Kepada orang baik kita menilai baik. Begitu juga orang lain yang menilai kita baik, jika kita sering berbuat baik. Wajar kan? Karena sudah menjadi sebuah kewajaran, maka mestinya kita tidak lagi mengharapkan hal itu kan? Kan balasan atau pujian dari orang-orang otomatis bakal datang pada seseorang yang gemar melakukan kebaikan. Tapi kenapa ya, masih saja ada orang yang tidak percaya itu? Buktinya, masih banyak orang yang melakukan berbagai kebaikan, terus menutut orang lain untuk membalas kebaikan itu? Bukan hanya di musim pemilu atau pemilukada fenomena itu terjadi. Di hari-hari biasa juga banyak. Dan kita, mungkin termasuk orang yang seperti itu. Masalah apa tidak, kira-kira ya? Entahlah. Menurut Anda, bagaimana?
Sudah dua hari tidak ada pesan yang masuk ke BB saya. Biasanya, ada cukup banyak pesan berharga dari keluarga dan teman. Namun sepi dari pesan juga ada baiknya sih. Soalnya, lebih dari separuh pesan yang masuk biasanya berisi jualan produk-produk yang tidak saya butuhkan. Jadi, selama 2 hari tanpa pesan itu saya merasa asyik-asyik aja. Baru sadar kalau ada masalah ketika saya mengirimkan pesan kepada istri saya untuk mengingatkan; agar anak sulung kami diberi minum madu. Hari itu dia sedang kurang fit kelihatannya. Saya baru sadar dikeesokan harinya kalau pesan itu tidak pernah terkirim. Wah, tak bisa diandalkan nih gadget.
Ternyata memang benar. Dia tidak bisa mengirim maupun menerima pesan. Padahal, langganan unlimited masih berlaku. Rasa penasaran mendorong saya searching diinternet untuk mencari solusinya. Dapat. Lalu, proses kotak katik pun dimulai. Tidak berhasil juga. Mengganti SIM card, menjadi pilihan berikutnya. Dasar gaptek, tampaknya ada langkah salah yang telah saya lakukan sehingga…terjadilah yang mesti terjadi. Semua data saya hilang. Semuanya. Termasuk daftar contact, tentunya. Ganjalan di hati juga timbul karena dalam gadget itu ada puluhan artikel yang ditulis dalam perjalanan atau ketika menunggu jadwal penerbangan yang delay-nya sering nggak karu-karuan. Padahal, hampir setiap detik ada saja gagasan yang melintas dalam benak ini. Hilang semua, berikut data apapun yang tersimpan didalamnya. Semua musnah. Dalam sekejap saja.
Sama seperti amalan dan perbuatan baik. Kita mengira sudah mengumpulkan banyak pahala atas kebaikan-kebaikan yang selama ini kita lakukan. Memang benar. Setiap kebaikan yang kita lakukan, meskipun seukuran debu atau lebih kecil dari itu; ada perhitungannya. Kebaikan berbalas kebaikan, sedangkan keburukan pasti – hukumnya mutlak – berbalas keburukan. Kita tentu bukan orang buruk, sehingga kehidupan ini senantiasa kita hiasi dengan kebaikan. Maka wajarlah jika kita mengira sudah banyak pahala yang tersimpan dalam pundi-pundi amal salih ini.
Kita boleh berharap balasan kebaikan atas kebaikan yang kita lakukan. Tidak usah ragu untuk berharap begitu. Toh Tuhan pun senang jika hamba-hambaNya mengharapkan kebaikan dari sisiNya. Bukankah Tuhan itu maha baik? Maka setiap kali kita mengharapkan kebaikan dariNya pasti akan disambut dengan penerimaan yang indah. Kita, sudah menabung banyak sekali catatan baik dari amal baik kita. Dan pundi-pundi kebaikan kita mungkin sudah hampir penuh dengan pahala.
Gadget saya ini pun hampir dipenuhi dengan berbagai data, daftar contact, dan ide-ide yang saya tuangkan kedalamnya setiap kali dikepala ini melintas suatu gagasan. Namun hari itu, hanya dalam sekejap mata; semuanya hilang. Musnah. Sirna. Dan tidak dapat dikembalikan lagi seperti sedia kala. Sahabatku, tabungan pahala amal baik kita pun bisa bernasib serupa. Kita merasa sudah menabung banyak pahala, namun tabungan pahala itu hilang begitu saja hanya dengan satu – saya ulang; hanya dengan satu – kesalahan. Sudahkah Anda mengetahui satu kesalahan yang bisa menghapuskan pahala amal baik itu?
