Memperkaya Diri Dengan Pengalaman



Halah. Kaya pengalaman. Kami ingin kaya harta!
Haha. Siapa juga yang tidak ingin kaya dengan harta. Saya juga termasuk didalamnya. Tapi, kalau pun saya sudah kaya nanti, saya tidak bisa membagi harta saya kepada Anda. Bukannya saya pelit. Tetapi, sebanyak apapun harta saya; tidak akan cukup untuk dibagikan kepada semua orang yang menginginkannya.

Namun jika Anda ingin memperkaya diri sendiri dengan ilmu dan pengalaman, maka Anda bisa mengandalkan saya sebagai teman seperjalanan. Lalu dengan ilmu dan pengalaman itu, kita bisa memperbesar peluang untuk mendapatkan penghasilan lebih banyak. Siapa tahu, dengan kaya pengalaman itu; pada akhirnya kita juga bisa kaya harta kan? Bagaimana, apakah sekarang Anda siap untuk memperkaya diri dengan pengalaman? Baiklah. Kita mulai perjalanan ini. Sekarang.

Seperti halnya Anda, saya punya cukup banyak teman yang telah bekerja lebih dari 20 tahun. Tetapi, teman-teman yang sudah sedemikian lama bekerja ini sangat miskin sekali dengan pengalaman. Saya juga punya teman yang masa kerjanya baru beberapa tahun saja. Tapi dengan masa kerja yang pendek itu, mereka mempunyai pengalaman yang sangat banyak. Lantas saya bertanya-tanya; apakah gerangan yang membuat kedua kelompok teman itu berbeda sangat jauh sekali?

Saya menemukan cukup banyak indikasi. Salah satunya begini. Kebanyakan pekerja, hanya menyibukkan dirinya sendiri dengan tugas-tugas hariannya seperti orang lain mengerjakannya. Misalnya. Seseorang bekerja di pabrik sepatu. Tugas hariannya adalah memotong kulit bahan sepatu. Tentu begitu tugasnya jika bekerja di bagian cutting. Setiap hari. Dengan dedikasi tinggi dia berangkat dari rumahnya, menuju ke pabrik tempatnya bekerja. Lalu dengan tekun menyelesaikan tugas-tugasnya dengan baik. Tidak ada sedetik pun waktu kerja yang disia-siakannya. Ketika jam kantor selesai. Barulah dia pulang dengan perasaan lega karena; hari itu sudah ditunaikannya tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Apakah dia karyawan yang baik? Yes. Definitely. Dia seorang karyawan yang sangat baik. Karena, begitu dilakukannya setiap hari disepanjang karirnya. Tidak pernah kurang dari itu. Hari-hari berlalu. Seperti Anda yang sering tidak ingat tanggal. Karyawan ini pun sering tidak peduli hari. Pokoknya, setiap hari mencurahkan pengabdiannya kepada pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Alon-alon, konsisten, dilakoni. Tanpa terasa, dirinya sudah menjalani hari-hari seperti itu selama 15 tahun. Ya ampuuun, nggak kerasa ya….?

Bagus? Bagus sekali. Loyal? Loyal sekali. Berdedikasi? Oh, tinggi sekali. Lalu perhatikan pertanyaan ini; “Apakah teman kita itu mempunyai pengalaman yang banyak setelah selama 15 tahun bekerja dengan baik dipabrik sepatu itu?” Renungkanlah dulu pertanyaan itu, sebelum Anda menjawabnya.
Setelah merenungkannya sejenak. Cek lagi. Apakah jawaban Anda akurat. Jika sudah yakin, bandingkan dengan jawaban saya berikut ini; “Orang itu, hanya memiliki 1 (SATU) pengalaman. Yaitu, teknik memotong kulit bahan sepatu”. Samakah jawaban Anda dengan kunci jawaban yang saya berikan? Ah, sama atau tidak, bukan masalah. Yang penting sekarang Anda paham, bahwa setelah bekerja belasan tahun, teman kita itu masih saja miskin dengan pengalaman.

“Heyheyhey…. Gue nggak kerja di pabrik sepatu!” Mungkin Anda berjingkrak kegirangan. Hmmh… semoga saja Anda tidak keberatan jika sebenarnya saya tidak sedang membicarakan karyawan di pabrik sepatu. Saya hanya meminjam kisahnya sebagai ilustrasi bahwa betapa banyak karyawan hebat yang sangat berdedikasi kepada pekerjaannya selama bertahun-tahun. Namun tidak sadar jika selama rentang waktu yang panjang itu mereka hanya melakukan pekerjaan yang itu-itu saja. Mari jawab pertanyaan ini; “Sudah berapa lama Anda mengerjakan tugas harian yang saat ini Anda kerjakan?” Satu bulan? Satu tahun? Satu windu? Satu dekade?

Mari dengan tulus kita perhatikan diri kita dan lingkungan tempat kerja kita. Anda mengenal sekretaris yang sudah puluhan tahun bekerja disana; sebagai sekretaris. Anda melihat office boy yang belasan tahun bekerja disana sebagai office boy. Anda melihat orang sales yang bertahun-tahun menjadi orang sales di posisi yang sama. Orang marketing. Orang manufacturing. Orang finance. Orang HRD. Orang legal. Orang…. Adakah posisi dikantor Anda yang belum saya sebutkan? Tolong dilengkapi kekurangan saya ya. Agar kita bisa melihat. Betapa, kita telah membiarkan diri ini miskin pengalaman setelah selama bertahun-tahun disibukkan dengan urusan, tantangan dan keruwetan yang itu-itu saja.

Sahabatku. Kekayaan diri kita atas pengalaman, tidak dibentuk dari mengerjakan tugas yang sama sepanjang waktu. Melainkan dari kesediaan kita untuk mencoba hal-hal lain selain tugas-tugas rutin yang setiap hari mesti kita kerjakan. Jika ingin kaya dengan pengalaman, maka kita mesti mau keluar dari zona nyaman. “Jadi….. mesti pindah kerja maksudnya?” Mungkin kebanyakan orang berpikir demikian. Tapi, izinkan saya mengajak Anda untuk melihat solusi lainnya.

Untuk memperkaya diri dengan pengalaman, Anda tidak perlu pindah ke perusahaan lain kok. Malah sebaiknya, jika perusahaan tempat Anda bekerja sekarang telah menerapkan prinsip pengelolaan perusahaan yang baik a.k.a Good Corporate Governance; sebaiknya Anda tinggal disana. Dan bangunlah masa depan karir Anda mulai dari sana. Jangan pindah ke tempat lain.

Lantas, bagaimana caranya memperkaya diri dengan pengalaman itu jika masih terus berkutat disitu? Oooh, tentu ada caranya. Tapi sebelum saya membahas lebih jauh, izinkan saya bertanya; bersediakah Anda untuk ‘membayar harganya’? H-ha-harus bayar? Tidak dengan uang Anda. Tenang saja. Cukup dengan menginvestasikan tiga hal ini saja; (1) komitmen pribadi yang tinggi (2) tenaga yang lebih banyak, dan (3) waktu ekstra. Itu saja. Bagaimana, Anda bersedia? Jika Anda benar-benar ingin memperkaya diri dengan pengalaman, Anda tentu bersedia kan? Yes. Keren!

