Tentang Associated dan Disassociated

Sembari Anda duduk dan membaca tulisan ini, Anda bisa mulai memikirkan sebuah pengalaman yang paling lucu yang pernah Anda alami. Lihatlah dengan mata kepala Anda sendiri apa yang terjadi ketika itu. Dengarkan dengan seksama suara atau musik apa saja yang muncul. Rasakan kembali perasaan yang Anda pada saat itu sepenuhnya.

Ambil waktu Anda, dan nikmati Anda kembali pada masa itu.

Sekarang, keluarlah dari pengalaman tersebut. Saya tidak tahu persis bagaimana Anda akan melakukannya, namun jadikan pengalaman itu sebagai sebuah film yang sedang diputar di bioskop dan Anda duduk di bangku penonton menontonnya. Lihatlah film Anda dari sudut pandang seorang penonton dan dengarkan suara atau musik yang muncul dari sound system di gedung bioskop tersebut. Pada saat yang sama, rasakan apa yang Anda rasakan demi melihat kesemuanya sebagai seorang penonton.

AHA! Anda bisa merasakan perbedaanya, kan?

Bagus. Jika Anda sudah membaca tulisan-tulisan saya sebelumnya mengenai rep system dan temannya si submodality, maka ini adalah aplikasi yang sedikit lebih mendalam mengenai keduanya. Yang baru saja Anda rasakan adalah submodalitas associated dan disassociated. Associated adalah kondisi kita berada dalam konteks kita mengalami suatu kejadian tertentu. Ibarat sebuah film, maka kita menjadi aktor dari film tersebut dan karenanya kita melihat, mendengar, dan merasakan dari sudut pandang kita sendiri. Sebaliknya, disassociated terjadi ketika kita ’keluar’ dari konteks kejadian tersebut. Masih dengan metafora film, kita bisa menjadi penonton ataupun petugas bioskop yang memutar film tersebut.

Ah, petugas bioskop! Jika Anda menginginkan, Anda bisa mencoba kembali latihan di atas dengan menambahkan 1 langkah lagi, yaitu menjadi petugas bioskop yang memutar film diri Anda. Dengan demikian, Anda akan melihat diri Anda sedang duduk menonton sebuah film tentang diri Anda. Lihat film tersebut, dengarkan suara atau musik yang muncul, dan rasakan kembali demi melihat kesemuanya.

Berbeda lagi rasanya, kan?

Nah, kemampuan asosiasi-disasosiasi ini adalah salah satu keterampilan penting dalam NLP. Betapa tidak, begitu banyak teknik NLP didasarkan atas prinsip ini. Coba perhatikan, dalam kondisi associated intensitas emosi biasanya sangat tinggi, dan karenanya kita sulit untuk memahami sebuah pengalaman secara obyektif. Sebaliknya, kondisi disassociated memungkinkan kita untuk tetap merasakan emosi yang sama namun dengan intensitas yang lebih rendah dan tingkat kesadaran (consciousness) lebih tinggi sehingga bisa memahami pengalaman yang sama dari sudut pandang yang berbeda. Di titik inilah kita bisa merasakan secara riil prinsip the map is not the teritory.

Loh, nyambung toh?

Jelas nyambung. Masih kembali ke uraian tentang rep system, kita tidak akan pernah bisa memahami kejadian yang kita alami, sebab kejadian itu sendiri sudah tidak murni lagi ada dalam pikiran kita. Kita melihat, mendengar, dan merasakan sensasi dari luar, lalu otak kita mengkodenya menjadi bentuk gambar, suara, dan perasaan dalam diri kita. Ditambah dengan saringan dari keyakinan (belief), nilai-nilai (value), dll, film yang ada dalam pikiran kita semakin terdistorsi dan menyesuaikan diri dengan berbagai saringan tersebut. Jadilah ia sebuah film yang tidak lagi menggambarkan kejadian aslinya, melainkan justru menggambarkan cara pandang kita sebagai penonton demi melihat kejadian tersebut.

Sedikit bingung? Tenang, contoh sekarang.

Apa yang muncul dalam benak Anda jika saya mengatakan kata ”gempa”?

Bagi Anda yang pernah mengalami gempa seperti saya, mungkin kata tersebut akan memunculkan sebuah gambaran kericuhan pada saat kejadian gempa disertai perasaan takut nan cemas yang melanda. Namun buat Anda yang tidak pernah mengalaminya, maka kata yang sama bisa jadi hanya memunculkan ingatan akan berita-berita di televisi tentang berbagai gempa yang pernah Anda lihat.

See? Sebuah kata (baca: teritori) yang sama memunculkan respon yang berbeda-beda pada tiap orang, sebab people response to their internal maps. Ya, kita tidak pernah merespon terhadap sebuah kejadian, melainkan terhadap ’peta’ yang kita miliki tentang kejadian tersebut.

Nah, disinilah associated-disassociated menjadi alat yang penting jika kita ingin memahami sebuah situasi dengan lebih obyektif. Dengan disassociated terhadap sebuah pengalaman yang ada dalam pikiran, maka kita ’melepaskan’ diri sejenak terhadap ’peta’ yang kita miliki terhadap pengalaman tersebut untuk kemudian dapat menyesuaikan ’peta’ tersebut sehingga menjadi sebuah ’peta’ yang lebih empowering.

