Jenis-Jenis Posisi Klep Mesin 4 Tak

Tipe Side Valve (SV)/Klep samping.
Camnya terpasang pada poros engkol dan mendorong keatas untuk menggerakkan klep.
Klep-klep ditempatkan disamping piston dan oleh karena itu, ruang pembakaran dapat le­bih besar. tipe model ini memungkinkan menghasilkan perbandingan kompresi yang lebih besar dan dapat mengurangi bobot mesin.
Tipe ini coeok untuk tipe mesin putaran rendah yang banyak dipakai pada mesin industri.

Tipe Over Head Valve (O.H.V) / Klep berada diatas
Ciri utama dari tipe ini adalah klep berada diatas piston. dan digerakkan oleh "rocker arm" sehingga ruang kompresi dapat dibuat lebih kecil sehingga menghasilkan pebandingan kompresi yang tinggi. menyebabkan tenaga me sin dapat lebih besar.

Tipe Single Overhead Camshaft ( S.O.H.C )

Batang penekan bisa ditiadakan, sehingga gerakan balik dapat dinetralisir. Posisi “Cam” berada di atas dan di tengah cylinder, dan digerakkan oleh rantai penggerak yang langsung memutar cam, dimana cam memutar rocker arm. Komponen yang sedikit membuat stabil pada putaran tinggi.


Tipe Double Over Head Camshaft (D.O.H.C)
Untuk tipe ini, rocker arm ditiadakan. Klepmasuk dan klep buang dioperasikan tersendirioleh dua buah cam (Direct push type). Hambatan gerak hanya terdapat dibagian klep dibandingkan dengan tipe SOHC,"valve respon" (pergerakan klep secara spontan) lebih cepat dan akurat.

Membuat Perbedaan


Ketika hendak membeli suatu produk, kita sering dihadapkan pada beragam pilihan. Tapi, mengapa kita cenderung memilih produk tertentu? Mungkin kualitasnya lebih baik dari yang lain. Atau mungkin lebih ekonomis. Mungkin juga lebih sering muncul di tivi. Ketika berinteraksi dengan orang lain, mengapa kita cenderung melihat kepada seseorang? Tentu orang itu menarik perhatian. Tapi menariknya kenapa? Mungkin lebih rapi. Mungkin lebih tinggi. Mungkin lebih murah senyum. Dan beribu kemungkinan lainnya. Tidak soal apakah kita sedang berhadapan dengan benda, ataupun dengan sesama manusia; cara pandang kita sangat ditentukan oleh perbedaan yang bisa benda atau orang itu tunjukkan. Orang lain pun menilai kita berdasarkan perbedaan yang bisa kita perlihatkan. Pertanyaannya adalah; sudahkah Anda mampu membuat sebuah perbedaan di tempat kerja?
 
Jika harus berburu seekor kuda zebra dari sekumpulan zebra lainnya yang sedang merumput di savana, bagaimana cara Anda memilihnya?  Kalau saya, ya tinggal pilih saja satu. Toh tidak ada bedanya zebra yang saya tangkap dengan zebra yang lainnya. Yang penting dapat zebra. Tapi, jika harus menangkap pemimpin zebra itu; bagaimana cara Anda menentukan zebra mana yang harus Anda incar? Meskipun belum pernah melakukannya, tetapi saya punya satu teknik yang pasti; memilih zebra yang bergerak kearah tertentu, dan diikuti oleh zebra lainnya. Sederhana. Dan. Sesederhana itu jugalah memilih calon pemimpin di tempat kerja. Jika kita hanya bersikap dan bertindak seperti pekerja-pekerja lainnya, maka kita hanya akan menjadi zebra biasa. Tapi, jika kita sanggup melakukan sebuah perbedaan tindakan; lalu orang lain di lingkungan kerja kita mengikuti, maka para pengambil keputusan bisa melihat jika kita pemimpin zebra. Mereka akan mudah memilih kita, jika kita sanggup membuat perbedaan. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar membuat perbedaan, saya ajak memulainya dengan memahami dan menerapkan 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:
 
1.      Jika sama saja, kita tidak punya daya saing. Mari perhatikan orang-orang disekeliling kita. Perilaku mereka. Cara kerja mereka. Kedisiplinan mereka. Kegigihan mereka. Di lingkungan kerja yang bagus, biasanya orang-orangnya juga bekerja dengan standar yang bagus.  Lalu lihat lagi; apakah Anda sama bagusnya seperti mereka? Jika Anda bisa sebagus mereka tentu Anda termasuk pekerja yang hebat. Tapi, bagaimana kita bisa mengharapkan para pengambil keputusan melihat kita jika kita hanya bisa sebagus orang lain yang juga sudah bagus itu? Kita, tidak memiliki daya saing; jika hanya bisa sama bagusnya dengan orang lain. Oleh karenanya kita mesti lebih baik dari orang lain yang ada di lingkungan kerja kita. Karena, hanya dengan cara itu saja kita bisa memenangkan persaingan dengan mereka.   
 
2.      Membuat perbedaan bukan asal beda. Okelah kalau begitu, mari kita membuat sebuah perbedaan. Tapi jangan sampai terjebak oleh sikap asal beda. Pokoknya ya asal beda saja. Kan yang penting ada perbedaan, supaya orang lain mau memandang kearah kita. Hey, ingatkah Anda tentang jenis murid seperti apa yang paling dikenal di sekolah dulu? Hanya 4 jenis; (1) murid yang paling pintar, (2) murid yang paling badung, (3) yang paling cantik atau ganteng, dan (4) yang paling suka pamer kekayaan.  Di kantor, hanya berlaku 2 jenis karyawan yaitu; yang paling baik atau paling buruk perilaku dan kinerjanya. Jadi, beda saja tidak cukup. Karena hanya perbedaan yang memberi nilai positif saja yang akan dihargai. Oleh karenanya, kita perlu berlomba untuk membuat perbedaan positif itu ditempat kerja. Selain bagus buat lingkungan kerja kita, tentunya pasti bagus untuk diri kita sendiri.
 
3.      Menetapkan standar pribadi yang tinggi. Sebagian besar pekerja lebih suka Teng-Go. Itu jelas sekali. Atau berprinsip; ’kerjaan gue kan sudah selesai, so what? Performance appraisal tahunan selalu bagus, kok.’ Wajar bersikap begitu, jika kita hanya memikirkan untuk sekedar menyelesaikan pekerjaan. Tapi jika kita hanya bekerja untuk sekedar menyelesaikan pekerjaan dengan baik, maka kita baru sanggup menunjukkan jika kita memang orang yang tepat untuk posisi yang kita sandang sekarang. Makanya, cocok kalau ada di posisi itu melulu. Padahal kita mendambakan posisi lebih tinggi, bukan? Makanya, setelah selesai dengan pekerjaan Anda; jangan gampang bilang ‘tugas gue sudah selesai’. Belajarlah untuk menaikkan standar kualitas pribadi Anda, satu tingkat lebih tinggi dari tuntutan kerja pada posisi Anda. Salah satu caranya, bantu atasan Anda menyelesaikan lebih banyak pekerjaan. Dengan begitu, kualitas Anda bisa lebih tinggi dari kebanyakan orang di teamnya. Anda pun terlihat berbeda.
 
