Memangnya siapa yang mau mengabaikan jati dirinya sendiri? Bahkan sekedar KTP saja kita tidak berani secara sengaja mengabaikannya kan? Benar. Tetapi identitas diri kita yang sesungguhnya tidak terbatas pada apa yang tertera dalam ‘kartu identitas’ atau data diri di HRD, maupun informasi yang tersimpan di kantor catatan sipil tentang diri kita.
Jati diri kita adalah; “Siapa diri kita yang sesungguhnya”. Mungkin, sampai sekarang saya belum benar-benar paham ‘siapa sesungguhnya diri saya ini’ mengingat begitu banyaknya hal tentang diri saya yang belum dipahami seluruhnya. Bagaimana dengan Anda? Jam 9.30 hari Jumat pekan lalu saya ada jadwal meeting dengan salah satu klien di seputaran Sudirman.
Tepat jam 11.30 meeting selesai. Lantas saya sembahyang Jumat di Masjid terdekat. Setelah itu, tanpa sempat makan siang langsung meluncur ke daerah Salemba untuk pertemuan yang lain. Orang-orang yang sekitar jam dua siang itu berada daerah itu tentu mengetahui bahwa saat itu hujan lebat mengguyur Jakarta hingga pandangan nyaris tertutupi oleh curahannya. Ketika itu, saya sudah sampai di lapangan parkir. Kalau boleh memilih, saya ingin tinggal saja didalam mobil. Namun, kan lucu juga menunda pertemuan padahal kita sudah berada di parkiran? Beruntung juga ada payung. Sehingga bisa menerobos hujan. Hasilnya, saya sampai di ruang pertemuan dengan sedikit basah dibagian bawah. Tapi masih okelah, mengingat keadaannya yang memang seperti ini.
Jati diri kita adalah; “Siapa diri kita yang sesungguhnya”. Mungkin, sampai sekarang saya belum benar-benar paham ‘siapa sesungguhnya diri saya ini’ mengingat begitu banyaknya hal tentang diri saya yang belum dipahami seluruhnya. Bagaimana dengan Anda? Jam 9.30 hari Jumat pekan lalu saya ada jadwal meeting dengan salah satu klien di seputaran Sudirman.
Tepat jam 11.30 meeting selesai. Lantas saya sembahyang Jumat di Masjid terdekat. Setelah itu, tanpa sempat makan siang langsung meluncur ke daerah Salemba untuk pertemuan yang lain. Orang-orang yang sekitar jam dua siang itu berada daerah itu tentu mengetahui bahwa saat itu hujan lebat mengguyur Jakarta hingga pandangan nyaris tertutupi oleh curahannya. Ketika itu, saya sudah sampai di lapangan parkir. Kalau boleh memilih, saya ingin tinggal saja didalam mobil. Namun, kan lucu juga menunda pertemuan padahal kita sudah berada di parkiran? Beruntung juga ada payung. Sehingga bisa menerobos hujan. Hasilnya, saya sampai di ruang pertemuan dengan sedikit basah dibagian bawah. Tapi masih okelah, mengingat keadaannya yang memang seperti ini.
Jam setengah tiga sore, pertemuan itu selesai. Saya pun pamit. Sampai di lobby, hujan lebih lebat dari yang tadi. Halaman kantor sudah terendam air setinggi beberapa senti. ‘Haruskah saya menerobos hujan yang sedemikian derasnya ini?’ begitu saya bertanya pada diri sendiri. Mesti. Soalnya, jam 5 sore nanti saya punya jadwal les musik didaerah Cibubur. Nggak bakal kekejar kalau harus menunggu hujan yang entah jam berapa berhentinya ini. ‘Kalau pun sepatu basah tak apa, toh di mobil ada alas kaki lain yang memadai….’. Lalu…. Breng…. Payung itu beraksi kembali.
Sampai di dalam mobil, hanya bagian kepala dan badan saja yang tidak basah kuyup. Celana panjang, seperti habis nyemplung ke kolam dengan kedalaman hingga ke paha. Ini baru masalah. Bisa masuk angin saya jika keadaanya demikian selama sisa perjalanan. Perut ini kerubukan juga karena sampai sesore ini baru diisi dengan bekal makan pagi yang disiapkan isi saya dalam breakfast box. Badan basah, perut kosong. Gawat.
“Tuhan, apakah gerangan pelajaran yang bisa saya dapatkan dari kejadian ini?” begitu saya membatin. Sambil terus memikirkan bagaimana mengatasi celana panjang yang basah kuyup ini.
