Sembari Anda duduk dan membaca tulisan ini, Anda bisa mulai memikirkan sebuah pengalaman yang paling lucu yang pernah Anda alami. Lihatlah dengan mata kepala Anda sendiri apa yang terjadi ketika itu. Dengarkan dengan seksama suara atau musik apa saja yang muncul. Rasakan kembali perasaan yang Anda pada saat itu sepenuhnya.
Ambil waktu Anda, dan nikmati Anda kembali pada masa itu.
Sekarang, keluarlah dari pengalaman tersebut. Saya tidak tahu persis bagaimana Anda akan melakukannya, namun jadikan pengalaman itu sebagai sebuah film yang sedang diputar di bioskop dan Anda duduk di bangku penonton menontonnya. Lihatlah film Anda dari sudut pandang seorang penonton dan dengarkan suara atau musik yang muncul dari sound system di gedung bioskop tersebut. Pada saat yang sama, rasakan apa yang Anda rasakan demi melihat kesemuanya sebagai seorang penonton.
AHA! Anda bisa merasakan perbedaanya, kan?
Bagus. Jika Anda sudah membaca tulisan-tulisan saya sebelumnya mengenai rep system dan temannya si submodality, maka ini adalah aplikasi yang sedikit lebih mendalam mengenai keduanya. Yang baru saja Anda rasakan adalah submodalitas associated dan disassociated. Associated adalah kondisi kita berada dalam konteks kita mengalami suatu kejadian tertentu. Ibarat sebuah film, maka kita menjadi aktor dari film tersebut dan karenanya kita melihat, mendengar, dan merasakan dari sudut pandang kita sendiri. Sebaliknya, disassociated terjadi ketika kita ’keluar’ dari konteks kejadian tersebut. Masih dengan metafora film, kita bisa menjadi penonton ataupun petugas bioskop yang memutar film tersebut.
Ah, petugas bioskop! Jika Anda menginginkan, Anda bisa mencoba kembali latihan di atas dengan menambahkan 1 langkah lagi, yaitu menjadi petugas bioskop yang memutar film diri Anda. Dengan demikian, Anda akan melihat diri Anda sedang duduk menonton sebuah film tentang diri Anda. Lihat film tersebut, dengarkan suara atau musik yang muncul, dan rasakan kembali demi melihat kesemuanya.
Berbeda lagi rasanya, kan?
Nah, kemampuan asosiasi-disasosiasi ini adalah salah satu keterampilan penting dalam NLP. Betapa tidak, begitu banyak teknik NLP didasarkan atas prinsip ini. Coba perhatikan, dalam kondisi associated intensitas emosi biasanya sangat tinggi, dan karenanya kita sulit untuk memahami sebuah pengalaman secara obyektif. Sebaliknya, kondisi disassociated memungkinkan kita untuk tetap merasakan emosi yang sama namun dengan intensitas yang lebih rendah dan tingkat kesadaran (consciousness) lebih tinggi sehingga bisa memahami pengalaman yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Di titik inilah kita bisa merasakan secara riil prinsip the map is not the teritory.
Loh, nyambung toh?
Jelas nyambung. Masih kembali ke uraian tentang rep system, kita tidak akan pernah bisa memahami kejadian yang kita alami, sebab kejadian itu sendiri sudah tidak murni lagi ada dalam pikiran kita. Kita melihat, mendengar, dan merasakan sensasi dari luar, lalu otak kita mengkodenya menjadi bentuk gambar, suara, dan perasaan dalam diri kita. Ditambah dengan saringan dari keyakinan (belief), nilai-nilai (value), dll, film yang ada dalam pikiran kita semakin terdistorsi dan menyesuaikan diri dengan berbagai saringan tersebut. Jadilah ia sebuah film yang tidak lagi menggambarkan kejadian aslinya, melainkan justru menggambarkan cara pandang kita sebagai penonton demi melihat kejadian tersebut.
Sedikit bingung? Tenang, contoh sekarang.
Apa yang muncul dalam benak Anda jika saya mengatakan kata ”gempa”?
Bagi Anda yang pernah mengalami gempa seperti saya, mungkin kata tersebut akan memunculkan sebuah gambaran kericuhan pada saat kejadian gempa disertai perasaan takut nan cemas yang melanda. Namun buat Anda yang tidak pernah mengalaminya, maka kata yang sama bisa jadi hanya memunculkan ingatan akan berita-berita di televisi tentang berbagai gempa yang pernah Anda lihat.
See? Sebuah kata (baca: teritori) yang sama memunculkan respon yang berbeda-beda pada tiap orang, sebab people response to their internal maps. Ya, kita tidak pernah merespon terhadap sebuah kejadian, melainkan terhadap ’peta’ yang kita miliki tentang kejadian tersebut.
Nah, disinilah associated-disassociated menjadi alat yang penting jika kita ingin memahami sebuah situasi dengan lebih obyektif. Dengan disassociated terhadap sebuah pengalaman yang ada dalam pikiran, maka kita ’melepaskan’ diri sejenak terhadap ’peta’ yang kita miliki terhadap pengalaman tersebut untuk kemudian dapat menyesuaikan ’peta’ tersebut sehingga menjadi sebuah ’peta’ yang lebih empowering.