Berminat mencoba saat ini?

Vibrasi Positif dengan Reframing

Apa menurut Anda yang akan Anda rasakan jika Anda mampu berada dalam kondisi positif 24 jam sehari 7 hari seminggu?

Luar biasa tentunya, bukan? Membayangkan diri terbebas dari belenggu mood dan beragam situasi eksternal yang seringkali kita anggap memegang kendali terhadap pikiran dan emosi jelas adalah hal yang amat menggembirakan. Sisi lain, berkaitan dengan vibrasi positif yang menjadi syarat penting dalam LoA, kondisi (state) positif amat memungkinkan kita untuk memancarkan vibrasi positif setiap saat kapan pun kita menginginkannya.

Nah, salah satu teknik dalam NLP yang merupakan favorit saya untuk selalu berada dalam kondisi positif ini adalah reframing. Reframing istimewa bagi saya karena kesederhanaannya (meskipun belum tentu mudah) namun memiliki efek yang besar sekalipun seringkali dilakukan hanya dengan menggunakan percakapan saja.

Prinsip dasar reframing adalah mengubah keberatan menjadi keuntungan. Dengan syarat keberatan tersebut adalah sesuatu yang tidak bisa diubah lagi. Misalnya, cacat tubuh, kejadian di masa lalu, anggota keluarga, dll yang memang di luar lingkaran pengaruh kita untuk berbuat sesuatu guna menjadikannya sesuai dengan keinginan kita. Didasarkan pada asumsi bahwa di balik setiap perilaku/kejadian terkandung maksud positif, reframing mengajak kita untuk keluar dari kerangka berpikir ‘masalah’ dan melompat ke dalam kerangka berpikir ‘solusi’ atau ‘tujuan/outcome’.

Lalu, bagaimana kita bisa melakukannya?

Ada cukup banyak teknik reframing yang hingga kini ditemukan oleh para pakar NLP. Kumpulan teknik tersebut seringkali disebut sebagai Sleight of Mouth Pattern atau Mind-Lines Pattern dalam Neuro-Semantic. Namun dalam kesempatan kali ini, saya hanya akan membahas 2 jenis reframing yang paling dasar dan cukup ampuh untuk menjadikan kita senantiasa berada dalam kondisi positif: context dan content reframing.

Context Reframing

“Tubuh saya terlalu tinggi!”

Menggunakan jenis ini, kita memindahkan suatu hal atau kejadian dalam konteks ruang/waktu yang berbeda sehingga memunculkan makna baru yang lebih positif. Dalam contoh keberatan di atas, maka kita bisa bertanya, “Dalam konteks apakah tubuh yang tinggi tersebut menjadi keuntungan?” Dan beragam jawaban pun bisa kita munculkan mulai dari cocok sebagai olahragawan, tidak memerlukan tangga untuk mencapai tempat yang tinggi, tidak terhalang ketika nonton konser, sampai pada mendapatkan udara yang lebih segar karena udara yang berada di atas lah yang masih murni dan menyegarkan.

Bagaimana dengan, “Tubuh saya terlalu pendek!”?

Dengan pertanyaan yang sama kita bisa menemukan banyak konteks seperti lebih lincah dalam bergerak, lebih hemat dalam membuat pakaian (apalagi jika si orang ini memiliki orientasi finansial yang tinggi), dll.

Jika Anda masih ingat dengan pembahasan kita tentang Meta Model, maka reframing jenis ini amat pas jika digunakan pada kalimat keberatan yang menggunakan pola universal quantifiers.

Content/Meaning Reframing

Berbeda dengan context reframing, pada jenis ini kita menggali makna lain yang lebih positif dari suatu hal atau kejadian tanpa memindahkan atau mengubah kejadiannya.

“Anak buah saya sulit untuk diajak kerja cepat! Tidak sabar saya dibuatnya.”

Menggunakan content reframing, kita bisa bertanya, “Apa makna lain yang positif dari anak buah yang sulit diajak untuk bekerja cepat?” Seketika, kita pun dapat menemukan pertanyaan baru seperti, “Bukankah itu berarti mereka mengerjakan pekerjaan dengan hati-hati?” Dan BUM! Makna baru pun kita dapatkan. Dengan frame ini, sang atasan dapat lebih fokus untuk mendayagunakan anak buahnya agar dapat menghasilkan pekerjaan dengan kualitas yang lebih tinggi alih-alih pusing dengan kelambatan mereka.

Nah, apa yang bisa kita lakukan dengan keberatan ini: “Produkmu bagus, tapi harganya terlalu mahal!”

Yak, tepat. Salah satunya, “Benar. Kami memang tidak ingin mengorbankan kualitas hanya demi harga jual yang murah. Bukankah Anda juga demikian?”


Pertanyaan: Sama kah reframing dengan positive thinking?

Jawaban saya: ya dan tidak. Bahwa kita mencari makna yang lebih positif itu benar. Namun reframing tidak sekedar mencari makna yang positif, ia adalah usaha untuk mencari makna positif yang empowering bagi kita.