4.      Memilih arus menuju muara yang bagus. Meskipun kita harus membuat perbedaan, kita juga tidak terlepas dari keterkaitan dengan kelompok. Perilaku yang ditunjukkan oleh sekelompok orang membentuk suatu pola. Makanya, orang lain cenderung mengikuti pola perilaku kelompoknya. Misalnya, jika kelompok kerja Anda rajin; biasanya orang lain yang baru bergabung cenderung terbawa rajin. Kita juga mengenal kelompok kerja yang punya reputasi buruk, karena perilaku kerja setiap orang didalamnya yang buruk. Mengapa orang cenderung meniru perilaku kelompoknya? Karena perilaku kelompok itu seperti arus air. Punya kecenderungan untuk menghanyutkan apapun yang dilintasinya. Atau sedikit demi sedikit menggerusnya hingga habis terkikis. Inilah pentingnya memilih arus yang hendak kita ikuti. Karena tidak semua aliran air menuju ke tempat yang bagus, maka kita tidak boleh asal ikut arus. Perilaku buruk kelompok, sudah pasti akan membawa ke ujung yang juga buruk. Jadi, pilihlan perilaku kelompok yang bagus lalu tinggal Anda nikmati saja alirannya
 
5.      Menyiapkan diri sebagai pelopor. Kita tidak selalu bisa mendapatkan kelompok yang punya pola perilaku positif. Tidak lagi bisa memilih arus perilaku, karena hanya ada 1 pilihan; arus perilaku kelompok yang buruk itu. Teman saya bilang; ya udah ikuti saja. Teman lain bilang; pindah kerja saja. Pilihan manapun yang Anda ikuti, sah-sah saja. Tapi, bagaimana jika kita menjadi orang pertama yang bersikap dan berperilaku positif disitu? Tantangannya memang besar sekali. Tetapi, bukankah ini inti tentang membuat perbedaan? Semua tokoh besar dunia, memulai kiprahnya dengan membuat perbedaan. Banyak yang awalnya dianggap aneh. Tapi melalui ‘keanehan’ itulah lingkungan mengalami perbaikan. Boleh jadi, tempat kerja Anda pun sudah sejak lama mendambakan perbaikan itu. Namun, tidak ada orang yang mempelopori. Dan boleh jadi, Andalah sang pelopor itu.
 
Paling mudah kalau kita ikuti saja apa yang ada disekitar kita. Tapi sangat beresiko, khususnya jika lingkungan kita buruk. Lingkungan yang baik memang bagus untuk membentuk karakter dan pola perilaku kita yang baik. Tapi, bisa melenakan kita sehingga merasa sudah baik juga. Padahal, kita tidak hanya dituntut untuk menjadi pribadi yang baik. Kita juga ditantang untuk menjadi pribadi yang mampu membuat sebuah perbedaan. Mengapa begitu? Karena tanpa perbedaan itu, kita tidak ada bedanya dengan orang lain. Dan kita, tidak memiliki daya saing kuat dihadapan orang lain. Lebih dari itu, kita perlu ingat bahwa Tuhan; tidak menciptakan kita sebagai duplikat dari orang lain. Dia, telah menciptakan kita sebagai pribadi yang berbeda secara positif. Maka sepatutnya kita berupaya untuk bisa memberikan perbedaan yang bermakna, bagi lingkungan kerja kita. Ayo, kita coba sekarang juga.

Sikap Kita Terhadap Kegagalan


Apa yang pikirkan dan bayangkan ketika Kita mengingat sebuah kata bernama “GAGAL” ?  
Apakah itu artinya Kita tidak mendapatkan sesuatu yang Kita inginkan?  atau Kita tidak mampu melakukan sesuatu dengan baik ? Bisa jadi memang demikian dan dengan tegas kita akan menyebutnya sebuah kegagalan. Ketika ia datang, bisa jadi mungkin kita akan berusaha mencari ribuan bahkan jutaan alasan sebagai pendamping kata kegagalan meski diawalkita hanya menggangap tuk sekedar penghapus kecewa atas ketidak berhasilan tersebut.
Kegagalan tetaplah ketidakberhasilan, apapun namanya menjadi hampir berhasil dan sebagainya. Apapun tiada berubah menjadi keberhasilan. Kita kadang terjebak untuk menjadikannya setara dengan pengingkaran diri yang semakin banyak kita sampaikan  semakin banyak pula pengingkaran pada diri kita. Bila kita pahami makna sebenarnya, hal ini akan membuat jurang pemisah kita dengan puncak keberhasilan yang ingin kita gapai. Alasan adalah pengingkaran diri yang membuat kekuatankita perlahan terkulai tak berdaya. Belajarlah untuk menerima kegagalan atau ketidakberhasilan, dan berhentilah mencari alasan, dan mulailah bergegas meraih keberhasilan dengan pijakan pelajaran kegagalan yang kita peroleh dengan evaluasi dan perbaikan.  
Jika saya menggunakan sebuah metafora, kegagalan seperti jutaan butiran pasir di lumpur yang tersembunyi  kilauan emas permata yang ditimba dengan tiada lelah dan jemu oleh seorang pekerja tambang. Jika kita terus berusaha dan tekun mencari perbaikan di sela-sela kesulitan dan kerumitan, dan tegas menyingkirkan duri-duri alasan niscaya kita akan temukan sinar kesempatan. Dengan kata lain, mencari alasan sama dengan kita membuang pasir  dan emas yang terkandung di dalamnya. Simaklah seperti kalimat bijak di  bawah ini :
"Bersahabatlah dengan kegagalan. Teruslah maju dan buatlah kesalahan sebanyak mungkin karena disitulah kita akan menemukan  kesuksesan - di penghujung jalan" .........  "Kita tidak belajar dari kesuksesan, kita belajar dari kegagalan. Masa sulit dan menderita adalah waktu untuk belajar"
Kegagalan dan keberhasilan, kita sering menggangapnya sebagai koin dengan dua permukaan. Kalau di satu sisi sukses, berarti sisi lain gagal. Kalau kita tidak mencoba sesering mungkin, maka kita tidak mungkin berhasil. Kalau kita tidak mau menerima kegagalan sesering mungkin, maka keberhasilan  pun akan sulit kita capai
The difference between average people and achieving people is their perception of failure and their respond to failure. Perbedaan antara orang biasa dengan orang yang sangat berhasil adalah persepsi mereka tentang kegagalan dan bagaimana mereka mengantisipasi serta menyikapi kegagalan itu. Kita tahu bahwa orang-orang sukses bukan berarti tidak pernah gagal. Tidak ada orang yang selalu berhasil, tetapi yang berhasil sesering mungkin dan pernah mengalami kegagalan, karena memang kegagalan adalah part of success. Sebagian dari keberhasilan adalah bagaimana kita memberikan respon terhadap kegagalan itu sendiri. Cobalah untuk adaptasi, melakukan perubahan ataupun antisipasi, dan cobalah sesuatu yang baru. Cepat atau lambat Anda akan memperoleh cara yang berbeda dan jitu untuk mendapatkankeberhasilan yang anda idamkan. Jika mau hasil yang berbeda, ya perlu cara dan strategi yang berbeda, bukan!
Janganlah pernah takut dengan kegagalan. Saya percaya bahwa apa yang setiap saya atau anda lakukan tidak selalu berhasil, pernah mengalami kegagalan di saat dan kondisi tertentu meski saya sudah sedemikian yakin akan mendapatkan keberhasilan. Kalau kita sudah mulai sadar bahwa sukses dan kegagalan tidak lain adalah seperti koin dengan dua mata, maka kita tidak perlu takut lagi terhadap kegagalan. Tetapi sebaliknya, kita harus bisa memandang kegagalan sebagai sebuah pelajaran atau sebuah petunjuk untuk mencoba lagi dan mencapai sukses pada saat yang akan datang.
Cobalah untuk memahami bahwa sebenarnya TIADA KEGAGALAN MELAINKAN MASUKAN atau istilahnya "There''s no failure, only feedback"  dengan begitu mata pikiran lebih terbuka untuk mencari cara-cara baru, pendekatan-pendekatan baru yang efektif TANPA MENGGANTI TUJUAN YANG TELAH KITA BUAT, meningkatkan kemampuan untuk mencapai keberhasilan yang kita inginkan, dan yang terpenting adalah meningkatkan HUBUNGAN BAIK DENGAN ORANG LAIN karena memang kebehasilan yang kita peroleh tentunya melalui orang lain, bukan!

Menyikapi Kesempatan Yang Datang


Siapapun mengenalnya dengan baik sosok bernama kesempatan. Dia datang dan pergi berlalu setiap saat dengan atau tanpa perduli oleh  kita. Seringnya
kita tak menyadari dia datang dan begitu dekat di depan mulut wajah kita. Bagi si pintar kesempatan disadari benar untuk ditangkap dan dimanfaatkan dengan benar. Sebaliknya bagi si bodoh kesempatan bagaikan makanan lezat siap saji di atas meja makan dibiarkan begitu saja tanpa disentuh sedikitpun.