Berminat mencoba saat ini?
Ambil waktu Anda, dan nikmati Anda kembali pada masa itu.
Sekarang, keluarlah dari pengalaman tersebut. Saya tidak tahu persis bagaimana Anda akan melakukannya, namun jadikan pengalaman itu sebagai sebuah film yang sedang diputar di bioskop dan Anda duduk di bangku penonton menontonnya. Lihatlah film Anda dari sudut pandang seorang penonton dan dengarkan suara atau musik yang muncul dari sound system di gedung bioskop tersebut. Pada saat yang sama, rasakan apa yang Anda rasakan demi melihat kesemuanya sebagai seorang penonton.
AHA! Anda bisa merasakan perbedaanya, kan?
Bagus. Jika Anda sudah membaca tulisan-tulisan saya sebelumnya mengenai rep system dan temannya si submodality, maka ini adalah aplikasi yang sedikit lebih mendalam mengenai keduanya. Yang baru saja Anda rasakan adalah submodalitas associated dan disassociated. Associated adalah kondisi kita berada dalam konteks kita mengalami suatu kejadian tertentu. Ibarat sebuah film, maka kita menjadi aktor dari film tersebut dan karenanya kita melihat, mendengar, dan merasakan dari sudut pandang kita sendiri. Sebaliknya, disassociated terjadi ketika kita ’keluar’ dari konteks kejadian tersebut. Masih dengan metafora film, kita bisa menjadi penonton ataupun petugas bioskop yang memutar film tersebut.
Ah, petugas bioskop! Jika Anda menginginkan, Anda bisa mencoba kembali latihan di atas dengan menambahkan 1 langkah lagi, yaitu menjadi petugas bioskop yang memutar film diri Anda. Dengan demikian, Anda akan melihat diri Anda sedang duduk menonton sebuah film tentang diri Anda. Lihat film tersebut, dengarkan suara atau musik yang muncul, dan rasakan kembali demi melihat kesemuanya.
Berbeda lagi rasanya, kan?
Nah, kemampuan asosiasi-disasosiasi ini adalah salah satu keterampilan penting dalam NLP. Betapa tidak, begitu banyak teknik NLP didasarkan atas prinsip ini. Coba perhatikan, dalam kondisi associated intensitas emosi biasanya sangat tinggi, dan karenanya kita sulit untuk memahami sebuah pengalaman secara obyektif. Sebaliknya, kondisi disassociated memungkinkan kita untuk tetap merasakan emosi yang sama namun dengan intensitas yang lebih rendah dan tingkat kesadaran (consciousness) lebih tinggi sehingga bisa memahami pengalaman yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Di titik inilah kita bisa merasakan secara riil prinsip the map is not the teritory.
Loh, nyambung toh?
Jelas nyambung. Masih kembali ke uraian tentang rep system, kita tidak akan pernah bisa memahami kejadian yang kita alami, sebab kejadian itu sendiri sudah tidak murni lagi ada dalam pikiran kita. Kita melihat, mendengar, dan merasakan sensasi dari luar, lalu otak kita mengkodenya menjadi bentuk gambar, suara, dan perasaan dalam diri kita. Ditambah dengan saringan dari keyakinan (belief), nilai-nilai (value), dll, film yang ada dalam pikiran kita semakin terdistorsi dan menyesuaikan diri dengan berbagai saringan tersebut. Jadilah ia sebuah film yang tidak lagi menggambarkan kejadian aslinya, melainkan justru menggambarkan cara pandang kita sebagai penonton demi melihat kejadian tersebut.
Sedikit bingung? Tenang, contoh sekarang.
Apa yang muncul dalam benak Anda jika saya mengatakan kata ”gempa”?
Bagi Anda yang pernah mengalami gempa seperti saya, mungkin kata tersebut akan memunculkan sebuah gambaran kericuhan pada saat kejadian gempa disertai perasaan takut nan cemas yang melanda. Namun buat Anda yang tidak pernah mengalaminya, maka kata yang sama bisa jadi hanya memunculkan ingatan akan berita-berita di televisi tentang berbagai gempa yang pernah Anda lihat.
See? Sebuah kata (baca: teritori) yang sama memunculkan respon yang berbeda-beda pada tiap orang, sebab people response to their internal maps. Ya, kita tidak pernah merespon terhadap sebuah kejadian, melainkan terhadap ’peta’ yang kita miliki tentang kejadian tersebut.
Nah, disinilah associated-disassociated menjadi alat yang penting jika kita ingin memahami sebuah situasi dengan lebih obyektif. Dengan disassociated terhadap sebuah pengalaman yang ada dalam pikiran, maka kita ’melepaskan’ diri sejenak terhadap ’peta’ yang kita miliki terhadap pengalaman tersebut untuk kemudian dapat menyesuaikan ’peta’ tersebut sehingga menjadi sebuah ’peta’ yang lebih empowering.
Berminat mencoba saat ini?
Labels:
NLP