Loh, memangnya ada berpikir positif yang tidak empowering?

Tentu ada. Misal, jika rekan Anda mengeluh, “Istri saya sangat posesif sehingga selalu menelepon saya setiap jam!” dan Anda mengatakan kepadanya, “Bukankah itu berarti ia perhatian kepada Anda?”. Ini adalah sebuah usaha untuk berpikir positif, namun pertanyaan saya, “Apakah Anda mau diperhatikan dengan cara seperti itu?” Reframing seperti, “Bukankah itu sinyal untukmu untuk dapat lebih peka dan mencari tah apa penyebabnya?” barangkali lebih tepat karena bersifat action oriented.

Nah, lalu apa kaitannya dengan vibrasi positif dalam LoA?

Sangat erat. Jika Anda ingin menjadi ‘magnet’ yang memiliki daya tarik positif yang kuat, maka Anda pun harus memancarkan aura positif yang kuat pula. Tanpa perlu teknik macam-macam yang njelimet dan memakan waktu, Anda bisa menjadi pribadi yang lebih positif dengan reframing. Ketika seseorang menyalip Anda di jalan dengan kasar, misalnya, alih-alih membiarkan emosi negatif Anda meluap Anda bisa mengatakan, “Barangkali ia memang sedang buru-buru karena ada anggota keluarganya yang sakit.” Beres, kan?

Atau, Anda pulang kantor dan jalanan macet luar biasa, “Wah, kesempatan buat baca buku dan menikmati musik nih.” Yang terakhir ini sering sekali saya lakukan sehingga saya tidak lagi merasakan kemacetan sebagai sebuah musibah.

Sederhana, kan? Tanpa perlu mengotak-atik kejadiannya, kita bisa menjadikan kejadian apapun lebih bermakna.

Well, memang tidak semua hal akan terselesaikan dengan reframing semata. Namun paling tidak kita bisa berpikir lebih jernih untuk kemudian mencari solusi yang lebih tepat.

Hebatnya lagi, jika Anda mempelajari beragam teknik-teknik NLP, Anda akan menemukan bahwa yang dilakukan NLP adalah reframing terhadap apa yang sudah seringkali kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Tengok saja NLP Presuppositions:

Makna dari komunikasi ada pada respon yang kita dapatkan.

Di balik setiap perilaku pasti ada maksud positif.

Tidak kata gagal, yang ada hanyalah umpan balik.

Tidakkah ini semua adalah reframing yang excellent?

Bahkan, kita pun sudah seringkali melakukannya tanpa disadari. Anda ingat pernah mengatakan, “Ya, kita ambil hikmahnya saja lah”. Hey, bukankah itu content reframing?

Anda boleh tersenyum sekarang menyadari hal ini. Anda adalah reframer alamiah dan karenanya juga adalah pengirim vibrasi positif alamiah pula.

Eye Scanning Pattern

From the NLP point of view, eye scanning patterns_the movement of the eyes from one position to another_reflect connections and overlaps (synesthesias), and also discontinuities, between different representational system functions; and thus between different states, parts, personalities, neural structures, etc. If you ask a person to move his or her eyes “very slowly” from one basic eye position (i.e., up-left, down-right, up-right, lateral-left, etc.) to another, you will observe that movement is seldom perfectly smooth and linear. The ease or difficulty a person has in making such a motion is indicative of which cognitive and representational processes are habitually more connected or separated for that person.

Creativity, flexibility and learning involve the ability to think in new and different ways. One approach to developing new abilities is to find habitual ways of thinking and then change or add to them. One way to find and break habitual ways of thinking using NLP is through eye movement patterns. Since our eyes reflect patterns of our internal processes they may be used as a tool for both diagnosing and changing habitual thought patterns.

The following exercises were developed by Robert Dilts in 1986 in order to utilize eye scanning patterns as a means to explore your habitual thinking patterns, and then to expand and enrich them.

“Eye Skating”: Exercises For The “Mind’s Eyes”

Exercise 1: Exploring Representational Systems Through Eye Position

As an exercise, try the following experiment. Keeping your head oriented straight in front of you, put your eyes into each of the basic eye positions indicated on the eye movement chart. Hold each eye position for 30 seconds. Have a partner keep track of the time for you so you are not distracted.





Notice the differences you experience between each position. Are some of them more comfortable, natural or familiar feeling than some of the others? Does it feel to you as if you are actually holding your eyes for a longer time in some of the positions than others? In some of the positions you might find yourself thinking or making certain types of associations. In others, you may just draw a complete blank. Which eye positions do you associate more with creativity? stuckness? being a dreamer? being a realist? being a critic?

Exercise 2: Exploring the Effects of Eye Position on Problem Solving

As a further experiment, take some problem or idea you are working on and simply hold your eyes in these different positions for a few minutes while you are thinking of it. Notice how it effects your thought process in relation to the problem or idea. How has the way in which you are thinking about the idea or problem changed as a result of each eye position? Be especially aware of how you are affected by the unfamiliar eye positions. Do any of the eye positions bring out certain kinds of feelings, sounds or imagery? Does moving your eyes to any of these locations change any of the qualities of the images, sounds or feelings you already have associated to the problem or idea?

