Apa itu coaching?
Mari kita mulai dari sini. Dari sebuah pertanyaan yang pasti akan
ditanyakan oleh orang awam. Dan kala kita tanya kembali, “Apa yang pernah Anda
dengar tentang coaching?” jawaban yang mungkin muncul adalah: olah raga.
Ya, istilah coach dan coaching memang amat erat dengan dunia olah
raga. Tak salah memang, sebab coaching yang kita maksud dalam artikel ini memang
sedikit banyak ada kaitannya dengan yang ada di dunia olah raga. Ada kaitannya,
tentu ada pula bedanya.
Jamak kita dapat bahwa dalam olah raga, coach bukanlah pemain. Coach
pun bahkan bukan mantan pemain. Ada coach yang kalaupun pernah bermain, tidak
pernah cemerlang. Ia cemerlang kala menjadi coach. Sebaliknya, mudah pula kita
temukan mantan pemain cemerlang serupa Michael Jordan yang tak kinclong kala
menjadi coach. Maka mudah kita simpulkan, menjadi coach memerlukan keahlian
tersendiri. Coaching adalah sebuah ilmu khusus, yang kala tak dikuasai mantan
pemain yang ingin menjadi coach, ia takkan sukses. Sisi lain, bukan pemain namun
menguasai ilmu coaching, bisa jadi sukses sebagai coach.
Apa yang dilakukan seorang coach kalau demikian?
Nah, ini bedanya. Seorang coach dalam olah raga, umumnya memiliki
kapasitas untuk mengajari. Dan sangat sering kita melihat mereka memberi
instruksi. Namun coaching yang kita maksudkan di sini bukan yang serupa itu.
Adalah Timothy Gallwey, seorang pelatih tenis yang disebut-sebut
mempopulerkan paradigma baru tentang coaching. Dulu, ia melatih dengan
mengajari. Namun ia kemudian menemukan bahwa seorang atlet bukan tidak mampu
menunjukkan performa karena tidak tahu caranya, melainkan karena ada sesuatu
yang terjadi dalam dirinya yang menghambat. Maka ia pun mengubah gaya
coaching-nya, tidak lagi mengajari, menjadi memfasilitasi. Ia lebih banyak
mengajukan pertanyaan, yang kemudian mengajak para atlet menemukan jawabannya
sendiri. Singkat cerita, jadilah pendekatan ini sebuah buku bertajuk “The Inner
Game of Tennis”. Saya sangat merekomendasikan para pembelajar coaching untuk
menyelami buku ini.
Menariknya, ia kemudian menyadari bahwa pendekatan ini tidak hanya
bisa diaplikasikan dalam dunia olah raga. Ia bisa menggunakannya bahkan untuk
melakukan coaching terhadap—salah satunya—para musisi. Musik bukanlah
keahliannya. Namun serangkaian pertanyaan yang ia ajukan rupanya membantu para
musisi menemukan jawaban atas kondisi mereka. Jadilah ia menulis serangkaian
buku-buku lain dengan tajuk depan “The Inner Game of”.
Segeralah pendekatan coaching serupa ini menjadi bahan kajian yang
massif di era 90-an. Lalu terbentuklah salah satu asosiasi coaching yang kini
masih terbesar di dunia, International Coach Federation (ICF).
Sampai di sini, coaching yang kita maksud bukanlah cara untuk
mengajari. Maka coaching, bukanlah training. Jika bukan training yang umumnya
berbentuk kelas, coaching pun bukan mentoring yang masih serumpun dalam soal
pengajaran meski bentuknya adalah satu lawan satu.
Jika coaching bukan training dan mentoring, lalu apa?
Banyak orang kemudian terbingungkan membedakan coaching dengan
terapi atau konseling. Apa pasal? Ya karena keduanya tampak seperti percakapan
yang sama. Yang membedakan, dan ini sungguh jauh, adalah apa yang terjadi dalam
percakapan itu. Terapi atau konseling, umumnya adalah percakapan untuk
menyelesaikan sebuah permasalahan psikologis. Dalam bahasa mudahnya, terapi atau
konseling membantu klien untuk berpindah dari kondisi minus (memiliki masalah)
ke kondisi netral (nol, tidak mengalami masalah).