Hanya diperlukan satu kesalahan untuk menghilangkan semua data dalam gadget saya. Yaitu; menekan tombol ‘reset’. Artinya, saya mereset semua setingan dalam gadget itu kembali kepada ‘factory defaultnya’ yang kosong melompong. Hanya diperlukan satu kesalahan pula untuk memusnahkan semua tabungan pahala kita. Yaitu; memelihara sifat ‘riya’. Artinya, kita melakukan setiap kebaikan itu dengan tujuan ingin mendapatkan penilaian baik alias pujian dari orang lain. Seolah Tuhan, bukanlah tujuan utama kita. Kita berharap orang-orang disekitar kita mengagumi kita. Atau…, memilih kita untuk menduduki suatu kedudukan tertentu.
Maka tidak heran jika dalam kondisi ekstrim, kita sering melihat orang-orang berbuat kebaikan yang dipublikasikan di tivi, di koran, diinternet, di kalender, dibuku, dimana saja. Tujuannya supaya orang lain kagum, lalu percaya bahwa mereka pantas untuk diberi kepercayaan jika meminta dipilih untuk jabatan tertentu.
“Gue kan tidak pernah ikutan kampanye memperebutkan kursi jabatan.” Kita yang orang biasa ini bisa bilang begitu. Duh lega rasanya terbebas dari sifat riya, ya? Insya Allah, bisa terhindar dari amal yang sia-sia. Tapi jangan salah loh. Yang namanya godaan itu, disesuaikan dengan kedudukan setiap individu. Godaan kepada Anda, mungkin lebih tinggi dibandingkan godaan kepada saya. Memang begitu, jika derajat keimanan Anda lebih tinggi dari saya. Atau kekayaan Anda lebih banyak dari saya. Atau jika peran Anda dimasyarakat lebih besar dari saya. Meskipun begitu, boleh jadi cobaan yang saya hadapi dalam aspek lain justru lebih berat daripada Anda.
Itu berarti bahwa siapapun kita. Dan dalam posisi apapun. Kaya, miskin. Pejabat atau orang biasa. Pasti mendapatkan godaan yang setara dengan kondisi masing-masing. Maka tidak ada orang yang digoda lebih berat atau lebih ringan. Semua sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Si A digoda dengan ini. Si B digoda dengan itu. Sedangkan si C yang tingkatannya lebih tinggi lagi mungkin digoda dengan ini dan itu. Namun semua orang yang melakukan banyak kebaikan, jenis godaannya identik. Tidak beda sama sekali. Yaitu; bagaimana dia, bisa terhindar dari sifat riya.
Seperti tombol reset dalam gadget saya. Sifat riya itu bisa menjadikan setiap amalan baik kita direset menjadi nol, alias kosong melompong. Bedanya dengan gadget saya, semua data yang ada didalamnya hilang. Tidak peduli apakah data itu baik atau buruk. Semuanya dimusnahkan. Kalau efek dari riya, beda. Hanya kebaikan yang hilang menjadi nol lagi. Sedangkan keburukan-keburukan kita bertambah. Kenapa keburukan justru bertambah? Karena sifat riya itu sangat dibenci oleh Tuhan.
Bayangkan misalnya seseorang melakukan kebaikan kepada Anda. Tujuan orang itu menolong Anda adalah; supaya khalayak mengetahui betapa baiknya dia. Betapa dermawannya dia, dengan ‘berlaku baik’ kepada Anda itu. Bagaimana sih perasaan Anda? Minimal Anda merasa diperalat kan? Kalau pun Anda mau menerimanya, itu karena desakan kebutuhan. Toh dalam hati Anda bisa bilang; “Per-evil deh dengan semua niat dia. Yang penting desakan kebutuhan gue terselesaikan…” kan begitu.
Bagaimana seandainya kitalah yang justru berbuat kebaikan sambil mengatakan ikhlas karena Allah. Padahal jauh dilubuk hati yang paling dalam kita mengharapkan pujian dari orang-orang. ‘Karena Allah’ hanya sebatas jargon. Simbol-simbol agama dijadikan sarana penarik simpati. Dan Allah, diposisikan sebagai obyek penderita untuk mempengaruhi opini publik. Maka pantas dong jika Allah marah sekali kepada orang yang berbuat baik namun didasari oleh sifat riya. Jangankan hanya amal baik biasa. Sholat saja, jika dilakukan dengan riya; dibalas Allah dengan murka yang berat. Itu tertera jelas didalam kitab suci. Apalagi cuman sekedar sedekah, menaburkan rupiah, atau membagi-bagikan sembako. Keciiiiiil nilainya dihadapan Ilahi.