Exercise 3: Exploring Patterns of Eye Movement and Synesthesias

Our physiology, and in particular our eye movements, form the underlying circuitry through which our strategies are manifested. Thus, our strategies are only as effective as the neuro-physiological circuitry which supports them. Much creative thinking comes from our ability to link our sensory representational systems together – as in a synesthesia. Patterns of eye movements also reflect which senses we tend to habitually link together and how strong those links are.

As another exercise, try moving your eyes between various combinations of the different eye positions; say, from up left to down right and back again, or from up right to up left and back again (if you use all 9 positions, there are about 45 possible combinations). Some of the most common and significant patterns are shown below.





Some Basic Eye Movements

Move your eyes back and forth between the two eye positions you have chosen about 6 times. Start by moving your eyes very slowly at first and then speed up the movement. Try to move your eyes between the two positions in a straight, smoothly line. Then switch to another pair of eye positions and repeat the process again. Keep choosing new pairs until you have covered all of the basic pairs of eye positions.

Find a partner to act as an observer. Have your observer notice exactly how your eyes move between the two positions. You will probably soon realize that movement is seldom perfectly linear. Often the eyes will move in little jerks, pausing briefly in certain places along the path of trajectory. Often the eyes will arc rather than move in a straight line from one location to the other. Sometimes the eyes will move farther in one direction than the other.

Patterns of eye movements are a way of linking various parts of your neurology together by laying down a physiological track or path between the various parts of your brain that you use to represent information about the world around you. The ease or difficulty you have in moving your eyes to these different positions can help you to assess which neurological pathways are most open and smooth. In fact, we sometimes use this particular procedure to make what is called an “eye print” of an individual. Like a finger print, a person’s “eye print” is a representation about an individual’s unique characteristics – but on a neurological instead of physical level. Eye prints can help you to get insight into which parts of a person’s brain are habitually connected or separated, and thus what kinds of thinking processes a person might excel at or have difficulty with. This in turn can help assess what kinds of aptitudes, inner conflicts or personality traits a person might be most likely to experience and express. It can also be used as a way to define areas that may be improved and enhanced.

As in the previous exercise on eye position, take note of which patterns of movement seem most comfortable, familiar and natural. Do some patterns seem more related or conducive to certain types of thinking? Once again notice which patterns of movement seem more connected with creativity? stuckness? being a dreamer? being a realist? being a critic?

Exercise 4. Creating and Strengthening New Neurological Pathways

Take the patterns of movement which seemed the most difficult, awkward or uncomfortable and “beat a path” between the to eye positions by moving your eyes back and forth between the positions. Your partner can help you by using his or her finger as a guide for your eyes. Have your partner hold a finger about a foot to a foot and a half in front of you and move the finger back and forth between the two eye positions you want to link together more strongly. Your partner should begin by moving the finger very slowly at first in a smooth, even, linear path. As your eyes accommodate to the movement, ask your partner to increase the speed of the finger motion, tracing the same path. You may do this without a partner by drawing a line on a piece of paper and use it as a guide by holding it in front of you at the proper angle.

To assess the impact of creating these new links, once again take some problem or idea you are working on and notice how using each new circuit effects it. First take note of how you are thinking about the problem or idea. Is it primarily feelings, words, sound, or images? What qualities or submodalities seem to be emphasized in your current representation of the problem or idea? Then, without consciously focusing on the idea or problem, have your partner (or the paper guide line) lead you through the new eye pattern. Notice how it effects your thought process in relation to the problem or idea. How does the way in which you are thinking about the idea or problem change as a result of the new pattern? What changes in terms of the qualities of the images, sounds or feelings you had initially associated to the problem or idea?

Exercise 5. Exploring and Creating New Circuits Through Eye Movement Patterns

Clearly, more sophisticated thinking patterns tend to require more sophisticated patterns of eye movements. If you begin to observe people, you probably notice that a person’s eyes can move in some fairly involved sequences. Some patterns appear to be almost circular; others may be triangular, rectangular or some other type or combination of shapes (some examples are shown below).





Some Possible Patterns of Eye Movements

As an experiment, try tracing some of these basic kinds of shapes with your eyes. Make a circle, a square, a triangle or some other shape. Make sure you repeat the pattern a few times to get a sense for how it effects you. How easy or comfortable is it to move your eyes in that pattern?

Now try changing some aspect of the eye movement pattern. If you traced the circle in one direction, reverse it. If the base of the triangle was on the bottom, turn it upside down. What effect does that have on you or your state of consciousness?

As with the previous eye exercises, take some problem or idea you are working on and notice how using a new pattern of circuitry effects it. Once again, note the cognitive structure of how you initially think about the problem or idea. What aspects of imagery, sound and/or feeling seem to be emphasized in your starting representation of the problem or idea? Again, go through the new eye pattern without consciously focusing on the idea or problem, and notice how it effects your thought process in relation to the problem or idea. How does the way in which you are thinking about the idea or problem change as a result of the new pattern? What changes in terms of the qualities of the images, sounds or feelings you had initially associated to the problem or idea?