Nah, jika Anda bersedia. Kita akan lanjutkan pembahasan tentang langkah-langkah praktis yang bisa Anda tempuh. Tapi, supaya artikel ini tidak kepanjangan. Ijinkan saya untuk menguraikannya dalam tulisan edisi yang akan datang. Sekarang, kuatkan lagi kesediaan Anda untuk membayar dengan 3 hal diatas. Bukan dengan uang Anda. Lalu, hari ini; Anda kerjakan tugas rutin Anda sebaik-baiknya. Kemudian, tambahkan sedikit doa agar saya bisa memposting artikel tentang langkah-langkah praktisnya besok pagi. So, see you again tomorrow morning with the second part of this topic. Dan sebelum kita berpisah hari ini, ijinkan saya untuk menyampaikan pesan di white board milik Natin The Office Boy berikut ini; Jabatan Anda tidak berguna lagi jika sudah pensiun. Gaji berheti dibayarkan. Dan segala fasilitas mesti dikembalikan kepada perusahaan. Tapi pengalaman Anda, akan Anda bawa pulang. Dan menjadi milik Anda. Untuk selama-lamanya.” Sampai jumpa lagi esok hari. Doakan saya mampu melakukannya ya. Bismillah.

Cara Memperkaya Diri Dengan Pengalaman


Jika saat ini Anda dapat membaca artikel ini, berarti Tuhan telah mengijinkan saya untuk meneruskan artikel saya sebelumnya dengan tema “Memperkaya Diri Dengan Pengalaman”  Seperti yang saya janjikan, kali ini kita akan membahas tentang cara praktis yang bisa kita tempuh untuk memperkaya diri dengan pengalaman sehingga dengan masa kerja yang ada, kita bisa memiliki pengalaman yang lebih banyak. Mengapa kita membutuhkannya?

Karena sahabatku, kelak jika kita sudah pensiun. Segala sesuatunya harus kita kembalikan kepada perusahaan. Kecuali satu hal saja. Yaitu, pengalaman yang sudah berhasil kita simpan didalam diri kita. Yang satu ini, akan menjadi milik kita sampai akhir hayat.  

Tapi seperti yang saya katakan sebelumnya; ini tidak gratis. Anda harus membayarnya. Masih ingat dengan apa? Bukan dengan uang Anda, karena meskipun saya butuh uang; saya sama sekali tidak menginginkan uang Anda. Bayarkan dengan tiga hal ini saja; (1) komitmen pribadi yang tinggi (2) tenaga yang lebih banyak, dan (3) waktu ekstra. Itu saja. Bagaimana? Sudah cocok harganya? Deal. Nah, jika Anda sudah siap untuk membayarnya dengan ketiga hal itu, sekarang saya mengundang Anda untuk menemani saya mempelajari cara memperkaya diri dengan pengalaman. Mari memulainya dengan memahami dan menerapkan 5 sudut pandang , berikut ini:  

1.      Menyelesaikan pekerjaan utama tanpa cela. Seseorang punya pengalaman kerja bagus dalam CV-nya. Lalu direkrut oleh perusahaan yang membutuhkan karyawan berpengalaman. Namun dalam masa probation 3 bulan, orang ini tidak menunjukkan kinerja yang memuaskan. Orang ‘berpengalaman’ itu tidak lulus masa percobaan. Padahal menurut CV yang ada, dia sudah lama bekerja dibidang itu. Kenapa ya? Seperti membangun rumah yang wajib dimulai dengan menyelesaikan fondasinya terlebih dahulu. Pekerjaan utama Anda adalah fondasi yang tidak boleh ada cela. Mesti sempurna. Jika pekerjaan kita masih berantakan, itu menunjukkan keterampilan atau komitmen kita yang buruk. Tidak mungkin kita memperkaya diri dengan pengalaman yang lebih banyak, iya kan? Jadi, hal pertama yang mesti Anda pastikan adalah; pekerjaan harian Anda selesai dengan nilai sempurna. Anda mesti memperjuangkannya sampai kesempurnaan itu bisa dicapai. Indikasinya adalah; Anda tidak mengeluhkannya. Anda senang hati dan gigih selama menjalaninya. Dan Anda, menghasilkan kinerja dengan kualitas yang paling baik dibidang itu.

2.      Proaktif melakukan job enrichment. Meski banyak yang mengenal istilah ini, tapi hanya sedikit yang mau melakukannya. Job enrichment. Maknanya, seseorang yang punya posisi seperti orang lain; namun diberi tugas tambahan yang lebih banyak dari tugas dan tanggungjawab regulernya. Dengan job enrichment ini, seseorang mesti punya komitmen yang kuat untuk bekerja lebih banyak dan lebih lama dibanding orang lain; tanpa menuntut bayaran tambahan. Glek! Idealnya, job enrichment ini difasilitasi oleh perusahaan. Namun, selain tidak semua perusahaan punya kultur ini; program yang diinisiasi oleh perusahaan juga sering mendapatkan penolakan dari karyawan. Minimal sambutan yang dingin. Karena tanpa kesadaran yang tinggi; jarang ada karyawan yang mau melakukan kerja extra tanpa bayaran tambahan. Jika Anda ingin kaya dengan pengalaman, job enrichment merupakan pilihan tepat. Bagaimana jika perusahaan Anda tidak punya program ini? Anda yang harus proaktif mengusulkannya kepada perusahaan. Supaya Anda, mendapatkan kesempatan pertama dalam penerapannya

3.      Menjalani job enrichment secara informal. Perusahaan Anda, belum tentu mempunyai kesiapan system dan organisasi untuk melakukan job enrichment secara formal. Tetapi, kita bisa melakukannya secara informal. Salah satu cara yang bisa Anda coba adalah; datanglah kepada atasan Anda. Lalu menawarkan diri membantu menyelesaikan tugas-tugas beliau. (Glek! Lagi) Anda tentu mafhum bahwa atasan Anda mempunyai tugas dan tanggungjawab yang lebih tinggi dari Anda. Maka ketika Anda belajar menyelesaikan tugas beliau; Anda sedang mendorong diri Anda agar naik kelas dengan mendapatkan pengalaman mengerjakan tugas-tugas yang melampaui posisi Anda. Saya, mempraktekkan cara itu. Hasilnya? Hmmh… asyik banget. Dan saya, kena hukum karma. Beberapa anak buah saya mengetuk pintu kamar kerja saya, lalu katanya;”Pekerjaan saya sudah selesai Pak. Apakah saya bisa membantu menyelesaikan pekerjaan Bapak?” Nah. Profesional seperti inilah yang bakal mempunyai kekayaan pengalaman berharga bagi masa depan karirnya. Anda sudah terbiasa dengan perilaku ini? Jika belum, cobalah sekarang juga.

