adalah adalah antisipasi.
Giliran Kakak pun tiba. Dokter
ahli itu membaca lembaran hitam di kotak putih dengan lampunya yang terang.
Kelihatan tuch hasil foto ronsennya. Ayah, memperhatikan wajah dokter itu dengan
seksama. Kayaknya, Ayah sedang mempraktekkan ilmu tentang membaca air muka.
Bener loh. Kita bisa membaca pikiran orang lain dari raut wajahnya. Tapi, Ayah
juga tidak sadar kalau ada orang lain yang memperhatikan wajah Ayah sehingga
bisa tahu apa yang Ayah pikirkan waktu itu. Intinya, Ayah mengira jika dokter
ahli itu belum menemukan penyakit yang dialami Kakak. Tapi nggak tahu juga sih,
itu kan hanya tebakan dari hasil mengamati wajah Ayah. Mungkin juga wajah Ayah
begitu karena cemas saja.
Dokter mamatikan lampu di kotak
putih itu. Lalu memutar kursinya kearah Ayah. “Hmmmh… katanya…” menghela nafas.
“Kenapa ya?” lanjut dokter itu. Wajah Ayah menampakkan pikirannya lagi. Ayah
bilang dalam hatinya;”Wah, dokter ini nggak tahu soal ini…” Tapi Ayah nggak
mungkin mengatakan itu kan? Itulah manfaatnya memahami hubungan antara pikiran,
perasaan dengan raut wajah seseorang. Kita nggak perlu menginterogasinya untuk
mengetahui pikiran dan perasaannya kan?
“Kita observasi sajalah Pak…”
kata dokter. “Dilihat saja kalau benjolannya semakin membesar, ya kita periksa
lagi.” Lanjutnya. “Sekarang sakitnya masih kerasa, nggak?” katanya lagi. Kali
ini melihat kepada Kakak yang membalasnya dengan kata ‘nggak’. “Nanti kalau
terasa sakit lagi, kita periksa lagi Pak…” kembali ditatapnya wajah Ayah.
Ada beberapa dialog antara Ayah
dan dokter. Namun, raut wajah Ayah kembali memberitakan bahwa dirinya sudah
tidak perlu terlalu banyak lagi bicara dengan dokter ahli itu karena hanya akan
mendengarkan pengulangan kalimat seperti yang sebelum-sebelumnya. Maka Ayah dan
Kakak pun pamit. Tetap dengan rasa hormat dong. Karena dokter itu telah berusaha
menolong kami. Kita kan nggak bisa memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu
melampaui kemampuannya. Dan tentu, bukan perkara mudah untuk mendiagnosis suatu
penyakit. Maka meskipun Ayah tidak mendapatkan informasi yang diharapkannya,
tetap saja berterimakasih banyak kepada dokternya.
“Langsung ke kasir ya Pak…”
kata suster yang mengantar keluar ruang praktek.
‘Oh, mungkin ada uang
pendaftaran,’ begitu Ayah berpikir. Wajar dong untuk membayar uang pendaftaran.
Kecuali jika Rumah Sakit itu mau bermurah hati menggratiskannya. Tapi kan nggak
apa-apa juga dong kalau tetap menerapkan tarif daftar.
Sesampai dikasir, Ayah langsung
menyerahkan dokumen yang dikasih suster di poli. “Tidak ada resep ya Pak?” tanya
petugas kasir.
“Nggak Mbak, karena kami kesini
hanya untuk menanyakan hasil ronsen yang belum dijelaskan dokter.” Begitu jawab
Ayah. “Hari Sabtu lalu dokternya keburu pulang….”
Petugas itu mengiyakan. Lalu
‘ketek, ketek, ketek’ bunyi keyboard computer mengiringi gerakan jemari
tangannya. “Seratus delapan puluh ribu rupiah, Pak” katanya.
“M-maaf suster…” kata Ayah.
“Untuk biaya apakah pembayaran itu…?” lanjutnya.
“Untuk biaya konsultasi dengan
dokter Pak…” jawabnya.
“M... Begini suster. Dua hari
lalu, saya konsultasi kepada dokter itu, beliau minta ronsen, dan beliau sudah
pulang sebelum pekerjaannya selesai.” Ayah menjelaskan. “Apakah tidak aneh masih
kena biaya konsultasi lagi? Kalau saya berobat, atau konsultasi soal lain memang
mesti bayar kan. Ini saya meminta penjelasan dokter tentang apa yang kami
konsultasikan dua hari sebelumnya yang belum saya dapatkan?” Ayah kalau sudah
nyerocos susah direm.
“Iya tapi kan Bapak ke dokter
lagi hari ini. Jadi harus bayar lagi….” Jawabnya.
“Lho, mestinya kan dokter itu
tidak pulang dulu sebelum pekerjaannya selesai sabtu kemarin?” jelas Ayah.
“Kalau tahu begini saya akan minta dokter itu menunggu sampai hasil ronsen
selesai.” Dulu Ayah pernah menjadi anak berandal gitu deh. Dan sekarang gaya
bicaranya hampir mirip seperti dulu.
Petugas itu menelepon. Dari
hasil menguping, dia bicara dengan suster di poli spesialis. Agak lama sih. Dan
Ayah nggak mau menguping lebih jauh lagi.
“Iya Pak, barusan saya sudah
konfirmasi kepada dokternya. Kata beliau setiap kali bertemu dengan dokter ya
harus membayar……” katanya. Sekarang wajahnya menunjukkan perasaan yang tidak
menentu. “Maaf ya Pak….” Tambahnya.