In NLP, these types of eye movement combinations are used in a more precise way to develop new thinking strategies – such as in the New Behavior Generator strategy.

Sometimes habitual synesthesia patterns can cause problems as well, and may need to be interrupted. The Failure Into Feedback strategy, in fact, explicitly addresses the relationship between eye position and synesthesia patterns. The process, which involves breaking and reestablishing synesthesia patterns through the use of eye movements, is described in detail in Changing Belief Systems with NLP (1990, pp. 25-53).

The process of EMDR (Eye Movement Desensitization Response), developed by Francine Shapiro, draws from this type of use of eye movements



Basic Reframing

Anda memiliki sebuah pengalaman yang mengesalkan?

OK. Pikirkan kembali pengalaman tersebut. Ingat-ingatlah secara mendetil kejadiannya ketika itu.


Anda bisa melakukannya? Bagus. Apa yang muncul dalam pikiran Anda? Sebuah gambaran? Suara? Perasaan tertentu?

Sekarang perhatikan lebih detil lagi gambaran yang muncul, perjelas lagi suara yang Anda dengar, dan tingkatkan lagi intensitas perasaan yang Anda rasakan. Jadikan pengalaman itu senyata mungkin sehingga Anda bisa merasakan kembali kondisi Anda ketika itu.

Anda mampu melakukannya? Sangat bagus.

Saya tidak tahu persis bagaimana Anda akan melakukannya, karena sembari Anda menjalankan proses ini, Anda boleh keluar dari gambaran tersebut dan menjadi seorang penonton. Ya, Anda sedang menonton sebuah film tentang kejadian mengesalkan tersebut sekarang. Dengan demikian, Anda melihat dari bangku penonton, Anda mendengar dari telinga seorang penonton, dan Anda merasa menggunakan rasa seorang penonton.

Bisa? Perfect!

Berhentilah sejenak untuk menuliskan apa yang baru saja Anda lihat, dengar, dan rasakan. Barangkali Anda melihat pengalaman tersebut berwarna atau hitam putih, 2 atau 3 dimensi, bergerak atau diam, dll? Mungkin Anda mendengar suara yang keras atau pelan, cepat atau lambat, dari diri Anda sendiri atau dari orang lain, dll? Bisa jadi Anda merasakan perasaan tertentu seperti berat atau ringan, keras atau lembut, dll?

Jika sudah, kembalilah memikirkan kejadian tersebut sepenuhnya, untuk kemudian kembali menjadi penonton. Selami kembali kejadian tersebut sambil tetap mempertahankan detil yang sudah Anda temukan sebelumnya.

Sambil tetap menonton film itu diputar di bioskop tadi sebagai seorang penonton, Anda boleh mulai bertanya kepada diri Anda sendiri:

· Apa maksud baik dari kejadian ini?

· Apa persisnya yang bisa kupelajari dari kejadian ini?

· Bagaimana persisnya pelajaran yang kudapat dari kejadian ini bisa membantuku untuk mencapai tujuan yang ingin kucapai?

Nikmati waktu Anda sampai Anda menemukan beberapa jawaban atas pertanyaan tersebut.

Jika Anda merasa sudah menemukan jawabannya, rasakan apa yang Anda rasakan demi melihat kembali film tersebut. Cermati apa yang Anda lihat dan dengarkan dengan seksama apa yang Anda dengar.

Nah, bandingkan apa yang baru saja Anda temukan dengan yang sebelumnya sudah Anda tulis. Anda menemukan perbedaannya, bukan?

Demikianlah cara kerja reframing. Masih ingat artikel tentang framing sebelumnya? Salah satunya saya gunakan dalam latihan di atas, yaitu dari problem frame ke outcome frame.

Memahami bahwa setiap kata dan kalimat yang kita rangkai memiliki fungsi sebagai sebuah kerangka, dengan keduanya pula kita bisa mengubah dan memindahkan kerangka yang sedang kita gunakan guna menghadirkan makna baru dalam benak kita. Menggunakan bahasa yang lebih sederhana, kerangka inilah yang disebut sebagai sub-modality dalam NLP. Anda bisa lihat, hanya dengan menggunakan beberapa pertanyaan reflektif, kita bisa mengotak-atik struktur dari sebuah pengalaman yang sama.

Lincah Berbahasa

Saya pernah mendengar adanya sebuah penelitian yang mengatakan bahwa koleksi bahasa yang dimiliki seseorang merupakan salah satu indikasi kecerdasannya. Semakin banyak bahasa yang dikuasai, semakin cerdaslah ia secara intelektual. Tidak mengherankan memang, sebab menggunakan common sense saja, bahasa adalah salah satu komponen penting komunikasi bagi manusia (dan mungkin semua makhluk). Sekalipun relasi lebih banyak terbangun melalui komunikasi non verbal, bahasa tetap memiliki peran krusial untuk menyampaikan ‘isi’ pesan yang ingin dikomunikasikan.