4.      Ikutilah projek-projek di departemen lain. Anda tentu sibuk sekali dengan tugas-tugas Anda. Apakah Anda senang jika perusahaan menugaskan seseorang untuk  membantu menyelesaikan tugas-tugas berat Anda? Tentu senang sekali ya. Tapi, percayalah; itu tidak akan terjadi. Tapi mari kita lihat sisi baiknya. Seseorang di departemen lain pun mengharapkan adanya tenaga bantuan karena mereka pun sama sibuknya dengan Anda. Dan seperti Anda, mereka juga tidak akan dapat tambahan orang dari perusahaan. Maka, Anda; boleh mendatangi kepala departemen atau direkturnya – dengan seijin atasan Anda – untuk menawarkan diri membantu terlibat dalam proyek-proyek mereka (Glek! Sekali lagi). Saya. Dulu mempraktekkan itu. Hasilnya? Boss-boss menelepon saya; “Ada jabatan kosong ditempat gue. Elo mau pindah ke team gue?!” Oh, sedap sekali. Anda, jika sudah terbiasa terlibat dalam proyek-proyek didivisi atau departemen lain, akan memiliki kekayaan pengalaman yang melimpah ruah. Dan kelak; Anda akan mendapatkan penawaran pertama ketika departemen itu sedang membutuhkan orang untuk mengisi jabatan kosong yang ada.

5.      Efektifkanlah waktu kerja Anda. Kita semua mempunyai tantangan yang sama, yaitu; waktu yang sangat terbatas. Makanya banyak orang ragu, bagaimana mungkin kita punya pengalaman yang kaya dalam waktu yang serba singkat ini. Hey. Waktu setiap orang sama. 24 jam sehari. Tapi kenapa ada yang tetap miskin dengan pengalaman. Dan ada yang kaya? Jawabannya terletak kepada seberapa efektifnya dia menggunakan waktu yang ada. Coba simak sekeliling Anda. Ada yang datang pagi-pagi absen. Bukan langsung bekerja. Melainkan pergi ke warung kopi, terus merumpi sampai jam setengah sembilan. Lihat fenomena jam makan siang. Setengah dua belas orang sudah pada berebut bubaran. Dan jam satu, masih belum balik lagi. Bagaimana dengan jam pulang kantor? Begitu ‘teng’, langsung ‘go’. Sahabatku, kekayaan pengalaman tidak bisa didapat dengan cara menggunakan waktu kerja seperti itu. Ingatlah bahwa waktu kita terbatas. Setiap detik, sangat berharga. Maka gunakanlah detik demi detik Anda untuk menambah kekayaan pengalaman. (Glek! Juga)
Banyak sekali Glek!-nya ya?

Sudah saya katakan sebelumnya. Bahwa kekayaan pengalaman tidak bisa didapatkan secara gratis. Anda harus membayarnya dengan 3 hal. Masih ingat apa saja itu? Yes. (1) komitmen pribadi yang tinggi (2) tenaga yang lebih banyak, dan (3) waktu ekstra. Saya tahu bahwa hanya sedikit orang yang mau membayarnya dengan ketiga hal ini. Makanya, hanya sedikit karyawan yang memiliki kekayaan pengalaman yang tinggi. Dan itulah pula sebabnya mengapa nilai mereka sangat tinggi. Mereka tidak perlu melamar kerja, karena banyak boss yang ingin mempekerjakan mereka. Mereka tidak perlu merengek minta kenaikan gaji karena mereka mendapatkan kenaikan gaji istimewa diluar jadwal regulernya yang setahun sekali itu.

Dan ketika pensiun kelak. Mereka memiliki bekal yang jauh lebih bernilai dibandingkan dengan sejumlah uang yang belum tentu mencukupi biaya hidup sampai tutup usia. Mereka. Menjadi punya lebih banyak peluang untuk bisa dilakukannya kelak setelah tidak berstatus sebagai karyawan lagi. Dan mereka, bisa melihat begitu banyak kesempatan yang bisa diraihnya. Dengan berbekal pengalaman yang beragam macam itu. Jadi, jelas sekali jika pengalaman sangat bermanfaat bagi hari esok kita. Maka mari sahabatku, kita belajar memperkaya diri dengan pengalaman. Demi kebaikan hari esok kita. Seperti yang Tuhan perintahkan dalam surah 59 (Al-Hasyr) ayat 18 : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwallah kepada Allah. Dan hendaklah setiap jiwa menyiapkan bekalnya untuk hari esok…..” Hari esok kita sungguh sangat panjang, sahabatku. Mari temani saya memperkaya diri dengan pengalaman berharga. Sebagai bekal untuk menempuhnya.

Cowok Dengan Rok Berwarna Pink


Memangnya siapa yang mau mengabaikan jati dirinya sendiri? Bahkan sekedar KTP saja kita tidak berani secara sengaja mengabaikannya kan? Benar. Tetapi identitas diri kita yang sesungguhnya tidak terbatas pada apa yang tertera dalam ‘kartu identitas’ atau data diri di HRD, maupun informasi yang tersimpan di kantor catatan sipil tentang diri kita.

Jati diri kita adalah; “Siapa diri kita yang sesungguhnya”. Mungkin, sampai sekarang saya belum benar-benar paham ‘siapa sesungguhnya diri saya ini’ mengingat begitu banyaknya hal tentang diri saya yang belum dipahami seluruhnya. Bagaimana dengan Anda? Jam 9.30 hari Jumat pekan lalu saya ada jadwal meeting dengan salah satu klien di seputaran Sudirman.

Tepat jam 11.30 meeting selesai. Lantas saya sembahyang Jumat di Masjid terdekat. Setelah itu, tanpa sempat makan siang langsung meluncur ke daerah Salemba untuk pertemuan yang lain. Orang-orang yang sekitar jam dua siang itu berada daerah itu tentu mengetahui bahwa saat itu hujan lebat mengguyur Jakarta hingga pandangan nyaris tertutupi oleh curahannya. Ketika itu, saya sudah sampai di lapangan parkir. Kalau boleh memilih, saya ingin tinggal saja didalam mobil. Namun, kan lucu juga menunda pertemuan padahal kita sudah berada di parkiran? Beruntung juga ada payung. Sehingga bisa menerobos hujan. Hasilnya, saya sampai di ruang pertemuan dengan sedikit basah dibagian bawah. Tapi masih okelah, mengingat keadaannya yang memang seperti ini.

Jam setengah tiga sore, pertemuan itu selesai. Saya pun pamit. Sampai di lobby, hujan lebih lebat dari yang tadi. Halaman kantor sudah terendam air setinggi beberapa senti. ‘Haruskah saya menerobos hujan yang sedemikian derasnya ini?’ begitu saya bertanya pada diri sendiri. Mesti. Soalnya, jam 5 sore nanti saya punya jadwal les musik didaerah Cibubur. Nggak bakal kekejar kalau harus menunggu hujan yang entah jam berapa berhentinya ini. ‘Kalau pun sepatu basah tak apa, toh di mobil ada alas kaki lain yang memadai….’. Lalu…. Breng…. Payung itu beraksi kembali.