Bila kita renungkan lebih dalam, sebenarnya kita sendirilah yang menciptakan kesempatan.  Ketika kita melihat sesuatu dari sisi yang  berbeda kita menemukan cahaya kesempatan di antara celah-celah kondisi dan situasi yang kita temui. Sederhana saja, pertanyaannya haya satu "apakah kita siap ketika kesempatan datang menghampiri kita?" Bukan perkara kita mampu atau tidak mampu untuk memanfaatkan kesempatan, tetapi kesiapan dirilah
yang menentukan kita bisa atau tidak untuk merangkul dan mengambil langkah tindakan. Tak heran bila kita banyak mendapati  keberhasilan para usahawan diperoleh dengan memasukan pundi-pundi kesempatan dalam tiap sudut ruang organisasinya. Jika kita pahami dengan bijak sebenarnya tiada kata kebetulan di kehidupan kehidupan yang ada hanyalah kita tak cerdik untuk menjaring setiap kesempatan yang muncul. Kita menganggapnya kebetulan karena dia datang  dan kita siap menyambut dalam kondisi dan situasi yang kita butuhkan. Sekarang bagaimana kita menilai sebuah kesempatan? Apakah kita biarkan dia pergi berlalu bagai debu diterpa angin tanpa pernah berpikir sesal datang kemudian ? atau dengan pasti kita membuka wahana pikiran akan datangnya
setiap kesempatan untuk kita berlari 100 langkah lebih cepat dari orang lain ?
 
Kesempatan mengetuk di saat yang paling aneh. Persoalannya bukan pada kapan itu terjadi, melainkan bagaimana anda membuka pintu. Dan bertemunya kesempatan dan kesiapan akan menciptakan sebuah KEBERHASILAN.

Tak Perlu Gundah Terhadap Kebencian Orang lain


Siapa yang mengatakan bahwa kehidupan begitu lurus tanpa aral merintang, penuh keindahan dan damai. Pada kenyataannya memang tidak demikian, bukan! Bagaikan tinta hitam dengan kertas putih, ada warna hitam tentunya ada warna putih. Ada suka cita sudah pasti ada duka nestapa, ada kebaikan ada keburukan bahkan ada kesenangan pastilah ada kebencian, bukan! Itulah warna dari sebuah kehidupan. Warna itulah pernak pernik  kehidupan yang sudah tentu kita jumpai dalam keseharian entah dimana kaki kita berpijak. Mungkin saja kita terlalu naif bila mengganggap hidup itu penuh dengan kebencian atau keindahan saja. Coba saja tengok bagaimana kita berhubungan dengan ribuan orang, tentulah  ada yang menyukai keberadaan diri kita ataupun sebaliknya. Bisa jadi, banyak penyebab ketidaksukaan orang lain pada diri kita entah sikap, perilaku, kecemburuan fisik dan keberhasilan yang kita dapatkan, serta ribuan alasan lainnya. Jika kita pahami dengan baik, ketidaksukaan orang lain yang kita terima terefleksi dengan sikap, bahasa tubuh, tutur kata yang terucap, air muka yang terlihat, sampai nada suara dari begitu halus terdengar meski mampu menyengat sampai memunculkan kekuatan mengundang amarah kita.

Cobalah kita tuk sejenak luangkan waktu berpikir, mengapa terjadi demikian ? Karena memang saringan di dalam kepala setiap orang berbeda, bukan! Apapun rangsangan yang memasuki alam pikiran akan melewati banyak ruang. Ruang penghapusan, ruang penyamarataan, ruang ketidaksempurnaan, ruang nilai-nilai, ruang masa lalu, dan ruang-ruang lainnya sampai dengan ruang terakhir sebelum rangsangan keluar dari pikiran dan merubah wujudnya menjadi tanggapan dan perilaku. Ruang-ruang  itulah penyebab segala rasa termasuk kebencian dan kebaikan yang orang lain berikan sering kita jumpai. Sebenarnya tak perlu, kita berbalas ketidak sukaan dengan ketidak sukaan kembali karena tenaga dan waktu akan terbuang sia-sia. Balaslah  ia dengan butiran air kasih dan kebaikan yang kita miliki. Tak perlu berkecil hati bila kebaikan kita diabaikan, dicemooh, dihina begitu rupa karena memang kebaikan tetaplah kebaikan yang memberikan  cahaya kemulian seseorang. Bisa jadi memang orang lain belum memahami dengan baik kebaikan yang kita berikan dan kita pahami dengan baik perjalanan di ruang-ruang pikiran orang lain.

Mulailah untuk mengganggap ketidak sukaan adalah cemeti  kehidupan yang mampu melecut motivasi kita  untuk menjadi lebih baik. Dan anggaplah ia sebagai pelajaran untuk meningkatkan kemampuan berhubungan dengan orang lain menjadi  lebih berkualitas. Kelolalah dia menjadi energi positif yang dapat membatu kita menggapai keberhasilan yang diinginkan. Tak perlu gundah dengan ketidaksukaan orang lain, tak perlu ragu tuk pertahankan nilai-nilai hakiki karena memang itulah pondasi kuat yang mampu membuat orang lain berdecak kagum dengan genggaman teguh harga diri dan kehormatan kita.Dengan demikian itu akan memampukan kita untuk mengerti bahwa ketidaksukaan adalah pilihan siapapun, dan bahkan membalas ketidaksukaan dengan tindakan yang sama atau sebaliknyapun juga sebuah pilihan, bukan ! Tetapi, perlu kita pahami dengan benar, bagaimanapun juga kebaikan tetaplah mutiara yang bersinar indah meski tersembunyi di lumpur terdalam yang pekat sekalipun.

Tanda Bos Anda Parasit


Ternyata bos bisa juga menjadi parasit dalam suatu organisasi. Bukannya menyumbang pada keberhasilan kerja team, bos seperti ini malah menyedot seluruh enerji dan kreativitas serta kesuksesan. Apakah bos Anda salah satunya?
Berikut 6 tanda-tanda yang kami kutip dari Forbes.com:

1. Bos semacam ini menyedot seluruh oksigen dalam ruangan
Bila bos seperti ini masuk dalam ruang meeting, dia akan merusak apa pun topik dan arah pembicaraan yang sedang berlangsung dengan level otoritas yang berlebihan dan pemaksaan kekuasaan.

2. Mencuri kredit dari pencapaian orang lain
Dalam banyak organisasi, kesalahan dalam pemberian pengakuan dapat terjadi dengan mudah karena sistem birokrasi pelaporan. Siapa yang melaporkan ke manajemen atas dalam team Anda? Bos Anda? Bos yang parasit akan mencuri pengakuan atas hasil karya atau ide yang bukan dari dirinya sendiri.

3. Menyalahkan bawahan atas kesalahannya sendiri
Sebaliknya dari nomor 2 di atas, bos parasit tidak mau mengakui kesalahannya dan menyalahkan bawahan atas kesalahan yang dia lakukan.

4. Perlahan-lahan menghabiskan enerji Anda
Bos parasit adalah ahlinya dalam memberi beban pekerjaan yang banyak kepada Anda, tetapi dia juga tahu batasnya agar Anda tidak segera resign. Mereka akan membuat Anda terus bekerja keras untuk dia. Tidak ada timbal-balik dalam hal ini, Anda hanya akan merasa dieksploitasi.

5. Membatasi sirkulasi ide dan informasi
Pengetahuan adalah kekuasaan, dan bos yang buruk menyimpan pengetahuan dengan serakah. Bila hanya ada 1 anggota team yang memiliki cukup informasi untuk memahami gambaran besar perusahaan, dan orang itu adalah bos Anda, maka dia adalah parasit.

6. Bereaksi berlebihan bila otoritasnya terancam
Segala usaha yang Anda lakukan untuk memperbaiki keadaan dengan menghadap bos parasit ini, akan ditolak olehnya. Walaupun cenderung resisten, Anda harus mencobanya. Bila tidak, Anda akan terus menjadi korban.