Well, barangkali karena kebanyakan kita mempelajari bahasa ibu secara otodidak sejak kecil, maka kita tidak pernah menyadari bagaimana persisnya otak kita merekam bahasa yang kita gunakan. Alhasil, tidak jarang orang yang merasa kesulitan untuk mempelajari bahasa lain selain bahasa ibu.

Mempelajari NLP, saya baru menyadari bahwa persoalan mempelajari bahasa baru bukanlah semata urusan teknis kosa kata dan tata bahasa saja. Belajar bahasa adalah masalah mindset dan keyakinan bahwa kita mampu untuk berbahasa secara lancar. Aha, saya jadi ingat seorang kawan yang beberapa tahun mengikuti kursus bahasa Inggris, mendapat sertifikat, dan berhasil meraih skor TOEFL cukup tinggi, ternyata gelagapan ketika harus menjalani interview via telepon dengan bahasa Inggris selama 30 menit. “Kamu bisa bayangkan kan penderitaanku selama 30 menit itu,” ujarnya satu kali kepada saya.

Ya, selayaknya keterampilan lain yang kita miliki, keahlian kita berbahasa pun memiliki struktur yang bisa dipelajari dan digunakan dalam konteks yang berbeda. Dalam kesempatan kali ini, saya ingin mengajak Anda untuk menggunakan salah satu teknik dalam NLP, Swish Pattern, guna memunculkan sumber daya keahlian berbahasa yang sudah ada dalam diri Anda. Sebelum kita mulai, saya ingin Anda menyimpan sementara pikiran logis Anda dan hanya menggunakan pikiran kreatif nan imajinatif dalam latihan kali ini.
Duduklah dengan posisi senyaman mungkin, pejamkan mata, dan buat diri Anda rileks.
Sekarang, saya minta Anda untuk memikirkan diri Anda sedang berbicara dalam bahasa yang sangat Anda kuasai. Cermati gambar dan suara yang muncul.

Gambar: Di manakah letaknya? Seberapa besar? Berwarna atau hitam putih? 3 atau 2 dimensi?

Suara: Dari mana kah arah datangnya suara Anda? Seberapa besar volumenya? Bagaimana kah kualitas suaranya?

Sembari mencermati kedua hal tersebut, perasaan apa kah yang muncul dalam diri Anda?

Buka mata Anda dan lihatlah sekeliling, kemudian hitung berapa jumlah lampu yang mati di ruangan Anda.
Selanjutnya, pikirkan diri Anda sedang berbicara dalam bahasa yang Anda ingin kuasai. Kembali, cermati gambar dan suara yang muncul seperti pada langkah no. 2.

Sembari mencermati kedua hal tersebut, perasaan apa kah yang muncul dalam diri Anda?

Buka mata Anda dan lihatlah sekeliling, kemudian hitung berapa jumlah lampu yang mati dan hidup di ruangan Anda.
Anda bisa menemukan perbedaanya? Bagus. Sekarang, tampilkan keduanya dalam pikiran Anda. Sudah? Sip. Dengan CEPAT, dan sambil berkata “WUUUUUSH!!!”, geser lah gambar bahasa yang ingin Anda kuasai ke tempat yang persis sama dengan gambar bahasa yang sudah Anda kuasai. Pada tempat tersebut, buatlah ia memiliki gambaran yang sama persis dengan gambaran bahasa yang Anda kuasai: ukurannya, warnanya, letaknya, jaraknya, begitu pula dengan suara yang muncul. Buat ia sama persis sehingga Anda bisa merasakan perasaan yang sama dengan perasaan pada bahasa yang sudah Anda kuasai.
Lakukan sebanyak 5-6 kali. Buka mata Anda dan lihatlah sekeliling, sembari mencermati pola pada lantai ruangan Anda.
Cobalah untuk berbicara bahasa tersebut. Anda bisa merasakan perbedaan yang luar biasa, bukan?

Jika Anda tidak memiliki keyakinan yang terlalu menghambat, teknik ini saja sudah cukup untuk membuat Anda PD berbahasa yang Anda inginkan. Bahkan, Anda akan terkaget-kaget karena baru menyadari bahwa Anda sebenarnya sudah menguasai kosa kata dan tata bahasa dengan cukup baik.

Kok bisa ya?

Tentu bisa, karena dalam perjalanan Anda mempelajari bahasa tersebut (melalui buku, menonton film, atau mendengar audio exercise) unconscious Anda sebenarnya sudah merekam amat banyak hal yang bisa Anda gunakan ketika membutuhkan. Hanya karena kita mengkodenya dengan kurang tepat dalam otak kita maka ia kesulitan untuk muncul ke permukaan.

Ecological Check

Cek ekologi adalah salah satu langkah yang membedakan teknik-teknik NLP dengan berbagai terapi yang lain. Dengan asumsi bahwa diri kita memiliki bagian-bagian (parts) yang bertanggung jawab terhadap perilaku tertentu, maka sebelum kita menciptakan perilaku baru, kita harus memastikan bagian yang in-charge kepada perilaku baru tersebut selaras dengan bagian-bagian lain yang sudah terlebih dulu ada.