Maka berhati-hatilah dengan bisikan hati yang mendekatkan kita dengan sifat riya. Karena jika sampai kita terkena sifat riya itu, maka semua pahala amal baik kita akan direset menjadi nol. Sedangkan kemurkaan Tuhan akan bertambah banyak. Sungguh rugi sekali jika kebaikan yang kita lakukan ini justru berbalaskan kemurkaan Tuhan, bukan?
Itulah sebabnya dalam sebuah majlis ilmu Rasulullah berkata; “Sesungguhnya, salah satu hal yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil….” Para sahabat pun bertanya; “Ya Rasulullah, apakah gerangan yang engkau maksudkan dengan syirik kecil itu?” Lalu Sang Nabi bersabda;”Sifat riya….”
Nasihat Nabi itu sejalan dengan firman Tuhan dalam surah 2 (Al-Baqarah) ayat 9. Begini bunyinya; “Mereka itu hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” Kita, termasuk menipu diri sendiri jika berpura-pura baik kepada orang lain, padahal didalam hati; kita menyembunyikan niat-niat untuk mengambil keuntungan dari mereka. Atau hanya sekedar bisikan kecil berupa keinginan untuk mendapatkan pujian dari orang-orang yang kita beri kebaikan itu.
Jadi sahabatku, jika menginginkan pahala yang sesungguhnya atas setiap kebaikan yang kita lakukan; kita mesti ikhlas dengan sebenar-benarnya ikhlas karena Allah. Tentu bukan dengan rajin mengulang kata ‘saya ikhlas’. Melainkan dengan memastikan bahwa hati kita mempersembahkan semuanya untuk mengharapkan keridoan Ilahi. Karena hanya itu, yang bisa menjamin balasan terbaiknya bisa kita dapatkan. Sedangkan yang selain itu – apapun bentuknya – hanyalah sebuat tombol reset, yang jika kita menyentuhnya sekali saja; akan menjadikan semua kebaikan itu sia-sia saja. Karena pahalanya, menjadi nol lagi; begitu kita menekan tombol riya itu. Kebaikan apa yang sedang Anda lakukan sekarang? Sudah siap menjaga pahalanya tetap ada? Insya Allah ya.
Sudah dua hari tidak ada pesan yang masuk ke BB saya. Biasanya, ada cukup banyak pesan berharga dari keluarga dan teman. Namun sepi dari pesan juga ada baiknya sih. Soalnya, lebih dari separuh pesan yang masuk biasanya berisi jualan produk-produk yang tidak saya butuhkan. Jadi, selama 2 hari tanpa pesan itu saya merasa asyik-asyik aja. Baru sadar kalau ada masalah ketika saya mengirimkan pesan kepada istri saya untuk mengingatkan; agar anak sulung kami diberi minum madu. Hari itu dia sedang kurang fit kelihatannya. Saya baru sadar dikeesokan harinya kalau pesan itu tidak pernah terkirim. Wah, tak bisa diandalkan nih gadget.
Ternyata memang benar. Dia tidak bisa mengirim maupun menerima pesan. Padahal, langganan unlimited masih berlaku. Rasa penasaran mendorong saya searching diinternet untuk mencari solusinya. Dapat. Lalu, proses kotak katik pun dimulai. Tidak berhasil juga. Mengganti SIM card, menjadi pilihan berikutnya. Dasar gaptek, tampaknya ada langkah salah yang telah saya lakukan sehingga…terjadilah yang mesti terjadi. Semua data saya hilang. Semuanya. Termasuk daftar contact, tentunya. Ganjalan di hati juga timbul karena dalam gadget itu ada puluhan artikel yang ditulis dalam perjalanan atau ketika menunggu jadwal penerbangan yang delay-nya sering nggak karu-karuan. Padahal, hampir setiap detik ada saja gagasan yang melintas dalam benak ini. Hilang semua, berikut data apapun yang tersimpan didalamnya. Semua musnah. Dalam sekejap saja.