Tuhan memang selalu menyediakan jawabannya. Dia mengilhamkan untuk mencari sesuatu yang mungkin tersedia didalam mobil sebagai pengganti celana panjang ini. Siapa tahu ada celana pendek bekas fitness yang masih tertinggal. Atau ada koran bekas. Atau apa sajalah. Ndilalah. Semua yang saya harapkan itu tidak ada. Tapi sebagai gantinya, ada mukena istri saya. Alhamdulillah. Anda tahu kan, mukena itu terdiri dari dua bagian. Atasannya berupa jilbab panjang. Sedangkan bawahannya berupa kain seperti rok besar. Tak perlu berpikir terlalu lama. Celana panjang basah pun diganti dengan rok mukena itu. Sekarang saya merasa seperti baru saja ganti kelamin. Dan tahukah Anda, apa warna mukena itu? Pink!
Mungkin ini kali palajarannya ya? Apa? Emboh. Saya belum mengerti. Tapi sudahlah. Yang penting badan sudah mulai terasa hangat lagi. Anehnya…. I can truly tell you the truth. Sejak rok mukena pink itu saya kenakan; hujan angin yang sangat lebat itu sepertinya tiba-tiba saja mereda. Tinggal gerimisnya saja sehingga saya menyesal juga tidak sabar menunggunya tadi. Oh, mungkin ini pelajaran soal kesabaran barangkali ya? Kita mesti lebih sabar menunggu sesuatu hingga tuntas. Supaya bisa mendapatkan yang kita inginkan. Tetapi, kemudian batin saya mengguggat;”Apakah memang kita harus menunggu sesuatu yang tidak jelas kapan tuntasnya, padahal masih ada janji dengan orang lain yang mesti ditepati?”
Bukan. Bukan itu. Karena saya yakin bahwa Tuhan menghendaki hamba-hambaNya untuk menepati janji. Jelas sekali perintahnya dalam kitab suci. Sehingga kenekatan menerobos hujan itu adalah tindakan yang benar. Oh, mungkin ini pelajaran tentang kesediaan untuk berkorban demi menjalankan komitmen. Kita sering menemukan orang yang mudah sekali mengabaikan komitmennya kan? Alhamdulillah. Hari ini, saya mendapatkan pelajaran berharga itu. Jika sudah berkomitmen, kita mesti berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya.
Saya pun keluar dari parkiran kantor itu. Biasalah di Jakarta, untuk meninggalkan suatu gedung kita mesti melakukan putaran ini itu. Dan ajaibnya. Tepat ketika saya berada di jalur utama persis didepan kantor itu; matahari tersenyum cerah! Udara Jakarta pun panas seperti sedia kala. Sungguh. Cuaca kembali terik seperti biasanya. Saya menyesal? Emmh… tidak juga. M-maksud saya. Bukan soal menerobos hujan deras itu yang sekarang sedang mengganjal hati. Ini loh. Rok warna pink yang saya kenakan ini!
“Ganjen amat sih. Nggak apa-apa lagi, kan nggak ada yang tahu ini…” Ngaku aja deh. Anda bilang begitu didalam hati. Kata hati saya juga awalnya bilang begitu. Tapi Anda tahu kan kalau hujan berhenti di jam sibuk kota Jakarta? Jalanan tergenang air sehingga lalu lintas tersendat. Para pengendara sepeda motor yang sedari tadi pada berteduh sekarang berhamburan sekaligus seperti laron yang berebut mengerubuti lampu. Breng….. semuanya menyerbu jalanan. Penjumlahan antara genangan air dengan orang-orang yang pada berebutan dijalan menghasilkan kemacetan yang tak terbayangkan. Tapi bukan itu masalah paling parahnya buat harga diri saya. Itu loh. Para pengendara motor itu. Setiap kali pengendara motor melewati saya atau berhenti disamping saya; mereka pada melirik kedalam mobil. Mereka memperhatikan rok warna pink saya!
Jika kita pernah ketemu, tentu Anda tahu penampilan dan potongan rambut saya. Cowok banget. Kemeja kerja saya berwarna biru dengan kombinasi garis putih. Keren kalau dikenakan dengan jas dan dasi. Tapi dengan rok warna pink? Oh!
“Tuhan, apakah gerangan pelajaran yang bisa saya dapatkan dari kejadian ini?” Mengenakan rok pink itu seperti tengah mengkhianati jati diri. Gue ini cowok tulen! Tapi mata semua orang seperti tengah menggunggat;”Elo itu laki apa perempuan sih?” Pertanyaan itu nyaring terdengar lewat setiap mata yang melongok kedalam mobil. “Atau… jangan-jangan elo AC-DC!” Waduh, lebih parah lagi.
Jati dirimu itu, Dadang. Sangat penting sekali. Ini adalah pelajaran tentang siapa diri kita yang sesungguhnya. Maka jangan sekali-kali engkau mencoba mengingkari siapa dirimu sesungguhnya. Mungkin engkau tidak mengingkarinya secara langsung. Namun engkau mengenakan atribut-atribut yang tidak sesuai dengan dirimu. Berperilaku yang tidak sepantasnya engkau lakukan. Maka engkau pun, kehilangan jati dirimu sendiri. Jati diri Anda, teman-teman. Sangat penting sekali.