Sampai di dalam mobil, hanya bagian kepala dan badan saja yang tidak basah kuyup. Celana panjang, seperti habis nyemplung ke kolam dengan kedalaman hingga ke paha. Ini baru masalah. Bisa masuk angin saya jika keadaanya demikian selama sisa perjalanan. Perut ini kerubukan juga karena sampai sesore ini baru diisi dengan bekal makan pagi yang disiapkan isi saya dalam breakfast box. Badan basah, perut kosong. Gawat.

“Tuhan, apakah gerangan pelajaran yang bisa saya dapatkan dari kejadian ini?” begitu saya membatin. Sambil terus memikirkan bagaimana mengatasi celana panjang yang basah kuyup ini.

Tuhan memang selalu menyediakan jawabannya. Dia mengilhamkan untuk mencari sesuatu yang mungkin tersedia didalam mobil sebagai pengganti celana panjang ini. Siapa tahu ada celana pendek bekas fitness yang masih tertinggal. Atau ada koran bekas. Atau apa sajalah. Ndilalah. Semua yang saya harapkan itu tidak ada. Tapi sebagai gantinya, ada mukena istri saya. Alhamdulillah. Anda tahu kan, mukena itu terdiri dari dua bagian. Atasannya berupa jilbab panjang. Sedangkan bawahannya berupa kain seperti rok besar. Tak perlu berpikir terlalu lama. Celana panjang basah pun diganti dengan rok mukena itu. Sekarang saya merasa seperti baru saja ganti kelamin. Dan tahukah Anda, apa warna mukena itu? Pink!

Mungkin ini kali palajarannya ya? Apa? Emboh. Saya belum mengerti. Tapi sudahlah. Yang penting badan sudah mulai terasa hangat lagi. Anehnya…. I can truly tell you the truth. Sejak rok mukena pink itu saya kenakan; hujan angin yang sangat lebat itu sepertinya tiba-tiba saja mereda. Tinggal gerimisnya saja sehingga saya menyesal juga tidak sabar menunggunya tadi. Oh, mungkin ini pelajaran soal kesabaran barangkali ya? Kita mesti lebih sabar menunggu sesuatu hingga tuntas. Supaya bisa mendapatkan yang kita inginkan. Tetapi, kemudian batin saya mengguggat;”Apakah memang kita harus menunggu sesuatu yang tidak jelas kapan tuntasnya, padahal masih ada janji dengan orang lain yang mesti ditepati?”

Bukan. Bukan itu. Karena saya yakin bahwa Tuhan menghendaki hamba-hambaNya untuk menepati janji. Jelas sekali perintahnya dalam kitab suci. Sehingga kenekatan menerobos hujan itu adalah tindakan yang benar. Oh, mungkin ini pelajaran tentang kesediaan untuk berkorban demi menjalankan komitmen. Kita sering menemukan orang yang mudah sekali mengabaikan komitmennya kan? Alhamdulillah. Hari ini, saya mendapatkan pelajaran berharga itu. Jika sudah berkomitmen, kita mesti berusaha semaksimal mungkin untuk memenuhinya.

Saya pun keluar dari parkiran kantor itu. Biasalah di Jakarta, untuk meninggalkan suatu gedung kita mesti melakukan putaran ini itu. Dan ajaibnya. Tepat ketika saya berada di jalur utama persis didepan kantor itu; matahari tersenyum cerah! Udara Jakarta pun panas seperti sedia kala. Sungguh. Cuaca kembali terik seperti biasanya. Saya menyesal? Emmh… tidak juga. M-maksud saya. Bukan soal menerobos hujan deras itu yang sekarang sedang mengganjal hati. Ini loh. Rok warna pink yang saya kenakan ini!

“Ganjen amat sih. Nggak apa-apa lagi, kan nggak ada yang tahu ini…” Ngaku aja deh. Anda bilang begitu didalam hati. Kata hati saya juga awalnya bilang begitu. Tapi Anda tahu kan kalau hujan berhenti di jam sibuk kota Jakarta? Jalanan tergenang air sehingga lalu lintas tersendat. Para pengendara sepeda motor yang sedari tadi pada berteduh sekarang berhamburan sekaligus seperti laron yang berebut mengerubuti lampu. Breng….. semuanya menyerbu jalanan. Penjumlahan antara genangan air dengan orang-orang yang pada berebutan dijalan menghasilkan kemacetan yang tak terbayangkan. Tapi bukan itu masalah paling parahnya buat harga diri saya. Itu loh. Para pengendara motor itu. Setiap kali pengendara motor melewati saya atau berhenti disamping saya; mereka pada melirik kedalam mobil. Mereka memperhatikan rok warna pink saya!

Jika kita pernah ketemu, tentu Anda tahu penampilan dan potongan rambut saya. Cowok banget. Kemeja kerja saya berwarna biru dengan kombinasi garis putih. Keren kalau dikenakan dengan jas dan dasi. Tapi dengan rok warna pink? Oh!

“Tuhan, apakah gerangan pelajaran yang bisa saya dapatkan dari kejadian ini?” Mengenakan rok pink itu seperti tengah mengkhianati jati diri. Gue ini cowok tulen! Tapi mata semua orang seperti tengah menggunggat;”Elo itu laki apa perempuan sih?” Pertanyaan itu nyaring terdengar lewat setiap mata yang melongok kedalam mobil. “Atau… jangan-jangan elo AC-DC!” Waduh, lebih parah lagi.

Jati dirimu itu, Dadang. Sangat penting sekali. Ini adalah pelajaran tentang siapa diri kita yang sesungguhnya. Maka jangan sekali-kali engkau mencoba mengingkari siapa dirimu sesungguhnya. Mungkin engkau tidak mengingkarinya secara langsung. Namun engkau mengenakan atribut-atribut yang tidak sesuai dengan dirimu. Berperilaku yang tidak sepantasnya engkau lakukan. Maka engkau pun, kehilangan jati dirimu sendiri. Jati diri Anda, teman-teman. Sangat penting sekali.

Baiklah. Saya mengerti. Tapi saya tidak bisa menghindar kali ini. Darurat. Bukankah dalam keadaan darurat sikap, tindakan dan perilaku kita yang kurang pas masih bisa dimaklumi? Wajar dong melakukan ini. Atau itu. Kan keadaannya darurat!

Hmmh… masih belum mengerti juga rupanya kamu ini, Dang!