Sama seperti amalan dan perbuatan baik. Kita mengira sudah mengumpulkan banyak pahala atas kebaikan-kebaikan yang selama ini kita lakukan. Memang benar. Setiap kebaikan yang kita lakukan, meskipun seukuran debu atau lebih kecil dari itu; ada perhitungannya. Kebaikan berbalas kebaikan, sedangkan keburukan pasti – hukumnya mutlak – berbalas keburukan. Kita tentu bukan orang buruk, sehingga kehidupan ini senantiasa kita hiasi dengan kebaikan. Maka wajarlah jika kita mengira sudah banyak pahala yang tersimpan dalam pundi-pundi amal salih ini.
Kita boleh berharap balasan kebaikan atas kebaikan yang kita lakukan. Tidak usah ragu untuk berharap begitu. Toh Tuhan pun senang jika hamba-hambaNya mengharapkan kebaikan dari sisiNya. Bukankah Tuhan itu maha baik? Maka setiap kali kita mengharapkan kebaikan dariNya pasti akan disambut dengan penerimaan yang indah. Kita, sudah menabung banyak sekali catatan baik dari amal baik kita. Dan pundi-pundi kebaikan kita mungkin sudah hampir penuh dengan pahala.
Gadget saya ini pun hampir dipenuhi dengan berbagai data, daftar contact, dan ide-ide yang saya tuangkan kedalamnya setiap kali dikepala ini melintas suatu gagasan. Namun hari itu, hanya dalam sekejap mata; semuanya hilang. Musnah. Sirna. Dan tidak dapat dikembalikan lagi seperti sedia kala. Sahabatku, tabungan pahala amal baik kita pun bisa bernasib serupa. Kita merasa sudah menabung banyak pahala, namun tabungan pahala itu hilang begitu saja hanya dengan satu – saya ulang; hanya dengan satu – kesalahan. Sudahkah Anda mengetahui satu kesalahan yang bisa menghapuskan pahala amal baik itu?
Hanya diperlukan satu kesalahan untuk menghilangkan semua data dalam gadget saya. Yaitu; menekan tombol ‘reset’. Artinya, saya mereset semua setingan dalam gadget itu kembali kepada ‘factory defaultnya’ yang kosong melompong. Hanya diperlukan satu kesalahan pula untuk memusnahkan semua tabungan pahala kita. Yaitu; memelihara sifat ‘riya’. Artinya, kita melakukan setiap kebaikan itu dengan tujuan ingin mendapatkan penilaian baik alias pujian dari orang lain. Seolah Tuhan, bukanlah tujuan utama kita. Kita berharap orang-orang disekitar kita mengagumi kita. Atau…, memilih kita untuk menduduki suatu kedudukan tertentu.
Maka tidak heran jika dalam kondisi ekstrim, kita sering melihat orang-orang berbuat kebaikan yang dipublikasikan di tivi, di koran, diinternet, di kalender, dibuku, dimana saja. Tujuannya supaya orang lain kagum, lalu percaya bahwa mereka pantas untuk diberi kepercayaan jika meminta dipilih untuk jabatan tertentu.
“Gue kan tidak pernah ikutan kampanye memperebutkan kursi jabatan.” Kita yang orang biasa ini bisa bilang begitu. Duh lega rasanya terbebas dari sifat riya, ya? Insya Allah, bisa terhindar dari amal yang sia-sia. Tapi jangan salah loh. Yang namanya godaan itu, disesuaikan dengan kedudukan setiap individu. Godaan kepada Anda, mungkin lebih tinggi dibandingkan godaan kepada saya. Memang begitu, jika derajat keimanan Anda lebih tinggi dari saya. Atau kekayaan Anda lebih banyak dari saya. Atau jika peran Anda dimasyarakat lebih besar dari saya. Meskipun begitu, boleh jadi cobaan yang saya hadapi dalam aspek lain justru lebih berat daripada Anda.
Itu berarti bahwa siapapun kita. Dan dalam posisi apapun. Kaya, miskin. Pejabat atau orang biasa. Pasti mendapatkan godaan yang setara dengan kondisi masing-masing. Maka tidak ada orang yang digoda lebih berat atau lebih ringan. Semua sesuai dengan tingkatannya masing-masing. Si A digoda dengan ini. Si B digoda dengan itu. Sedangkan si C yang tingkatannya lebih tinggi lagi mungkin digoda dengan ini dan itu. Namun semua orang yang melakukan banyak kebaikan, jenis godaannya identik. Tidak beda sama sekali. Yaitu; bagaimana dia, bisa terhindar dari sifat riya.