“Maaf ya Mbak, ini bukan soal
uang.” Kata Ayah, sambil mengeluarkan sarana pembayaran. “Insya Allah, saya
masih bisa membayarnya.” Lanjutnya sambil menyerahkannya kepada petugas. “Tapi,
dimanakah letak tanggungjawab professional seorang dokter dan rumah sakit?”
Begitulah Ayah kalau ‘penyakitnya’ sedang kambuh.
Sudahlah Ayah. Petugas itu
hanya menjalankan perintah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya Ayah
memegang tangan Kakak. Itu jauh lebih baik dibandingkan dengan menceramahi orang
lain yang tidak bisa mengubah kebijakan atau ketidakbijakan seseorang.
Alhamdulillah. Ayah tidak tertarik lagi untuk bicara. Setelah menyelesaikan
urusan pembayaran itu, Ayah pulang.
Memang sih, Ayah tidak bisa
menemukan apa yang dicarinya soal penyakit Kakak. Tapi malam ini Ayah
mendapatkan pelajaran berharga. Tentang betapa besarnya manfaat menjaga amanah,
alias menjalankan tanggungjawab professional yang dipikulnya. Ayah teringat
orang-orang yang sangat dihargai dikantornya. Mereka adalah orang-orang yang
mempunyai reputasi tinggi sebagai orang-orang yang menuntaskan tanggungjawabnya
dengan penuh dedikasi. Bukan orang-orang yang semata-mata menuntut ‘duite
endhi?!’
Ayah juga teringat kepada
orang-orang dikantor yang bekerja hanya sebatas mengharapkan imbalannya duluan.
Biasanya mereka bekerja alakadarnya saja. Yaaah…cuman digaji segini ya kerjanya
segini saja. Malahan Ayah tahu ada saja orang yang sengaja mengulur-ulur waktu
agar jam kerjanya lebih lama. Dengan begitu dibayar lebih banyak. Mereka lupa,
bahwa reputasinya justru malah memburuk dengan sikap tidak amanah itu.
Dan Ayah melihat bahwa
orang-orang yang menjalankan amanahnya secara penuh, selalu berusaha untuk
mencurahkan seluruh kemampuan dirinya. Agar bisa menyelesaikan penugasan alias
amanah yang sudah diberikan kepadanya. Dan Ayah menyaksikan, bahwa orang-orang
seperti ini punya reputasi yang tinggi, sekaligus penghasilan yang tinggi.
Merekalah yang menurut kitab suci mendapatkan imbalan di dunia. Dan memperoleh
pahala diakhirat. Yaitu mereka, yang bekerja bukan semata-mata mengejar uang.
Melainkan melayani hamba-hamba kesayangan Tuhan; agar bisa memperoleh manfaat
sebesar-besarnya dari interaksinya dengan dirinya. Merekalah yang membuat Tuhan
suka.
Sehingga Tuhan senantiasa menjaga orang-orang itu. Seperti dilukiskan dalam firmanNya dalam surah 23 (Al-Mu’minuuun) ayat 8 : “Yaitu, orang-orang yang memelihara amanah-amanah yang dipikulnya, dan janjinya…..”
Sehingga Tuhan senantiasa menjaga orang-orang itu. Seperti dilukiskan dalam firmanNya dalam surah 23 (Al-Mu’minuuun) ayat 8 : “Yaitu, orang-orang yang memelihara amanah-amanah yang dipikulnya, dan janjinya…..”
Ketika lulus kuliah, setiap
dokter membacakan sumpah. Sungguh sangat agung bunyi sumpah itu. Sebagiannya
berbuyni kira-kira seperti ini:
Demi Allah, saya bersumpah bahwa :
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan;
Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima
kasih yang selayaknya; Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang
berhormat dan bermoral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; Kesehatan
penderita senantiasa akan saya utamakan; ……….
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan mempertaruhkan kehormatan diri saya.
Raut wajah Ayah mengabarkan
jika didalam hatinya Ayah berkata;”Saya kan bukan dokter!” Lalu raut wajah itu
berubah sebaliknya. Ayah sadar, bahwa tandatangan yang dibubuhkannya dalam
setiap kontrak kerja. Atau dalam surat pernjajian kerjasama dengan kliennya,
pada hakekatnya adalah janji yang Ayah ikrarkan untuk bekerja sebaik-baiknya.
Dan untuk janji itu, Tuhan akan memperhitungkannya. Tuhan memberikan imbalannya, seperti dalam kelanjutan firman itu pada ayat ke-10 dan ke-11 ini: “Mereka orang-orang yang akan mewarisi surga firdaus. Mereka kekal didalamnya….”
Dan untuk janji itu, Tuhan akan memperhitungkannya. Tuhan memberikan imbalannya, seperti dalam kelanjutan firman itu pada ayat ke-10 dan ke-11 ini: “Mereka orang-orang yang akan mewarisi surga firdaus. Mereka kekal didalamnya….”
Ketika sampai di parkiran, Ayah
tersenyum. Sambil bertekad didalam hatinya. Untuk menjalankan amanah
professional yang dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Karena sekarang Ayah semakin
sadar, bahwa pekerjaan yang ditekuninya ini bukanlah semata-mata untuk menjadi
sumber nafkah didunia saja. Melainkan juga jalan yang dibukakan Tuhan agar bisa
memasuki surga yang disediakannya bagi orang-orang yang bekerja, untuk melayani
orang lain dengan sebaik-baiknya. Yaitu melayani, hamba-hamba kesayangan
Tuhan.