Tidak ada lagi hujan sekarang. Terik Jakarta seperti sedang musim kemarau saja. Meski jalanan tergenang. Tapi dibeberapa bagian jalur yang saya lalui keadaanya benar-benar Jakarta banget! Warung makan berjejer disepanjang jalan. Sementara perut ini terus keruyuk-keruyuk. Memang sudah saatnya untuk makan. Tapi…. Bagaimana bisa masuk ke warung-warung itu jika semua mata menatap keanehan bagian bawah tubuh ini? Saya memang termasuk orang nekad dan tebel muka. Tapi tidak sampai sebegitunya kaleee…..

Malu. Itulah sebuah kata yang dipesankan oleh Rasulullah untuk terus dipegang teguh. Bukan sembarang malu. Melainkan malu yang muncul didalam hati kita, ketika kita melakukan sesuatu yang tidak sepantasnya. Sekalipun dalam keadaan darurat kebanyakan orang mau berkompromi sampai akhirnya timbullah budaya yang serba permisif. Segala keadaan bisa disebut darurat di zaman ini. Pakailah rasa malumu. Maka, kedaruratan tidak akan mendorongmu untuk melakukan ‘segala cara’.

Tiba saatnya untuk membayar di pintu keluar toll. Kaca pintu dibuka sesedikit mungkin agar petugas tidak sempat mengintip kedalam. Jelas sekali raut wajahnya yang menyiratkan tanda tanya; ‘ini orang nyembunyiin apa sih didalam mobil…? Kok sampai sebegitunya!’ EGP!

Pintu toll segera ditinggalkan. Tapi. Indikator bahan bakar menunjukkan jika sekarang sudah saatnya mengisi lagi. Masih bisa ditunggu sampai besok, sih. Cukup. Tapi jam 5 pagi besok saya harus pergi. Maka terpaksa deh, belok dulu ke pom bensin. Masalahnya, lubang pengisian bensin ada di sebelah kiri. Kaca jendela mesti dibuka lebih lebar supaya bisa berkomunikasi dengan petugas SPBU. Nggak masalah sih sebenarnya. Tapi cara dia menatap rok pink ini yang bikin panas hati. EGP lagi deh!

Perhatikan saja. Orang-orang yang perilakunya tidak sesuai dengan jati dirinya yang sesungguhnya, selalu menutup wajahnya supaya tidak terlihat orang saat sedang disorot oleh kamera atau tengah digiring di pengadilan. Itu pertanda bahwa jika kita tidak ingin dipermalukan, maka kita perlu memastikan hanya berperilaku yang memang pantas dan sesuai dengan jati diri kita. Tapi ada kok, ‘pesakitan’ yang masih bisa senyum didepan kamera tivi. Berarti nasihat Nabi tentang rasa malu itu tidak cocok dong? Bukan tidak cocok. Tapi orangnya saja yang sudah tidak mau mendengarkan bisikan hati nuraninya sendiri. Jadi, tetap bangga, ketawa ketiwi, dan hepi-hepi aja meskipun terbukti melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan jati dirinya.

Sebentar dulu. Dari tadi kita sudah menyebut frase ‘jati diri’ beberapa kali. Tapi, jati diri apa-an sih yang kita maksudkan? Saya akan menjawab pertanyaan ini dengan firman Tuhan dalam surah 95 (At-Tiiin) ayat 4 ini : “Sungguh, Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya….” Tentu. Baik itu bukan hanya fisiknya saja. Tapi juga ‘dalemannya’. Inilah jati diri kita yang sebenarnya. Yaitu, sebaik-baik mahluk yang Tuhan ciptakan. Maka hanya hal-hal baik saja yang cocok menjadi atribut yang menempel didalam diri kita. Hal buruk, tidak cocok. Seperti tidak cocoknya rok warna pink untuk dikenakan seorang cowok.

Bagaimana jika kita nekat? Kenekatan saya menggunakan rok pink itu sudah menunjukkan beberapa konsekuensinya. Maka ayat ke-5 firman itu berbunyi begini; “Kemudian kami kembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya….” Kita ini memang diciptakan sebagai mahluk terbaik. Begitulah jati diri kita. Namun kita, bisa saja dihempaskan hingga ke tempat paling rendah. Jika kita nekad mendandani diri kita, dengan tindakan, perilaku, dan tingkah polah yang tidak sesuai dengan jati diri kita.

Peran Setiap Atasan Dalam HR Audit

Kali ini saya mengajak Anda menyimak artikel saya yang telah dipublikasikan dalam sebuah majalah HR. Topiknya bertema “Aspek Yang Paling Mendasar Dalam HR Audit”. Bagaimana jika Anda bukan orang HR? Anda perlu juga memahaminya. Iyya dong. Kan ini menyangkut SDM di team kita sendiri. Jika kita biarkan HRD mengurusinya sendiri belum tentu hasilnya sesuai dengan kebutuhan kita. Maka kita mesti ikut terlibat dalam pengembangannya. Dengan pemahaman yang baik terhadap aspek ini, kita berpeluang untuk bisa ikut berperan secara aktif dalam menemukan gagasan-gagasan pengembangan SDM yang lebih baik.

Sehingga team yang kita pimpin bisa berkembang secara optimal. Dan menghasilkan produktivitas yang maksimal. Bagaimana, Anda sudah siap? Baiklah. Kita mulai dengan memahami proses ‘HR Audit’.

HR Audit. Sepertinya sedang mewabah. Perusahaan-perusahaan besar khususnya, seperti sedang terkena demam ini. Baguskah? Oh, sangat bagus sekali. Jika ada demam dari suatu wabah yang baik, maka ini merupakan salah satunya. Dengan terkena demam ini, maka perusahaan bisa berharap adanya perbaikan dalam system atau tata kelola sumber daya manusianya. Lantas, apa dampak dari HR audit itu kepada proses pengembangan karyawan di perusahaan?

Kesungguhan untuk menindaklanjuti. Mari kita ambil contoh sederhana. Apakah diperusahaan Anda sudah dilakukan HR Audit? Sudah? Baiklah. Lantas apa follow up yang sudah dilakukan dari hasil audit itu? Bagus sekali jika di perusahaan Anda proses HR Audit itu ditindaklanjuti dengan langkah-langkah nyata. Kenapa? Karena ada indikasi jika dibanyak organisasi bisnis hasil audit itu hanya dibahas sampai rapat pimpinan, kemudian dimasukkan ke dalam lemari arsip. Selesai. Baru dibuka lagi nanti. Kalau ada yang bertanya soal itu.
Jika di perusahaan Anda sudah dilakukan follow-upnya, maka masih ada 2 pertanyaan lagi yang penting untuk kita renungkan.