Seperti tombol reset dalam gadget saya. Sifat riya itu bisa menjadikan setiap amalan baik kita direset menjadi nol, alias kosong melompong. Bedanya dengan gadget saya, semua data yang ada didalamnya hilang. Tidak peduli apakah data itu baik atau buruk. Semuanya dimusnahkan. Kalau efek dari riya, beda. Hanya kebaikan yang hilang menjadi nol lagi. Sedangkan keburukan-keburukan kita bertambah. Kenapa keburukan justru bertambah? Karena sifat riya itu sangat dibenci oleh Tuhan.
Bayangkan misalnya seseorang melakukan kebaikan kepada Anda. Tujuan orang itu menolong Anda adalah; supaya khalayak mengetahui betapa baiknya dia. Betapa dermawannya dia, dengan ‘berlaku baik’ kepada Anda itu. Bagaimana sih perasaan Anda? Minimal Anda merasa diperalat kan? Kalau pun Anda mau menerimanya, itu karena desakan kebutuhan. Toh dalam hati Anda bisa bilang; “Per-evil deh dengan semua niat dia. Yang penting desakan kebutuhan gue terselesaikan…” kan begitu.
Bagaimana seandainya kitalah yang justru berbuat kebaikan sambil mengatakan ikhlas karena Allah. Padahal jauh dilubuk hati yang paling dalam kita mengharapkan pujian dari orang-orang. ‘Karena Allah’ hanya sebatas jargon. Simbol-simbol agama dijadikan sarana penarik simpati. Dan Allah, diposisikan sebagai obyek penderita untuk mempengaruhi opini publik. Maka pantas dong jika Allah marah sekali kepada orang yang berbuat baik namun didasari oleh sifat riya. Jangankan hanya amal baik biasa. Sholat saja, jika dilakukan dengan riya; dibalas Allah dengan murka yang berat. Itu tertera jelas didalam kitab suci. Apalagi cuman sekedar sedekah, menaburkan rupiah, atau membagi-bagikan sembako. Keciiiiiil nilainya dihadapan Ilahi.
Maka berhati-hatilah dengan bisikan hati yang mendekatkan kita dengan sifat riya. Karena jika sampai kita terkena sifat riya itu, maka semua pahala amal baik kita akan direset menjadi nol. Sedangkan kemurkaan Tuhan akan bertambah banyak. Sungguh rugi sekali jika kebaikan yang kita lakukan ini justru berbalaskan kemurkaan Tuhan, bukan?
Itulah sebabnya dalam sebuah majlis ilmu Rasulullah berkata; “Sesungguhnya, salah satu hal yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah syirik kecil….” Para sahabat pun bertanya; “Ya Rasulullah, apakah gerangan yang engkau maksudkan dengan syirik kecil itu?” Lalu Sang Nabi bersabda;”Sifat riya….”
Nasihat Nabi itu sejalan dengan firman Tuhan dalam surah 2 (Al-Baqarah) ayat 9. Begini bunyinya; “Mereka itu hendak menipu Allah dan orang-orang yang beriman. Padahal mereka hanya menipu dirinya sendiri, sedangkan mereka tidak menyadarinya.” Kita, termasuk menipu diri sendiri jika berpura-pura baik kepada orang lain, padahal didalam hati; kita menyembunyikan niat-niat untuk mengambil keuntungan dari mereka. Atau hanya sekedar bisikan kecil berupa keinginan untuk mendapatkan pujian dari orang-orang yang kita beri kebaikan itu.
Jadi sahabatku, jika menginginkan pahala yang sesungguhnya atas setiap kebaikan yang kita lakukan; kita mesti ikhlas dengan sebenar-benarnya ikhlas karena Allah. Tentu bukan dengan rajin mengulang kata ‘saya ikhlas’. Melainkan dengan memastikan bahwa hati kita mempersembahkan semuanya untuk mengharapkan keridoan Ilahi. Karena hanya itu, yang bisa menjamin balasan terbaiknya bisa kita dapatkan. Sedangkan yang selain itu – apapun bentuknya – hanyalah sebuat tombol reset, yang jika kita menyentuhnya sekali saja; akan menjadikan semua kebaikan itu sia-sia saja. Karena pahalanya, menjadi nol lagi; begitu kita menekan tombol riya itu. Kebaikan apa yang sedang Anda lakukan sekarang? Sudah siap menjaga pahalanya tetap ada? Insya Allah ya.
Labels:
INSPIRASI