Semisal, Anda sudah melatih diri selama 1 bulan untuk bangun lebih awal dan melakukan shalat malam. Dengan kondisi penuh konsentrasi ke dalam diri (downtime), Anda bisa bertanya, ”Bagian-bagian lain dari diriku, bersediakah kalian menerima perilaku baru ini dan bekerja sama secara harmonis untuk menjaganya tetap konsisten kulakukan?”

Rasakan munculnya sinyal ”Ya” atau ”Tidak”. Ini bisa berupa sebuah gambaran, suara, perasaan tertentu, atau tidak ada sinyal apapun. Jika semisal muncul sebuah sinyal atau pun tidak muncul apapun, pastikan lah dengan bertanya, ”Apakah tanda yang baru saja muncul berarti ’Ya’?” Jika sinyal tersebut muncul kembali, maka selesailah proses ini. Namun jika tidak, Anda perlu melanjutkan proses ini dengan teknik parts negotiation yang akan kita bahas pada artikel lanjutan.

Sedikit rumit? Tenang, meskipun tidak setajam teknik di atas, ada cara lain yang bisa Anda lakukan. Anda bisa memvisualisasikan diri Anda menunjukkan perilaku baru tersebut dalam posisi disassociated. Sembari mengamati, mendengar, dan merasakan apa yang Anda lihat, Anda boleh menyadari munculnya sinyal ’nyaman’ atau ’tidak nyaman’ demi melihat pengalaman tersebut. Jika Anda merasa nyaman, maka tidak ada bagian yang keberatan dengan perilaku baru tersebut. Namun jika perasaan yang tidak nyaman yang muncul, Anda bisa bertanya kepada diri sendiri, ”Apakah yang harus dilengkapi dari perilaku baru ini agar selaras dengan bagian diriku yang lain?” Anda akan menemukan jawaban-jawaban muncul untuk Anda analisa.


Future Pacing

Future pacing adalah sebuah langkah untuk menjadikan diri kita terbiasa dengan sebuah perilaku baru sebelum perilaku tersebut dilakukan. Ini semacam usaha untuk menciptakan ’deja vu’ agar kita familiar dengan perilaku baru tersebut dan karenanya akan menjalankan dengan harmonisasi yang tinggi.

Sebagai contoh, Anda telah melatih diri untuk membaca tadarrus setiap hari selama 30 menit sebelum tidur. Anda bisa memvisualisasikan diri Anda melakukan perilaku baru ini di hari esok, lusa, minggu depan, bulan depan, dan seterusnya. Lihat apa yang Anda lihat, dengar apa yang Anda dengar, dan rasakan apa yang Anda rasakan. Putarlah ’film’ perilaku baru ini dengan smooth. Jika Anda sudah nyaman dengan film yang baru saja Anda buat, masuklah ke dalamnya dan jadikan diri Anda associated. Selami pengalaman baru Anda dengan melihatnya dari mata kepala Anda sendiri. Lihat apa yang Anda lihat, dengar apa yang Anda dengar, dan rasakan apa yang Anda rasakan.

Sudah? Bagus sekali. Lakukanlah beberapa kali hingga Anda merasa terbiasa dengan pengalaman baru tersebut.



Nah, Anda baru saja mengetahui jurus rahasia para pakar change management. Selamat mencoba!

Melangkah SUKSES dengan Teknik NLP

Setelah menyelesaikan 5 hari penuh pelatihan Certified Practitioner NLP (Neuro-Linguistic Programming) yang diselenggarakan oleh NF-NLP (National Federation – Neuro Linguistic Psychology) di Jakarta beberapa waktu yang lalu, seorang mahasiswa datang kepada saya di kantor saya dan berkata, “Wah mas, dengar-dengar baru pulang dari ambil Certified NLP ya? Gimana caranya ya saya bisa melupakan masa lalu saya yang sampai sekarang saya masih terbebani, sehingga saya jadi takut untuk menatap masa depan saya” tanya mahasiswa tersebut sebut saja Beny, seorang mahasiswa Psikologi semester akhir.

“Memang kamu kenapa” tanya saya

“Iya, saya punya masa lalu yang membuat saya terbebani sampai sekarang, begini ceritanya.. waktu itu…” “STOOPPP!!! Jangan dilanjutkan ceritanya…” jawab saya seketika itu juga. “Kalau kamu mau saya terapi, kamu tidak usah bilang ke saya masalah kamu apa, karena dengan teknik NLP saya tidak perlu tahu detil masalah yang menimpa kamu apa” terang saya.

Benar pembaca, dengan mempelajari NLP untuk keperluan terapi kepada orang lain, kita tidak harus tahu detil masalah dari klien, hal ini dikarenakan prinsip dari NLP didn’t deal with the content, alias santai aja, rahasia kamu aman karena saya gak perlu tau kejadianya apa. Hal ini dilakukan karena berangkat dari konsep Sensory Based Language yang ada pada Meta Model.

Setelah menyetop cerita Beny saya berkata “Kamu gak usah cerita Ben, yang penting kamu bisa bayangin masa depan yang kamu inginkan itu seperti apa khan?” seketika Beny menjawab “Ya, bisa!” dengan penuh semangat.