Pertama, apakah program follow up yang dijalankan itu untuk melakukan perbaikan system dan tata kelolanya? Ataukah hanya sekedar untuk memenuhi keinginan pihak tertentu agar bisa melakukan presentasi yang menarik dihadapan para stakehorder? Kenapa pertanyaan ini penting untuk direnungkan? Karena ada juga indikasi bahwa program-program follow-up sering sekedar nice to have belaka. Ciri jika program itu sekedar untuk menyenangkan stakeholder adalah; tidak ada keterkaitannya langsung dengan perbaikan kinerja atau produktivitas karyawan. Padahal, fungsi HR berada digaris paling depan dalam peningkatan produktivitas, bukan? Hal ini, masih sering terlupakan. Makanya, tidak heran jika program follow up dari HR Audit itu sering on-off alias musim-musiman saja. Atau, tidak jelas apa keterkaitannya dengan peningkatan produktivitas karyawan. Ya pokoknya, ada kegiatan follow-up saja. Mestinya, tidak demikian.

Penjara prosedur dan administratif. Aspek apa saja sih yang difollow-up? Gampang ya menjawabnya. Yaitu; semua aspek dalam audit yang direkomendasikan perlu dilakukan perbaikan. Memang inilah jawaban yang tepat. Namun apakah hal itu bisa memberikan dampak signifikan? Bisa ya. Bisa tidak. Mengapa demikian? Karena jika kita mencermati aspek-aspek audit yang saat ini dilakukan; kebanyakan hanya berfokus kepada aspek-aspek administratif saja. Dimasa silam, aspek seperti itu disebut sebagai personalia. Belum berkelas Human Resource Development atau Human Capital Development. Istilahnya jadul sekali ya? Betul. Tapi pola pikir itu masih dominan dibanyak tempat sampai sekarang.

Sekarang, hampir tidak ada perusahaan besar yang menggunakan terminology ‘Personalia’ lagi. Tapi praktek-prakteknya sering hanya sebatas fungsi administratif saja. Tidak lebih dari itu. Maka tidak heran jika karyawannya jarang sekali mendapatkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan dan pelatihan. Baik hard skill. Maupun soft skill. Ini menunjukkan bahwa fungsi mendasar HRDnya belum benar-benar berjalan. Meskipun namanya sudah lebih bergengsi dari sekedar sebutan ‘personalia’.

Kondisi ini tercermin pada aspek-aspek yang ditelaah dalam proses HR Audit. Perhatikan para pakar dan konsultan SDM berbicara tentang HR Audit. Aspek yang dibahasanya terutama berfokus kepada aspek administratif semisal: Proses rekrutmen dan orientasi, benefit, kompensasi, system evaluasi kinerja, proses pemutusan hubungan kerja, proses wawancara bagi yang mengundurkan diri, job description, dan berbagai macam formulir yang berlaku di keHRan, maupun tata kelola data-data karyawan. Aspek mendasar fungsi HRDnya sering ketinggalan.

Di Negara maju yang ketat system kebijakannya, bahkan HR audit dilakukan hanya sebatas untuk memastikan bahwa praktek-praktek pengelolaan HRnya tidak melanggar hukum. Karena setiap pelanggaran hukum mempunyai konsekuensi yang berat baik secara financial maupun terhadap reputasi perusahaan. Dan mereka – seperti halnya kita – lupa kepada fungsi HRDnya sendiri, yang jauh lebih besar dan lebih kompleks dari sekedar fungsi personalia. Kebanyakan HRD di perusahaan – semoga di perusahaan Anda tidak demikian – hanya sibuk dengan urusan administrative and policies. Namun, meninggalkan fungsi ‘people development’-nya.
Untuk mengaudit apakah perusahaan Anda seperti yang saya sebutkan diatas atau tidak, mudah saja. Tidak perlu mengundang konsultan. Dan tidak usah mengeluarkan biaya besar. Cukup dengan melihat komposisi energy, agenda utama, maupun aktivitas di HRD perusahaan Anda. Di aspek manakah lebih banyak alokasinya? Aspek-aspek administrative and policies ? Ataukah di dalam aspek ‘pengembangan’ sumber daya manusianya? Anda akan menemukan jawaban terbaiknya dengan menelaahnya sendiri.

Fungsi pengembangan SDM. Inilah fungsi yang membedakan antara Personalia dan Human Resources Development. Jika di suatu perusahaan lemah system pengembangan sumber daya manusianya, maka di perusahaan itu belum ada fungsi HRD. Meskipun ada HR Manager atau bahkan HR Direktur? Betul. Meskipun sebutannya HR Directorate, jika aktivitas pengembangan SDMnya lemah, maka fungsinya baru sebatas personalia saja.

Penting untuk melakukan HR Audit memang. Namun, dampak positifnya hanya akan benar-benar bisa diperoleh jika audit itu dilakukan mencakup prinsip yang paling fundamentalnya. Yaitu fungsi HRD itu sendiri. Bukan sekedar kepada prosedur, administrasi, dan policies belaka. Sayangnya, banyak perusahaan sudah cukup puas dengan mendirikan Departemen HRD, namun masih berkutat dengan fungsi personalia. Belum menapak ke level yang lebih tinggi. Yaitu, Human Resources Development functions. Padahal itu, adalah aspek yang paling mendasar dalam HR Audit. Namun belum banyak tersentuh selama ini.

Memang tidak semua aspek pengembangan SDM bisa ditangani secara internal. Tapi ada banyak sumber daya dari luar yang bisa membantu jika diperlukan. Jika berhasil menemukan mitra yang tepat untuk proses pengembangan ini, maka SDM dan perusahaan Anda akan merasakan manfaatnya.
To sum up. Lets start to audit your HR functions. And find out. Wheter you mostly focus its functions to administrative and policies, or you have already moved up to the next level of HR department contribution namely; Developing your people, to reach their upmost capabilities. And turning it, into higher level performance.

Melayani Hamba Kesayangan Tuhan

 
Hari itu sabtu sore. Ayah langsung meminta Mama menelepon rumah sakit untuk mencari tahu; apakah ada dokter spesialis yang praktek malam ini. Ada. Parktek dari jam 18.30  sampai 21.00. Maka setelah selesai sholat Magrib Ayah langsung berangkat bersama Kakak menuju ke Rumah Sakit. Waktu belajar kemarin, kakak merasakan sakit dibelakang telinganya.

Ada benjolan kecil yang bisa diraba disana. Sudah dibawa ke dokter sekolah. Dan dokter sekolah merujuknya ke dokter spesialis. Kakak baru bicara ke Ayah dikeesokan harinya. Maka Ayah buru-buru membawanya kerumah sakit begitu tahu ada dokter spesialis yang praktek. Ayah. Sangat menghargai ilmu. Dan profesionalisme orang lain. Dan Ayah. Tidak pernah keberatan untuk membayar orang lain secara layak. Yaa.. seperti halnya Ayah juga ingin dihargai dan dibayar layak oleh orang lain. Sebagai syaratnya ya tentulah Ayah mesti bekerja dengan sebaik-baiknya. Karena bekerja, bukan sekedar mencari uang belaka.

Bekerja itu adalah melayani hamba-hamba kesayangan Tuhan. Maka bekerja itu adalah amanah. Yang dipercayakan kepada kita, oleh orang lain atau klien atau perusahaan yang memberi pekerjaan itu. Kata Ayah, nggak main-main loh amanah itu. Ternyata, kualitas pribadi seseorang kelihatan dari caranya menjaga amanah itu. Hanya pribadi mulia yang memuliakan amanah yang diembannya. Dan sebaliknya.