Kisah Seekor E L A N G


Seorang petani menemukan telur elang dan menempatkannya bersama telur ayam yang sedang dierami induknya. Setelah menetas, anak elang itu hidup bersama anak ayam lainnya. Anak elang itu tumbuh bersama anak-anak ayam, bermain bersama, makan bersama, dan berperilaku persis seperti anak ayam, karena ia mengira dirinya memang seekor anak ayam. Pada suatu hari, ia melihat seekor elang yang dengan gagah terbang mengarungi angkasa. “Wow, luar biasa! Siapakah itu?”, katanya penuh kekaguman. “Itulah elang, sang Raja dari segala burung!” sahut ayam sekitarnya. “Kalau saja kita bisa terbang ya? Luar biasa!” Para ayam menjawab, “Ah, jangan mimpi? Dia makhluk angkasa, sedang kita hanya makhluk bumi. Kita hanya ayam?” Demikianlah, elang itu makan, minum, menjalani hidup dan akhirnya mati sebagai seekor ayam.

Nasib sepenuhnya ada di tangan kita. Langkah pertama untuk memulai perubahan adalah menyadari bahwa perubahan itu ada di tangan kita sendiri. Dalam agama dikatakan, “Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum kalau kaum itu tidak berusaha merubahnya sendiri.” Maka untuk bisa berubah kita harus bergantung pada diri kita sendiri. Perubahan nasib tidak akan datang dari pergantian pemerintahan. Perubahan itu harus kita lakukan sendiri. Benar bahwa kita tak dapat memilih lingkungan kita, tapi kita selalu bisa memilih respon, kita selalu mampu memilih tindakan kita. Memang ada hal-hal di dunia ini yang berada diluar kekuasaan kita. Kita tidak bisa menentukan siapa orang tua kita, jenis kelamin kita, tempat kita dilahirkan, cara kita dibesarkan, bakat yang kita miliki dan sebagainya. Kebanyakan kitapun tak mempunyai kekuasaan untuk menentukan percaturan politik di dalam negeri ini. Tapi kita senantiasa bisa menentukan perilaku kita, kita bisa mengontrol apa yang akan kita lakukan.

Kesadaran bahwa nasib ada di tangan kita sendiri akan memberikan dampak yang signifikan dalam hidup kita. Kita punya kemampuan menentukan apa yang akan kita perbuat. Kita punya kemampuan penuh untuk menentukan skenario hidup kita. Akan jadi apakah kita 10, 20, atau 30 tahun lagi. Benar, akan ada pengaruh dari luar. Tapi Kita hanya dipengaruhi dan bukan ditentukan! Sikap inilah yang disebut sebagai bertanggungjawab, responsibility, yang berasal dari kata response+ability, yaitu kemampuan untuk melakukan respon terhadap situasi apapun. Respon adalah hasil keputusan kita sendiri, bukan ditentukan oleh situasi yang kita hadapi. Kesadaran semacam itu akan membuka mata kita bahwa kita bisa menjadi apapun yang kita mau. Gunakan daya imajinasi Kita dan bayangkan diri Kita 10 tahun lagi. Ingin jadi apakah Kita? Dalami diri Kita dan kenalilah bakat-bakat dan potensi Kita yang terdalam. Bakat-bakat ini boleh jadi telah terkubur oleh situasi dan kondisi, padahal kalau dimunculkan Kita akan mengalami perubahan hidup yang dahsyat. Di dunia ini tak ada yang tak mungkin. Kitalah yang sering “menggembok” diri kita dengan berbagai label yang diciptakan lingkungan maupun diri kita sendiri.

Dengan melakukan hal tersebut kita akan menemukan sesuatu yang menggairahkan. Dan siapa tahu, kitapun bisa terbang setinggi elang di angkasa.

Sikap Menghadapi Perubahan


Disukai atau tidak, diterima atau tidak bahkan disadari atau tidak, PERUBAHAN sudah menjadi bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam kehidupan keseharian kita. Bila dipikir sejenak dari contoh yang sederhana saja,  sebenarnya tanpa disadaripun, perubahan itu sendiri telah terjadi pada diri kita dengan sendirinya. Kondisi tubuh mulai merenta, rambut memutih, dan bentuk perubahan fisik lainya yang semakin menua dan melemah. Dengan semakin berjalannya waktu, usia akan terus bertambah tidaklah mengherankan kondisi fisik dan ketampanan kecantikan seseorang akan mengalami perubahan.
 
Demikian halnya dengan perubahan yang menghiasi dunia kerja dan organisasi, kemajuan teknologi dan informasi yang sedemikian cepatnya, bergesernya tren mode dan selera pasar terhadap berbagai produk,  persaingan sumber daya manusia yang semakin ketat dan perubahan dalam segala hal memaksa terjadinya perubahan tatanan dan  nilai yang ada.  Mungkin saja kita mengganggap sebuah keputusan yang tidak tepat atau salah 5 atau 10 tahun yang lalu, atau bahkan sebaiknya kita telah memilih keputusan yang terbaik pada saat itu dan ternyata sekarang bisa jadi merupakan keputusan yang kurang efektif atau menjadi keputusan terbaik saat ini. Jelas, ini menunjukkan wajah dunia yang selalu berubah. Yang menjadi pertanyaan kita sekarang adalah bagaimana sikap terhadap sebuah perubahan?
 
Seperti halnya di dunia usaha, dengan semakin banyaknya pesaing masuk ke arena bisnis perusahaan kita, semakin berkompetisinya tenaga kerja apakah menjadikannya sebagai tantangan, cambuk bagi kita atau bahkan sebaliknya akan membuat kita terpuruk. Semua ini terpulang kepada kita sebagai anggota organisasi / perusahaan itu sendiri. Meskipun kita pahami, semestinya kita telah mengantisipasi dengan membuat atau merubah pendekatan / strategi-strategi baru yang lebih akurat, jitu, dan mengenai sasaran. Dan yang tidak kalah pentingnya meningkatkan relationship yang lebih baik antar sesama karyawan, dengan para mitra usaha, dan pihak-pihak yang turut mendukung keberhasilan diri dan organisasi.
 
Pada kenyatannya, yang kita temui banyak orang di lingkungan kerja memiliki alergi terhadap 'perubahan'. Perubahan  sudah dianggap menjadi momok yang menakutkan dan harus dihindari. Takut kehilangan posisi, pamor, kenyamanan, merasa tersaingi dengan kedatangan warga baru di organisasi, pengawasan lebih ketat, prosedur merasa lebih ruwet, atasan/pimpinan dianggap berkurang kepercayaannya, pendapatan takut menurun, karir lebih sulit diperoleh karena adanya sistem baru. Ketidakmampuan kita menerima perubahan membuat ketakutan dan keresahan hati timbul dan semakin menyelimuti pikiran. Kekhawatiran seperti itu rasanya tidak perlu ada sepanjang kita dapat menyikapinya dengan positif. Kita perlu percaya bahwa di dunia kerja manapun dan kapanpun perubahan di dalam organisasi pasti terjadi dan itu merupakan dinamika dunia kerja dan proses pembelajaran menuju peningkatan.
 
Sebenarnya perubahan-perubahan berasal dari dalam ke luar. Perubahan tidak datang dari pemangkasan  daun-daun sikap dan perilaku dengan perbaikan cepat dari teknik etika kepribadian. Perubahan berasal dari serangan pada akar susunan pikiran kita, paradigma yang fundamental dan essensial, yang memberi definisi  pada karakter kita dan menciptakan lensa kita untuk melihat dunia. Perubahan itu sendiri adalah sebuah proses transformasi pemikiran atau pendekatan yang lama beralih kepada pemikiran yang baru. Orang tidak dapat hidup dalam perubahan, jika tidak ada suatu inti yang tak dapat berubah pada dirinya. Kunci menuju kemampuan untuk berubah adalah perasaan tak berubah tentang siapa kita, bagaimana naskah hidup kita dan apa nilai-nilai kita. Lajunya perubahan takkan memampukan kita untuk menghentikan langkahnya yang dapat kita lakukan adalah bagaimana kita mengelola dan menyiapkan diri sebelum perubahan itu terjadi.
 