Baiklah. Saya mengerti. Tapi saya tidak bisa menghindar kali ini. Darurat. Bukankah dalam keadaan darurat sikap, tindakan dan perilaku kita yang kurang pas masih bisa dimaklumi? Wajar dong melakukan ini. Atau itu. Kan keadaannya darurat!
Hmmh… masih belum mengerti juga rupanya kamu ini, Dang!
Tidak ada lagi hujan sekarang. Terik Jakarta seperti sedang musim kemarau saja. Meski jalanan tergenang. Tapi dibeberapa bagian jalur yang saya lalui keadaanya benar-benar Jakarta banget! Warung makan berjejer disepanjang jalan. Sementara perut ini terus keruyuk-keruyuk. Memang sudah saatnya untuk makan. Tapi…. Bagaimana bisa masuk ke warung-warung itu jika semua mata menatap keanehan bagian bawah tubuh ini? Saya memang termasuk orang nekad dan tebel muka. Tapi tidak sampai sebegitunya kaleee…..
Malu. Itulah sebuah kata yang dipesankan oleh Rasulullah untuk terus dipegang teguh. Bukan sembarang malu. Melainkan malu yang muncul didalam hati kita, ketika kita melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Sekalipun dalam keadaan darurat kebanyakan orang mau berkompromi sampai akhirnya timbullah budaya yang serba permisif. Segala keadaan bisa disebut darurat di zaman ini. Pakailah rasa malumu. Maka, kedaruratan tidak akan mendorongmu untuk melakukan ‘segala cara’.
Tiba saatnya untuk membayar di pintu keluar toll. Kaca pintu dibuka sesedikit mungkin agar petugas tidak sempat mengintip kedalam. Jelas sekali raut wajahnya yang menyiratkan tanda tanya; ‘ini orang nyembunyiin apa sih didalam mobil…? Kok sampai sebegitunya!’ EGP!
Pintu toll segera ditinggalkan. Tapi. Indikator bahan bakar menunjukkan jika sekarang sudah saatnya mengisi lagi. Masih bisa ditunggu sampai besok, sih. Cukup. Tapi jam 5 pagi besok saya harus pergi. Maka terpaksa deh, belok dulu ke pom bensin. Masalahnya, lubang pengisian bensin ada di sebelah kiri. Kaca jendela mesti dibuka lebih lebar supaya bisa berkomunikasi dengan petugas SPBU. Nggak masalah sih sebenarnya. Tapi cara dia menatap rok pink ini yang bikin panas hati. EGP lagi deh!
Perhatikan saja. Orang-orang yang perilakunya tidak sesuai dengan jati dirinya yang sesungguhnya, selalu menutup wajahnya supaya tidak terlihat orang saat sedang disorot oleh kamera atau tengah digiring di pengadilan. Itu pertanda bahwa jika kita tidak ingin dipermalukan, maka kita perlu memastikan hanya berperilaku yang memang pantas dan sesuai dengan jati diri kita. Tapi ada kok, ‘pesakitan’ yang masih bisa senyum didepan kamera tivi. Berarti nasihat Nabi tentang rasa malu itu tidak cocok dong? Bukan tidak cocok. Tapi orangnya saja yang sudah tidak mau mendengarkan bisikan hati nuraninya sendiri. Jadi, tetap bangga, ketawa ketiwi, dan hepi-hepi aja meskipun terbukti melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan jati dirinya.
Sebentar dulu. Dari tadi kita sudah menyebut frase ‘jati diri’ beberapa kali. Tapi, jati diri apa-an sih yang kita maksudkan? Saya akan menjawab pertanyaan ini dengan firman Tuhan dalam surah 95 (At-Tiiin) ayat 4 ini : “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya….” Tentu. Baik itu bukan hanya fisiknya saja. Tapi juga ‘dalemannya’. Inilah jati diri kita yang sebenarnya. Yaitu, sebaik-baik mahluk yang Tuhan ciptakan. Maka hanya hal-hal baik saja yang cocok menjadi atribut yang menempel didalam diri kita. Hal buruk, tidak cocok. Seperti tidak cocoknya rok warna pink untuk dikenakan seorang cowok.
Bagaimana jika kita nekat? Kenekatan saya menggunakan rok pink itu sudah menunjukkan beberapa konsekuensinya. Maka ayat ke-5 firman itu berbunyi begini; “Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya….” Kita ini memang diciptakan sebagai mahluk terbaik. Begitulah jati diri kita. Namun kita, bisa saja dihempaskan hingga ke tempat paling rendah. Jika kita nekad mendandani diri kita, dengan tindakan, perilaku, dan tingkah polah yang tidak sesuai dengan jati diri kita.