Jam 19.00 Ayah sampai di rumah sakit, lantas bergegas menuju ke ruang praktek dokter. Ternyata, dokternya belum datang. Kata suster, biasanya datang sekitar jam delapan malam. Kakak yang cerdas itu spontan berkata;”Katanya jam setengah tujuh….” Maklum, Kakak kan masih kecil. Jadi ceplas-ceplos kalau bicara. Tapi Ayah juga begitu kok. Jam delapan, suster memberi tahu bahwa dokternya masih dalam perjalanan. Baru sampai sekitar setengah Sembilan. Ya udah deh sabar saja. Pokoknya malam ini bisa konsultasi kepada ahlinya, dan mendapatkan penjelasan yang memuaskan.

Ketika giliran dipanggil tiba, Ayah dan Kakak segera masuk ke ruang periksa. Lalu dokter memeriksa seperti biasanya. Setelah itu, Ayah bertanya;”Dok, sakit apa anak saya?”
Sebagai seorang ahli, tentu saja dokter bisa bicara banyak sekali. Namun, dalam bahasa awam bisa dirangkum menjadi satu kalimat kira-kira begini;”Untuk mengetahui penyakitnya diperlukan foto ronsen….”

Ya sudah, kami bergegas ke lab ronsen. Mendaftar. Difoto.  Lalu diminta menunggu sekitar setengah jam. Ayah sih tidak keberatan. Demi kesembuhan anaknya. Tapi ada masalah lain. Ayah melihat dokter ahli itu keluar dari lift lalu pulang. Katanya, hari senin aja penjelasan hasil foto ronsennya. Wah, berarti Ayah tidak bisa mencapai tujuannya untuk mendapatkan pandangan dokter ahli itu tentang penyakit anak kesayangannya. Tapi manusia kan mesti sabar. Tidak boleh grusa grusu. Apalagi menyulitkan orang lain untuk menolongnya. Lho, tapi kan bayar? Iya. Meskipun kita membayar, tapi tidak berarti kita boleh merampas hak orang lain.  Maka Ayah dan Kakak pun pulang. Sambil bersabar untuk menunda rasa ingin tahunya sampai hari senin.

Belajar dari pengalaman sebelumnya. Senin malam ini Ayah tidak terlalu buru-buru. Santai saja perginya karena yakin kalau dokter itu akan datang seperting kemarin. Nggak bakalan lebih cepat. Kalau kata Ayah, itu berkaitan dengan pola mental kita. Jika kita sudah terbiasa datang terlambat, maka akan sangat sulit untuk datang tepat waktu. Coba saja lihat. Dikantor, orang yang suka terlambat itu ya orangnya yang itu-itu juga kan? Jadi benar kata Ayah. Maklum Ayah kan seorang trainer yang dulunya juga pernah bekerja sebagai professional di perusahaan global yang besar. Pengalaman Ayah, membuat argumennya sulit dibantah. Malam itu pun, kata-kata Ayah terbukti lagi. Tapi bedanya, sekarang Ayah dan Kakak tidak perlu tergesa-gesa berangkat dari rumah. Begitulah salah satu hikmah ketika kita bisa memahami orang lain. Nggak ada kesal. Yang adalah adalah antisipasi.

Giliran Kakak pun tiba. Dokter ahli itu membaca lembaran hitam di kotak putih dengan lampunya yang terang. Kelihatan tuch hasil foto ronsennya. Ayah, memperhatikan wajah dokter itu dengan seksama. Kayaknya, Ayah sedang mempraktekkan ilmu tentang membaca air muka. Bener loh. Kita bisa membaca pikiran orang lain dari raut wajahnya. Tapi, Ayah juga tidak sadar kalau ada orang lain yang memperhatikan wajah Ayah sehingga bisa tahu apa yang Ayah pikirkan waktu itu. Intinya, Ayah mengira jika dokter ahli itu belum menemukan penyakit yang dialami Kakak. Tapi nggak tahu juga sih, itu kan hanya tebakan dari hasil mengamati wajah Ayah. Mungkin juga wajah Ayah begitu karena cemas saja.

Dokter mamatikan lampu di kotak putih itu. Lalu memutar kursinya kearah Ayah. “Hmmmh… katanya…” menghela nafas. “Kenapa ya?” lanjut dokter itu. Wajah Ayah menampakkan pikirannya lagi. Ayah bilang dalam hatinya;”Wah, dokter ini nggak tahu soal ini…” Tapi Ayah nggak mungkin mengatakan itu kan? Itulah manfaatnya memahami hubungan antara pikiran, perasaan dengan raut wajah seseorang. Kita nggak perlu menginterogasinya untuk mengetahui pikiran dan perasaannya kan?

“Kita observasi sajalah Pak…” kata dokter. “Dilihat saja kalau benjolannya semakin membesar, ya kita periksa lagi.” Lanjutnya. “Sekarang sakitnya masih kerasa, nggak?” katanya lagi. Kali ini melihat kepada Kakak yang membalasnya dengan kata ‘nggak’. “Nanti kalau terasa sakit lagi, kita periksa lagi Pak…” kembali ditatapnya wajah Ayah.
Ada beberapa dialog antara Ayah dan dokter. Namun, raut wajah Ayah kembali memberitakan bahwa dirinya sudah tidak perlu terlalu banyak lagi bicara dengan dokter ahli itu karena hanya akan mendengarkan pengulangan kalimat seperti yang sebelum-sebelumnya. Maka Ayah dan Kakak pun pamit. Tetap dengan rasa hormat dong. Karena dokter itu telah berusaha menolong kami. Kita kan nggak bisa memaksa orang lain untuk melakukan sesuatu melampaui kemampuannya. Dan tentu, bukan perkara mudah untuk mendiagnosis suatu penyakit. Maka meskipun Ayah tidak mendapatkan informasi yang diharapkannya, tetap saja berterimakasih banyak kepada dokternya.

“Langsung ke kasir ya Pak…” kata suster yang mengantar keluar ruang praktek.
‘Oh, mungkin ada uang pendaftaran,’ begitu Ayah berpikir. Wajar dong untuk membayar uang pendaftaran. Kecuali jika Rumah Sakit itu mau bermurah hati menggratiskannya. Tapi kan nggak apa-apa juga dong kalau tetap menerapkan tarif daftar.
Sesampai dikasir, Ayah langsung menyerahkan dokumen yang dikasih suster di poli. “Tidak ada resep ya Pak?” tanya petugas kasir.