Bagaimana dengan Kita, dunia telah bergeser dan berubah, mengapa Kita  tidak juga berubah ? Jika Kita ingin lebih berhasil dalam kehidupan ini, sudah selayaknya Kitapun berubah. Lakukanlah hal-hal yang baru, kebiasaan-kebiasaan baru yang baik, serta perlakukanlah diri Kita dengan cara yang baru pula. Asahlah terus kemampuan Kita sehingga Kita memperoleh kemampuan dan pengalaman yang baru. Kalau Kita sudah puas dengan apa yang Kita peroleh sekarang dalam kehidupan ini, ini menandakan Kita tidak ingin berubah. Kita sudah terlena dengan apa yang telah Kita miliki, padahal dunia setiap saat berubah. Bagaimana Kita ingin memperoleh sesuatu yang berbeda jika cara-cara Kita selama ini, perilaku-perilaku Kita selama ini, tindakan-tindakan Kita selama ini atau bahkan strategi-strategi Kita selama ini selalu sama alias tidak ada ada perubahan.
 
Merasa tidak nyaman dan takut mengambil resiko yang akan terjadi, merupakan alasan mengapa kita sulit  untuk berubah. Perasaan takut gagal, takut salah, takut ditegur atasan, takut kelemahan diketahui oleh orang lain, takut diremehkan atau ditertawakan, serta takut-takut lainnya adalah membuat kita semakin sukar untuk menghadapi perubahan. Keberhasilan bukanlah diperoleh karena aneka ragam perbedaan budaya, warna kulit, ras, agama, sumber daya alam, jumlah penduduk, tingkat kecerdasan, negara kaya atau miskin, dan perbedaan lainnya – melainkan terletak pada pondasi atau prinsip dasar  manusia yaitu SIKAP DAN PERILAKU yang memampukan pikiran menjadi positif dalam menerima perubahan dan mengubahnya menjad energi yang menghasilkan karya yang lebih baik. 
 
MENERIMA ATAU TIDAK PERUBAHAN adalah sebuah PILIHAN, apakah kita memilih menjadi bagian dari komunitas orang-orang yang pkitai membuat alasan serta pembenaran terhadap tindakannya, padahal yang dilakukan hanyalah bersembunyi terhadap perubahan yang sedang terjadi dan tanpa disadarinya, cepat atau lambat laun dunia akan mengubah secara paksa ATAU MEMILIH menjadikan PERUBAHAN sebagai partner kerja dan hidup untuk memperoleh sesuatu yang lebih baik dan berkualitas. Itu sebuah PILIHAN, bukan!

Genggam Erat Sebuah Harapan

Lihatlah seorang Ibu tua dan seorang anaknya dengan penuh semangat sedang menjajakan nasi bungkus daun pisang dagangannya di pinggir jalan di kota damai Banjarmasin. Saat itu petang menjelang dengan tergesa-gesa. Sinar cahaya dari lampu jalan tak cukup mampu menerangi dagangannya. Lalu lalang derap langkah kaki kerumunan orang dan kendaraan datang silih berganti. Siapa pula yang tertarik membeli? Namun, mereka berdua silih berganti menyapa dan menawarkan dagangannya. "Ibu, mengapa Ibu yakin ada yang ingin membeli dagangan Ibu" "Lalu bagaimana Ibu bisa menjajakan barang di keremangan dan suasana yang sedemikian riuhnya seperti ini?"


Dengan sederhana Ibu itu menjawab, "Ibu tak pernah kehilangan harapan," begitu jawabnya. "Itulah satu-satunya yang membuat Ibu tetap semangat. Ibu tak tahu apa dan bagaimana membesarkan usaha ini, namun Ibu hanya tahu harapan takkan pernah meninggalkan Ibu bila Ibu terus menggengamnya"
Ah, ungkapan yang begitu lugu dan menyentil ruang kesadaran hati. Belajar dari sebuah filosofi yang sederhana dan syarat dengan makna, semestinya kita berterima kasihlah pada orang-orang papa yang mampu memberikan teladan dan menebarkan harapan perbaikan hidup pada kita. Mereka bagaikan tiang penyangga yang mampu menahan langit dari keruntuhan. Dan mereka bagaikan peredup terik mentari kehidupan yang adakalanya hidup terasa panas membakar.


Seorang guru yang bijak akan berkata, sebuah harapan akan memampukan seorang Ibu menyusui anaknya, dengan harapan mempu mendorong kita menanam benih kebaikan suatu saat nanti sempat atau pun tidak kita petik buahnya yang ranumnya. Dengan harapan seorang cacat mampu menggapai prestasinya, dengan harapan seorang tua renta mampu membesarkan anak-anaknya hingga berhasil, dan dengan harapan sebuah perusahaan mampu terus mengembangkan sayap usahanya. Pahamilah bila kita kehilangan harapan meski sekali saja, sama artinya kita kehilangan kekuatan kita untuk menghadapi dunia ini.
Tulislah berjuta harapan dalam lembaran putih dengan tinta pena keinginan dan kesungguhan hati kita. Bawalah gengaman harapan bersama setiap detak langkah menggapai kenyataan. Niscaya kita kan takjub karenanya ketika harapan dan kenyataan begitu erat kita gemgam dan raih

Berat Segelas Air



Pada saat Kuliah tentang "Manajemen Stress", Stephen Covey mengangkat segelas ar dan
Bertanya kepada para siswanya,

"Seberapa berat menurut anda, Kira2 segelas Air Ini..?"

Para siswa menjawab mulai dari 200 Gram sampai 500 Gram,

"Ini bukanlah masalah berat absolutnya.. Tapi tergantung berapa lama anda
Memegangnya" kata Covey.

"Jika saya memegangnya selama satu Menit..tidak ada masalah..",

"Jika saya memegangnya selama satu Jam..
lengan kanan saya akan sangat sakit.."

"....dan jika saya memegangnya selama satu hari penuh..jelas anda harus memanggilkan Ambulans untuk saya.."

"Beratnya sebenarnya sama....tetapi semakin
lama saya memegangnya maka bebannya akan semakin berat.."

"Jika kita membawa beban kita terus menerus....lambat laun kita tidak akan
mampu membawanya lagi.. karena beban itu akan meningkat beratnya.."
lanjut Covey,

"Apa yang harus kita lakukan adalah meletakkan gelas tersebut...
Istirahat sejenak sebelum mengangkatnya lagi.."

"Kita harus meninggalkan beban kita secara periodik agar kita dapat lebih segar dan mampu membawanya lagi.."

Jadi ?? Mari lepaskan beban kita sesaat!, nikmati hari libur bersama keluarga...Berhentilah sejenak2

Menyelesaikan Pekerjaan Besar

Apakah team Anda sudah bisa menyelesaikan tugasnya tanpa harus Anda ‘tongkrongi’? Sudah. Kalau begitu Anda adalah seorang pemimpin yang beruntung. Karena team kerja Anda tidak lagi harus selalu diawasi untuk bisa menghasilkan kinerja tinggi. Tapi, sebaiknya jangan terlalu lama senangnya. Apalagi terlalu lama merasa nyaman dengan kondisi seperti itu. Situasi itu menunjukkan bahwa team Anda sedang ‘under challenged’. Mengapa? Karena mereka bagus mengerjakan tugas rutin padahal boleh jadi sebenarnya team Anda itu mempunyai kapasitas yang sanggup mengerjakan tugas-tugas yang lebih besar. Ciri jika team Anda sedang mengerjakan tugas yang benar-benar berbobot tinggi adalah; mereka tidak lagi bisa menyelesaikannya tanpa keterlibatan intens Anda didalamnya. Lho, tugas pemimpin kan mengelola, bukannya terlibat langsung dalam pekerjaan? Betul. Jika kita hanya mengacu pada konteks tugas regular. Tapi soal pekerjaan besar? Yang menantang. Yang kreatif. Yang penuh terobosan. Kita, tidak mungkin bisa melepas mereka mengerjakannya sendiri. Apakah Anda berani mengajak Team Anda untuk menyelesaikan pekerjaan yang benar-benar besar? Ataukah cukup puas dengan pekerjaan harian yang bikin semua orang adem ayem?