Nah, sebuah situasi baru kemudian muncul. Setelah seseorang tidak
memiliki masalah psikologis, apakah lalu ia sehat?
Di titik inilah kemudian coaching menunjukkan peranannya. Orang yang
sehat, rupanya memiliki kebutuhan yang berbeda. Kebutuhan untuk
mengaktualisasikan diri, untuk berekspresi, untuk berkontribusi melalui
performanya. Inilah kebutuhan yang disebut Abraham Maslow sebagai aktualisasi
diri. Bedanya dengan orang yang perlu terapi, kebutuhan model ini tidak pernah
terpuaskan. Maka menggunakan psikoterapi atau konseling untuk membantu orang
yang ingin mencapai tujuan yang besar sungguh sebuah kekeliruan, karena terapi
dan konseling didasarkan pada teori-teori yang lahir dari riset terhadap klien
klinis. Sedang, klien yang sehat, dan ingin maju keluar dari zona nyamannya,
memerlukan metode yang didasarkan pada riset terhadap orang-orang sehat,
orang-orang yang telah mengaktualisasikan dirinya.
Dalam bahasa mudahnya, kalau terapi membantu klien kembali ke titik
normal, maka coaching membantu klien berpindah dari titik normal ke titik yang
ia ingin tuju.
Ah, bukankah training dan mentoring pun demikian?
Betul. Hanya saja, karena training dan mentoring merupakan proses
pengajaran, maka titik paling tinggi yang mungkin dicapai oleh klien adalah
titik yang ada dalam materi training itu, atau titik yang menjadi puncak
pengalaman sang mentor. Padahal, bisa jadi klien memiliki tujuan lain, atau
berpotensi mencapai lebih dari itu. Maka dalam coaching, proses yang terjadi
adalah fasilitasi, sehingga klien kemudian akan menemukan sendiri bahwa ia mampu
mencapai apa yang menjadi tujuannya.
Inilah sebab mengapa 2 keterampilan utama dalam coaching adalah
mendengar dan bertanya. Mendengar untuk memahami
klien, bertanya untuk memfasilitasinya dalam melebarkan dan mendalamkan
pemahaman, sehingga memungkinkannya melakukan hal-hal yang berbeda, dan ujungnya
mencapai hasil yang berbeda pula.
Apakah artinya orang bisa mengalami coaching hanya jika ia berada
dalam kondisi ‘sehat’ dan memiliki pengetahuan dasar yang memadai?
Ya. Inilah yang disebut dengan coachability. Kesiapan klien
untuk keluar dari zona nyamannya, ditantang, bergerak, berinisiatif, melakukan
hal-hal yang berbeda. Orang yang sedang ‘sakit’ tentu belum siap untuk menjalani
proses ini. Begitu pun orang yang belum memiliki pengetahuan dasar yang
diperlukan.
Mengapa coaching?
Alasan sederhana dan paling mudah adalah ini. Menurut Anda, mana kah
yang lebih besar populasinya, orang yang sedang sakit atau sehat?
Meskipun memang orang yang sakit tak bisa dibilang sedikit, namun
secara perkiraan jumlahnya tetap lebih sedikit daripada orang sehat. Kalau
tidak, lalu siapa yang menjalankan dunia sekarang? Hehe..
Lagi. Di organisasi, mana yang jumlahnya lebih banyak: orang yang
mengalami masalah psikologis sehingga terhambat dalam bekerja, atau orang sehat
yang perlu dibantu untuk mencapai target-targetnya?
Tentu pula yang kedua.
Artinya, coaching jauh lebih banyak diperlukan dibanding terapi,
konseling, training, dan mentoring. Eit, jangan salah kira. Bukan yang lain tak
penting. Hanya kebutuhannya—sebenarnya—tidak sebanyak coaching.
Sungguh pengalaman kami dalam berbagai organisasi menunjukkan jauh
lebih banyak orang yang sudah tahu apa yang dilakukan, tapi belum juga bergerak,
daripada orang yang tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maka coaching, jauh
lebih banyak dibutuhkan kini, ketika kita mengharapkan produktivitas yang lebih
tinggi, kepuasan dan keseimbangan hidup yang lebih baik, karakter yang lebih
kokoh, pemimpin yang berintegritas tinggi.
Labels:
NLP