“Nggak Mbak, karena kami kesini hanya untuk menanyakan hasil ronsen yang belum dijelaskan dokter.” Begitu jawab Ayah. “Hari Sabtu lalu dokternya keburu pulang….”
Petugas itu mengiyakan. Lalu ‘ketek, ketek, ketek’ bunyi keyboard computer mengiringi gerakan jemari tangannya. “Seratus delapan puluh ribu rupiah, Pak” katanya.
“M-maaf suster…” kata Ayah. “Untuk biaya apakah pembayaran itu…?” lanjutnya.
“Untuk biaya konsultasi dengan dokter Pak…” jawabnya.

“M... Begini suster. Dua hari lalu, saya konsultasi kepada dokter itu, beliau minta ronsen, dan beliau sudah pulang sebelum pekerjaannya selesai.” Ayah menjelaskan. “Apakah tidak aneh masih kena biaya konsultasi lagi? Kalau saya berobat, atau konsultasi soal lain memang mesti bayar kan. Ini saya meminta penjelasan dokter tentang apa yang kami konsultasikan dua hari sebelumnya yang belum saya dapatkan?” Ayah kalau sudah nyerocos susah direm.
“Iya tapi kan Bapak ke dokter lagi hari ini. Jadi harus bayar lagi….” Jawabnya.

“Lho, mestinya kan dokter itu tidak pulang dulu sebelum pekerjaannya selesai sabtu kemarin?” jelas Ayah. “Kalau tahu begini saya akan minta dokter itu menunggu sampai hasil ronsen selesai.” Dulu Ayah pernah menjadi anak berandal gitu deh. Dan sekarang gaya bicaranya hampir mirip seperti dulu.

Petugas itu menelepon. Dari hasil menguping, dia bicara dengan suster di poli spesialis. Agak lama sih. Dan Ayah nggak mau menguping lebih jauh lagi.
“Iya Pak, barusan saya sudah konfirmasi kepada dokternya. Kata beliau setiap kali bertemu dengan dokter ya harus membayar……” katanya. Sekarang wajahnya menunjukkan perasaan yang tidak menentu. “Maaf ya Pak….” Tambahnya.

“Maaf ya Mbak, ini bukan soal uang.” Kata Ayah, sambil mengeluarkan sarana pembayaran. “Insya Allah, saya masih bisa membayarnya.” Lanjutnya sambil menyerahkannya kepada petugas. “Tapi, dimanakah letak tanggungjawab professional seorang dokter dan rumah sakit?” Begitulah Ayah kalau ‘penyakitnya’ sedang kambuh.
Sudahlah Ayah. Petugas itu hanya menjalankan perintah. Dia tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya Ayah memegang tangan Kakak. Itu jauh lebih baik dibandingkan dengan menceramahi orang lain yang tidak bisa mengubah kebijakan atau ketidakbijakan seseorang. Alhamdulillah. Ayah tidak tertarik lagi untuk bicara. Setelah menyelesaikan urusan pembayaran itu, Ayah pulang.

Memang sih, Ayah tidak bisa menemukan apa yang dicarinya soal penyakit Kakak. Tapi malam ini Ayah mendapatkan pelajaran berharga. Tentang betapa besarnya manfaat menjaga amanah, alias menjalankan tanggungjawab professional yang dipikulnya. Ayah teringat orang-orang yang sangat dihargai dikantornya. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai reputasi tinggi sebagai orang-orang yang menuntaskan tanggungjawabnya dengan penuh dedikasi. Bukan orang-orang yang semata-mata menuntut ‘duite endhi?!’

Ayah juga teringat kepada orang-orang dikantor yang bekerja hanya sebatas mengharapkan imbalannya duluan. Biasanya mereka bekerja alakadarnya saja. Yaaah…cuman digaji segini ya kerjanya segini saja. Malahan Ayah tahu ada saja orang yang sengaja mengulur-ulur waktu agar jam kerjanya lebih lama. Dengan begitu dibayar lebih banyak. Mereka lupa, bahwa reputasinya justru malah memburuk dengan sikap tidak amanah itu.

Dan Ayah melihat bahwa orang-orang yang menjalankan amanahnya secara penuh, selalu berusaha untuk mencurahkan seluruh kemampuan dirinya. Agar bisa menyelesaikan penugasan alias amanah yang sudah diberikan kepadanya. Dan Ayah menyaksikan, bahwa orang-orang seperti ini punya reputasi yang tinggi, sekaligus penghasilan yang tinggi. Merekalah yang menurut kitab suci mendapatkan imbalan di dunia. Dan memperoleh pahala diakhirat. Yaitu mereka, yang bekerja bukan semata-mata mengejar uang. Melainkan melayani hamba-hamba kesayangan Tuhan; agar bisa memperoleh manfaat sebesar-besarnya dari interaksinya dengan dirinya. Merekalah yang membuat Tuhan suka.

Sehingga Tuhan senantiasa menjaga orang-orang itu. Seperti dilukiskan dalam firmanNya dalam surah 23 (Al-Mu’minuuun) ayat 8 : “Yaitu, orang-orang yang memelihara amanah-amanah yang dipikulnya, dan janjinya…..”
Ketika lulus kuliah, setiap dokter membacakan sumpah. Sungguh sangat agung bunyi sumpah itu. Sebagiannya berbuyni kira-kira seperti ini:
Demi Allah, saya bersumpah bahwa :
Saya akan membaktikan hidup saya guna kepentingan perikemanusiaan; Saya akan memberikan kepada guru-guru saya penghormatan dan pernyataan terima kasih yang selayaknya; Saya akan menjalankan tugas saya dengan cara yang berhormat dan ber­moral tinggi, sesuai dengan martabat pekerjaan saya; Kesehatan penderita senantiasa akan saya utamakan; ……….

Saya ikrarkan sumpah ini dengan sungguh-sungguh dan dengan memper­taruhkan kehormatan diri saya.
Raut wajah Ayah mengabarkan jika didalam hatinya Ayah berkata;”Saya kan bukan dokter!” Lalu raut wajah itu berubah sebaliknya. Ayah sadar, bahwa tandatangan yang dibubuhkannya dalam setiap kontrak kerja. Atau dalam surat pernjajian kerjasama dengan kliennya, pada hakekatnya adalah janji yang Ayah ikrarkan untuk bekerja sebaik-baiknya.

Dan untuk janji itu, Tuhan akan memperhitungkannya. Tuhan memberikan imbalannya, seperti dalam kelanjutan firman itu pada ayat ke-10 dan ke-11 ini: “Mereka orang-orang yang akan mewarisi surga firdaus. Mereka kekal didalamnya….”
Ketika sampai di parkiran, Ayah tersenyum. Sambil bertekad didalam hatinya. Untuk menjalankan amanah professional yang dipikulnya dengan sebaik-baiknya. Karena sekarang Ayah semakin sadar, bahwa pekerjaan yang ditekuninya ini bukanlah semata-mata untuk menjadi sumber nafkah didunia saja. Melainkan juga jalan yang dibukakan Tuhan agar bisa memasuki surga yang disediakannya bagi orang-orang yang bekerja, untuk melayani orang lain dengan sebaik-baiknya. Yaitu melayani, hamba-hamba kesayangan Tuhan.