Saya meluangkan waktu untuk menyaksikan tayangan acara “MAKAN BESAR” di tivi. Beda dengan acara kuliner lainnya. Tayangan itu sarat sekali dengan pelajaran kepemimpinan. Chef Ragil bukan seorang juru masak yang puas dengan menyelesaikan masakan porsi kecil. Seperti badannya, dia suka membuat masakan dengan ukuran BESAR. Membuat rolade biasa, misalnya. Gampang. Tapi kalau rolade itu menghabiskan 500 butir telur, sekarung buncis, sekeranjang wortel, dan 50 ekor ayam? Hmmh… ini bukan pekerjaan kecil. Ternyata, tantangan membuat rolade dengan ukuran 100 kali normal, tidak sama dengan membuat rolade biasa dikalikan 100. Begitu pula halnya dengan menyelesaikan pekerjaan yang lebih besar dari pekerjaan regular harian kita. Maka hanya pemimpin yang bersedia terus mengasah diri saja yang berani membawa teamnya untuk menyelesaikan tugas-tugas besar. Sedangkan kebanyakan pemimpin, sudah puas dengan kinerja baik anak buahnya menyelesaikan pekerjaan regular. Bagi Anda yang tertarik menemani saya belajar cara membangun kapasitas team kerja dalam menyelesaikan pekerjaan besar, saya ajak memulainya dengan memahami dan menerapkan 5 sudut pandang Natural Intelligence (NatIn™), berikut ini:

1. Selesaikan tugas regular dengan sempurna. Tugas harian, tidak bisa ditawar-tawar. Harus tuntas dengan sempurna. Tidak ada gunanya mengerjakan tugas besar jika tugas kecil yang wajib malah keteteran, bukan? Maka sebelum membawa team yang Anda pimpin untuk naik level dengan membangun kemampuan yang lebih tinggi, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa pekerjaan dasar, ditangani sebaik-baiknya. Lho apa bedanya dengan yang selama ini kita lakukan? Beda sekali. Selama ini, kita berjibaku untuk menyelesaikan tugas regular agar dinilai baik karena telah menyelesaikan tugas sebagai karyawan. Sedangkan konteks kita adalah; menyelesaikan tugas regular dengan baik agar kita bisa mulai melatih diri untuk membangun keunggulan. Makanya, selesaikan tugas harian secara akurat dan segera. Agar kita punya lebih banyak waktu dan sumber daya, untuk membangun keunggulan pribadi.

2. Membangun visi team kerja. Semua anak buah sudah pada pinter. Kita tidak ada di kantor pun mereka tetap bekerja dengan baik. Apa lagi? Beres, kan? Tinggal nyantai dong. Betul. Jika tujuan Anda sebagai seorang pemimpin ‘hanya sampai disitu’. Artinya, Anda memimpin hanya untuk menyelesaikan tugas. Lalu mengatakan ‘mission accomplished’. Menyelesaikan misi, bukan levelnya pemimpin. Melainkan gaya para pelaksana. Pemimpin, mesti punya Visi. Tepatnya, visi Anda pribadi dalam memimpin team kerja Anda. Apakah hanya sebatas menyelesaikan misi yang dibebankan oleh perusahaan? Atau lebih dari itu? Untuk membanguan kapasitas team menyelesaikan pekerjaan besar, kita mesti mempunyai Visi pribadi yang tinggi terhadap pertumbuhan team kita. Sehingga setelah menyelesaikan tugas-tugas pokok itu, kita tidak segera berpuas diri lalu berhenti dan berongkang kaki. Kita segera melakukan konsolidasi, menyingsingkan lengan baju sekali lagi. Lalu bergiat bersama menyelesaikan pekerjaan yang lebih besar. Yang ini, bukan semata untuk perusahaan. Melainkan untuk pertumbuhan team dan perkembangan setiap pribadi yang tergabung dibawah bendera kepemimpinan Anda. So, mulailah bangun visi team kerja Anda.

3. Melakukan eksperimen bersama team kerja. Pekerjaan yang melampaui tugas-tugas regular, kemungkinan belum ada rumusnya. Belum dibuat juklaknya. Tidak ada contohnya. Maka disaat seperti inilah seorang pemimpin hadir bersama team kerjanya, untuk mencoba sesuatu yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Kenapa mesti begitu? Karena kita percaya, bahwa cara lama hanya akan membawa kita kepada hasil yang sama. Sedangkan pekerjaan besar kita, butuh lebih dari sekedar hasil seperti yang selama ini kita capai. Makanya, cara lama tidak selalu cocok lagi. Dan karena belum ada juklaknya, maka kita mesti mencobanya. Mencari tahu, cara ini hasilnya begini. Cara itu dampaknya begitu. Kita menyebutnya sebagai eksperimen. Ajaklah anggota team Anda untuk bereksperimen sehingga mereka menemukan banyak hal yang akan memperkaya referensi dirinya melalui berbagai momen ‘aha…’ dan ‘eureka…’ Dan izinkan diri Anda menjadi bagian dari eksperimen itu, bukan hanya menjadi penonton atau pemberi perintah. Seperti yang dicontohkan Chef Ragil ketika bereksperimen membuat telur dadar raksasa dengan berbagai bentuk dan ukuran wajan penggorengan. Sebagai pemimpin, kita mesti mau melakukan eksperimen bersama mereka.

4. Mencari solusi untuk masalah yang terjadi. Memang, idealnya anak buah kita bisa menemukan solusi untuk masalah yang dihadapi. Tapi itu hanya berlaku untuk tugas reguler. Untuk tugas besar? Mungkin ilmu mereka belum sampai ke tahap itu. Maka ketika itu terjadi, kita mesti ada disana. Waktu membuat telur dadar besar itu, misalnya. Cara yang dikira bakal bisa dilakukan ternyata menemui kegagalan. Semua orang pada bingung, mesti bagaimana nih? Semua koki sepertinya kehabisan akal. Chef Ragil memutar otak, lalu menemukan solusi lainnya. Singkirkan penggorengan datar. Ganti dengan yang melengkung. Kemudian, dia memegang salah satu pegangan penggorengan itu. Sementara asistennya menuangkan seember telur kocok, Chef bertubuh subur itu memutar-mutar penggorengan raksasa itu. “Aha! Ternyata berhasil!!!” Seorang pemimpin mesti menunjukkan bahwa; ada solusi untuk setiap masalah yang terjadi.

5. Merayakan keberhasilan bersama team dan lingkungan. Apa yang terjadi ketika sebuah team berhasil menyelesaikan sebuah pekerja yang extra ordinary? Beginilah pemandangan umumnya; Pemimpinnya dipersilakan naik ke panggung. Menerima piagam penghargaan. Difoto bersama Presiden Direktur. Lalu disambut dengan tepuk tangan meriah para hadirin. Bandingkan dengan yang ini: Ketika rolade RAKSASA itu berhasil dibuat, mereka bersama-sama membuka aluminium foil yang membungkusnya. Lalu Chef Ragil membuat potongan-potongan porsi normal, kemudian dia menyerahkannya kepada para asistennya. Lalu asistennya menyerahkan porsi kecil itu kepada para penonton di lokasi masak. Kemudian mereka semua bersama-sama merayakan keberhasilannya. Sebagai seorang pemimpin, kita patut menyerahkan kredit keberhasilan itu kepada anak buah. Dan mengajak mereka untuk membagikan MANFAAT keberhasilan itu kepada orang-orang disekitarnya. Kepada departemen lain. Kepada divisi lain. Sehingga seluruh elemen perusahaan bisa menikmati hasilnya. Dengan begitu, team kerja Anda mempunyai kebanggaan tersendiri yang mereka sadar bahwa Anda benar-benar mengapresiasinya. Sedangkan orang-orang yang berada di departemen lain di kantor, turut merasakan manfaatnya.

Jika team kita sudah bisa bekerja dengan baik, meski kita tidak ada; maka kita adalah pemimpin yang efektif. Itu teori kepemimpinan lama. Dalam teori kepemimpinan yang baru, saya mengusulkan agar Anda tidak lagi mengukur efektivitas kepemimpinan dari kemampuan anak buah menyelesaikan tugas-tugas harian mereka. Melainkan dengan kemampuan Anda membangun visi team untuk bisa menyelesaikan tugas-tugas besar yang lebih menantang. Lebih menguras daya diri, dan lebih menuntut; untuk mengoptimalkan kapasitas diri hingga di puncak tertingginya. Dengan teori kepemimpinan yang baru ini; puncak prestasinya bukan lagi pada momen ketika seorang pemimpin ongkang-ongkang kaki sambil mengatakan;”semua tugas dijamin tuntas”. Melainkan kehadiran seorang pemimpin yang tanpa henti membawa team yang dipimpinnya untuk terus menerus mengeksplorasi diri. Pemimpin seperti ini sejalan dengan sabda Rasulullah; “Jika hari ini kalian lebih buruk dari kemarin, maka kalian bangkrut. Jika hari ini sama dengan kemarin, maka kalian orang yang rugi. Dan jika hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka engkau adalah orang yang beruntung”. Dalam management zaman modern, kita menyebutnya; Continuous Improvement. Siap melakukan Continuous Improvement di team Anda? Mari mulai sekarang juga.

Orang Yang Dirindukan Langit


Dimanakah letaknya ’nilai seorang manusia’? Hartanya? Mungkin. Jabatannya? Juga mungkin. Untung saja harta dan jabatannya itu bukanlah jawaban mutlak. Karena tidak semua orang punya harta banyak, atau jabatan tinggi. Jadi, dimanakah gerangan letaknya nilai seseorang? Ada ungkapan ”pergi tak ganjil, datang tak genap”. Begitu kita menyebut orang-orang yang tidak memiliki arti apa-apa bagi orang lain. Ada atau tidaknya dia, sama sekali tidak punya pengaruh apapun. Coba jika orang itu sanggup memberi makna atas kehadirannya. Maka orang lain, akan senantiasa merindukannya. Menantikan kedatangannya. Dan mencarinya, jika dia tidak kunjung datang. Jelas sekali jika nilai seseorang itu terletak pada apa yang dilakukannya untuk orang lain. Lho, bukankah jika punya harta yang banyak kita bisa berbuat lebih banyak untuk orang lain?

Benar. Kalau kita kaya; maka kita bisa berbuat lebih banyak untuk orang lain. Teorinya sih begitu. Tapi banyak juga kan orang kaya yang semakin pelit. Dan banyak juga orang kaya yang dermawan tapi sangat pamrih. Tidak. Nilai seseorang tidak ada kaitan langsung dengan kekayaan. Dalam banyak situasi, orang yang tidak kaya malah jauh lebih dermawan daripada orang berada. Banyak orang yang hidupnya pas-pasan, tapi lebih peka dan lebih peduli kepada orang lain. Saya yakin. Anda pun mengenal orang-orang seperti itu. Karena orang-orang berhati mulia seperti itu berada di sekitar kita. Misalnya, seorang lelaki yang saya kenal di lingkungan tempat tinggal saya. Izinkan saya menceritakan kisahnya.

Orang itu sangat dikenal warga. Khususnya jamaah masjid. Setiap kali sembahayang di masjid, orang itu selalu ada. Sebagai orang baru di lingkungan itu, tentu saya sangat mengaguminya. Kepada saya, dia baik sekali. Kepada orang-orang yang lain pun selalu ramah. Menyapa dengan caranya yang istimewa. Menyalami dengan genggaman yang bersahabat dan penuh semangat. Saya sering melihat dia menjadi orang terakhir yang meninggalkan masjid, dan dialah yang menutup pintu gerbangnya. Semula saya mengira dia itu petugas masjid. Ternyata bukan. Jika ada acara di masjid, maka dia seperti pemeran utama dalam setiap pekerjaan yang dihindari oleh kebanyakan orang lainnya. Sampah-sampah yang berserakan dibersihkannya. Karpet miring dirapikannya. Boleh dibilang; orang ini adalah ’benteng pertahanan terakhir’ dalam setiap kegiatan.

Entah perasaan saya saja. Atau memang demikian adanya; kebaikan orang ini kepada saya, melebihi kebaikannya kepada orang lain. Ini membuat saya seperti punya pertalian batin. Akhir-akhir ini, saya tidak lagi melihat orang itu. ”Mungkin sudah pulang kampung,” begitu saya berpikir. Ada rasa kangen kepadanya. Meskipun dia punya kekurangan, namun kekurangan itu menjadi salah satu keistimewaan tersendiri baginya.

Tahukah Anda siapa nama orang itu? Saya yakin Anda tidak tahu. Karena, tidak seorang pun diantara kami yang mengetahui namanya. Bukannya kami tidak peduli, tetapi karena sejarah yang melekat terhadap proses kedatangan dan perkenalan awalnya. Orang itu berasal dari daerah. Tinggal di lingkungan kami untuk menunaikan tugas dari majikannya menjaga rumah kosong yang tidak ditinggali pemiliknya dalam waktu yang lama. Pada waktu itu, warga sedang membangun masjid. Dan orang ini tanpa bicara. Tanpa berkata ini dan itu. Tanpa bertanya berapa upahnya. Dia langsung mengangkat batu. Mengangkut pasir. Menggali tanah. Menggotong kayu. Dan mengerjakan pekerjaan-pekarjaan kasar lainnya. ”Siapakah orang itu?” Tak ada yang tahu. Yang jelas, dia bukan tukang yang dipekerjakan oleh pemborong proyek. Namanya proyek, tentu tidak sembarang orang boleh masuk. Maka dia pun ditanya; ”Kamu siapa?”

Orang itu menjawab; ”Hahu.”
”Nama kamu siapa?” orang-orang bertanya lagi.
”Hahu!” katanya.
Tidak peduli berapa kali ditanya, orang itu memberikan jawaban yang sama. ”Hahu!”
Maka sejak saat itu, orang memanggilnya Pak Gagu. Sebutan umum untuk orang yang tuna wicara. Orang-orang pun paham, mengapa selama ini dia tidak banyak bicara.

”Kamu mau apa kesini?” pertanyaan berikutnya meluncur.
”Hahu! Hahu, hahu!” katanya. Saya bisa membayangkan wajahnya yang sumeringah dengan sorot matanya yang berbinar-binar. Orang itu benar-benar mempunyai semangat seperti seorang anak kecil yang diberi mainan baru oleh ayahnya.

”Kamu?” kata orang-orang. ”Mau apa datang kesini?” Pertanyaan itu kembali ditegaskan.
”Hahu! Hahu, hahu!” Jawab Pak Gagu. ”Hahu Hahu! Haaaahu!” tambahnya lagi. Dia berusaha untuk menjelaskan panjang lebar dengan bunyi ’hahu’-nya. Namun kali ini sambil memperagakan cara mengangkat, menggali, dan menggotong. Lalu tangannya seperti sedang melukis sesuatu di udara.

”Masjid?” tanya orang-orang.
”Hahu. Hahu!” jawabnya sambil tertawa lebar.
Sekarang orang-orang mengerti bahwa Pak Gagu itu datang untuk ikut bekerja sebagai buruh pembangunan masjid. Sebenarnya, tidak diperlukan tenaga kerja tambahan. Tapi mengingat kondisinya yang seperti itu. Dan kesungguhannya dalam bekerja. Maka diputuskanlah jika Pak Gagu diterima untuk bekerja sebagai buruh bangunan proyek itu. Dia pun menampakkan wajah riang gembira. Sejak saat itu, Pak Gagu resmi menjadi pekerja di proyek itu.

Hari gajian pun tiba. Pak Mandor tentu sudah menyiapkan segepok uang untuk membayar upah kerja. Satu persatu wajah-wajah lelah itu berubah sumeringah. Hari ini, tetesan keringat mereka membawa hasil berupa rupiah. Hari ini, mereka gajian. Mereka pun mengantri dengan tertib. Setelah semua pekerja lama menerima gajinya, tibalah giliran Pak Gagu.

”Gagu, sini.” Pak Mandor memanggilnya.
Orang yang dipanggil tidak juga menyahut. Dia terus saja sibuk dengan urusannya. Tidak ikut berkerumun seperti orang lainnya. Sekarang orang tahu. Bahwa selain Gagu, orang ini juga tidak bisa mendengar secara sempurna. Butuh seseorang untuk memanggilnya dengan suara keras sekali. Dan dia pun datang menghampiri Pak Mandor yang siap membayar gaji.

”Ini...” kata Pak Mandor setengah berteriak. ”Upah kamu.”
”Hu?” Wajah Pak Gagu seperti membeku. ”Hahu hahu hahu!!!!!” Katanya. Dia mengibas-ngibaskan tangannya. Seperti orang yang mengatakan ’tidak’.

”Maksud kamu apa?” tanya orang-orang.
”Hahu! Hahu, hahu!” Jawabnya sambil kembali mengibas-ngibaskan tangan. Ditambah beberapa gerakan lain yang membuat semua orang semakin bingung.
”Kurang?” Kata Pak Mandor. ”Kan semua orang juga bayarannya sesuai pekerjaan....”
”Hahu! Hahu hahu...” jawab Pak Gagu. Tangannya kembali sibuk mengibas-ngibas.

Untuk kalimat terkahir ini, semua orang bisa mengerti maksudnya. Kira-kira begini; ”Bukan, bukan begitu....”

”Jadi maksud kamu apa?” Semua orang semakin penasaran.
Pak Gagu pun segera mengucapkan ”Hahu! Hahu, hahu!”nya berulang kali. Sambil menggambar di udara lagi. Gambar masjid, tentu saja. Lalu memasuk-masukkan comotan tangannya ke mulutnya seperti orang makan. Kemudian tangannya di kibas-kibaskan. Terus, telapak tangannya mengusap-usap perutnya. Setelah itu telunjuknya menunjuk-nunjuk ke langit.

Setelah memikirkannya dengan cermat. Orang-orang paham bahwa yang dimaksud Pak Gagu adalah begini;”Saya bekerja disini untuk membangun masjid. Bukan untuk mencari makan. Karena kebutuhan perut saya sudah dijamin oleh Allah Yang Maha Menafkahi....”

Subhanallah.
Semua orang terpana.
Pak Gagu itu profesinya hanya penunggu rumah orang lain. Tapi punya jiwa yang sedemikian beningnya.....

”Hahu! Hahu hahu...” kata Pak Gagu lagi. Sekali lagi menggambar di udara. Gambar masjid lagi. Kemudian jempol dan jari tengahnya digesek-gesek. Lalu tangannya dikibas-kibaskan. ”Saya mau ikut membangun masjid ini. Bukan mau mencari uang......” Begitu maksudnya.

Merinding orang-orang mendengar penyataan Pak Gagu. Dengan segala kekurangan fisiknya, dia mempunyai jiwa yang sedemikian sempurnanya.

Hingga masjid itu selesai dibangun. Pak Gagu menjadi bagian yang memberikan andil tak ternilai. Jika warga kompleks pada umumnya menyumbang sejumlah uang atau material lain dalam berbagai bentuknya. Maka Pak Gagu, menyumbangkan tenaganya untuk mewujudkan rencana itu. Mengaduk, menyusun, dan menembok material itu. Hingga mewujud menjadi sebuah masjid. Masjid Al-Falah namanya. Masjid di komplek kami.

Kejadian itu, berlangsung lama sebelum saya tinggal di situ. Tapi, tahukah Anda; darimana saya mengetahui cerita itu? Dari salah seorang tokoh masyarakat. Mungkin saya tidak bisa menceritakan detail dan akurasi kisahnya 100%. Tetapi, cerita itu dibenarkan oleh tokoh masyarakat lainnya. Selama saya mengenal Pak Gagu, saya dapat merasakan betapa beliau adalah orang yang tidak lagi terikat oleh keterbatasan dirinya. Dalam acara kerja bakti, saya sering melihatnya menenteng alat-alat kerja. Disaat warga yang punya rumah tinggal dan mobil bagus pada sibuk dengan alasannya untuk mangkir kerja bakti, Pak Gagu yang ’hanya’ penunggu rumah itu justru tampil diposisi paling depan.

Orang-orang berada seperti kita, terbiasa bertanya;”Saya kan sudah bayar iuran bulanan, kenapa urusan kebersihan lingkungan masih harus kita kerjakan?”

Pak Gagu yang memiliki kekurangan itu terbiasa tidak bicara. Karena selain Gagu, baginya mulut itu lebih baik ditutup daripada mengucapkan kata-kata yang tidak bermakna. Pada diri Pak Gagu, saya melihat contoh hidup orang yang menjalankan nasihat Rasulullah;”Bicaralah yang baik. Kalau tidak bisa, diam sajalah....”

Daripada menggunakan mulutnya untuk mengungkit-ungkit iuran yang sudah dibayarkan seperti kebanyakan warga komplek, Pak Gagu memilih untuk tidak bicara. Dia diam saja, karena tahu bahwa Rasul memerintahkannya demikian. Setelah itu, dia melakukan Firman Tuhan dalam kitab suci; ”Berlomba-lombalah untuk melakukan kebaikan!”

Sungguh.
Pak Gagu itu seorang tuna wicara. Tidak bisa bicara dengan baik. Tapi segala hal yang dia lakukan untuk orang lain telah menjadikan kata-kata kehilangan makna. Disaat orang lain sibuk menanyakan mengapa mesti begini, mengapa tidak begitu sebelum berbuat kebaikan bagi orang lain; Pak Gagu menikmati kebisuannya dengan segala kebaikan.

Sungguh.
Pak Gagu itu seorang tuna rungu. Tidak bisa mendengar dengan sempurna. Tapi setiap subuh, dia sholat berjamaah di masjid yang dia ikut serta membangunnya. Bagaimana dia mendengar suara adzan? Disaat orang lain sibuk memanjakkan rasa ngantuk karena lelah kemarin mencari uang seharian. Dan merasa telah sempurna amalnya karena sudah menyumbang untuk pembangunan masjid; Pak Gagu menikmati kesunyiannya dengan dzikir dan panggilan menuju kemenangan hakiki. ”Hayya ’alal falaaah... Mari menuju kepada kemenangan...”.

Akhir pekan lalu, saya diajak oleh pengurus masjid untuk bertandang ke kandang di pasar hewan. Jauh. Di Bogor. Tapi karena rame-rame ya jadinya asyik juga. Disana, ada pasar khusus sapi. Pilihannya banyak. Dan sudah menjadi langganan pemasok sapi kurban kami selama bertahun-tahun.

Setelah cocok segalanya. Pedagang sapi bertanya; ”Kapan sapinya mau dikirim....?”
”Seminggu sebelum kurban saja...” kata salah seorang diantara kami.
”Weeeh... jangan kelamaaaaan..” jawab yang lain. ”Sehari sebelum kurban saja.”
”Kenapa? Kan lebih baik jika beberapa hari sebelumnya...”
”Jangaaan.. bisa repot urusannya.” jawab beliau. ”Siapa yang ngurus?” katanya. ’Kalau ada si Gagu sih enak....”

Deg. Jantung saya seperti ditumbuk ketika mendengar kalimat ”Kalau ada si Gagu sih enak....” Seolah menjawab kerinduan saya kepadanya selama ini.

”Memangnya Pak Gagu kemana, Pak?” saya tidak kuasa menahan rasa pensaran itu.
Terlalu besar kerinduan saya kepada sosok Pak Gagu. Kepada keistimewaan yang dibangunnya dari kekurangan-kekurangan yang dimilikinya. Kepada keikhlasannya. Kepada kerendahhatiannya. Kepada kekhusyuannya dalam beribadah. Kepada semua yang ada pada dirinya.

Ternyata. Bukan hanya saya yang merindukan kehadiran Pak Gagu.
Rupanya langit pun merindukannya. Malaikat merindukannya. Surga merindukannya. Dan Tuhan. Pun merindukannya. ”Memangnya Pak Gagu kemana, Pak?” Pada tanggal 1 Januari 2012. Setelah sembahyang subuh Pak Gagu mengayuh sepedanya. Lalu telinganya yang tak bisa berfungsi sempurna itu sayup-sayup mendengar panggilan mulia ini; ”Wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridho dan diridhoi-Nya. Masuklah engkau kedalam golongan hamba-hambaKu. Dan masuklah engkau, kedalam surgaKu....”

Selama ini, Pak Gagu sudah menjadi contoh hidup bagaimana ajaran Nabi dan kalam-kalam Ilahi tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Di pagi yang sunyi itu, Pak Gagu kembali menunaikan panggilan Ilahi yang sayup terdengar ditelinga jiwanya itu. Sebuah sepeda motor yang melaju kencang mengantarkan dirinya memenuhi panggilan atas kerinduan Ilahi itu. ”BRAAAKKK.....!!!” Sepeda tuanya terlempar hingga ringsek. Sedangkan Pak Gagu, terbang ke langit. Memenuhi panggilan Ilahi. Untuk yang terakhir kalinya.