“OK, Ambil posisi yang nyaman di bangku itu dan letakkan kedua tangan diatas meja menghadap ke depan”, setelah itu saya memegang kedua tangan Beny untuk mencari posisi yang nyaman bagi saya untuk melakukan Anchoring pada saatnya nanti.

“Baik kalau sudah, silahkan pejamkan mata dan tarik nafas yang dalam… disetiap tarikan nafas anda akan merasa rileks dan nyaman”

Aktivitas 1:

“Bayangkan kejadian dimana anda merasa tidak nyaman, sebuah kejadian dimana anda merasa kejadian tersebut mengganggu langkah anda selanjutnya dikemudian hari”

“Apabila anda sudah membayangkan, mendengarkan dan merasakan keadaan tersebut tarik nafas yang panjang….” beberapa saat kemudian saya melihat Beny menarik nafas panjang dan pada saat itulah saya menggenggam tangan kanan nya dengan tangan kiri saya untuk memberi Anchor pada kejadian tersebut dan perlahan-lahan saya mengendorkan genggaman tangan kiri saya sesuai dengan hembusan nafasnya.

“Baik kalau sudah buka mata anda Beny..”

Pada saat Beny membuka mata, saya bertanya: “Ada berapa warna lampu dikantor saya?” (breaking state technique) — ingat tangan kiri saya tetap memegang tangan Beny tidak berpindah dari posisi dan letak Anchor yang sudah saya berikan.

Setelah melakukan breaking state, saya meminta kepada Beny untuk melakukan hal yang serupa namun kali ini saya ingin Anda membayangkan suatu kejadian dimasa yang akan datang yang merupakan kejadian atau suasana yang diinginkan oleh Anda.



Aktivitas 2:

Setelah itu saya minta Beny kembali menutup mata kembali dan menbayangkan kejadian impiannya di masa yang akan datang.

Kembali saya berkata “Bayangkan kejadian dimasa depan yang anda inginkan, sebuah kejadian dimana anda bisa melihat dengan jelas kejadia tersebut, keadaan warna disekitar kejadian tersebut, suara-suara yang ada disekitarnya, detail texture alam disekitarnya dan semakin jelas anda merasakan dan memasuki keadaan tersebut.

“Apabila anda sudah membayangkan, mendengarkan dan merasakan keadaan tersebut tarik nafas yang panjang….” beberapa saat kemudian saya melihat kembali Beny menarik nafas panjang dan pada saat itulah saya menggenggam tangan kirinya dengan tangan kanan saya (tangan yang anda rasa paling kuat dari anda diantara tangan kanan atau kiri) untuk memberi Anchor pada kejadian tersebut dan perlahan-lahan saya mengendorkan genggaman tangan kanan saya sesuai dengan hembusan nafasnya.

“Baik kalau sudah buka mata anda Beny.. dan berapa buah komputer yang ada di kantor saya?” (breaking state tecnique) — ingat tangan kanan saya tetap memegang tangan kiri Beny dan tidak berpindah dari posisi dan letak Anchor yang sudah saya berikan.

Lakukan aktivitas 2 sebanyak delapan kali tanpa melepas kedua tangan anda pada klien anda..



Aktivitas 3:

Aktivitas 3 adala aktivitas yang sangat penting, setelah melakukan aktivitas 2 sebanyak delapan kali, saya meminta Beny untuk kembali menutup mata dan membayangkan kejadian ke 1 (kejadian masa lalu) dan menarik nafas.. pada saat itu saya memicu Anchor kejadian ke 2 (kejadian masa depan yang diinginkan) dengan menggengam erat tangan kiri Beny dengan tangan kanan (Anchor kejadian 2) dan 1,2 dan 3 detik kemudian saya berkata “Baik sekarang bayangkan kejadian ke 2, kejadian dimana anda membayangkan masa depan yang anda inginkan secara jelas” dan pada saat itu pula saya memicu Anchor kejadian ke 1 dengan dengan menggengam erat tangan kanan Beny dengan tangan kiri saya (Anchor kejadian 1) kemudian saya perlahan-lahan mengendurkan genggangam tangan kiri saya dan selang 3 detik kemudian saya mengendurkan genggaman tangan kanan saya dari Beny, setelah itu barulah secara perlahan saya melepaskan kedua tangan saya dari Beny.

Setelah Beny membuka matanya, saya bertanya “Ok Beny.. sekarang bagaimana rasanya kejadian 1?” tanya saya. Seketika itu juga gunakan teknik Calibration dengan melihat Eye Cue Beny.

Mata Beny bergerak dari kaan atas dan ke kiri atas… “Mmmm rasanya..” sebelum Beny meneruskan, “STOOPPP!!! Ndak usah cerita..” potong saya .. ingat NLP didn’t deal with the content. Kemudian dari mana kita bisa tahu hasilnya berhasil atau tidak? Cukup melakukan Calibrasi saja… Mudah bukan? J

Untuk melakukannya pada diri sendiri, tinggal lakukan langkah diatas dengan tangan bersilang didepan dada untuk menggengam tangan anda sendiri membuat Anchor 1 dan 2..

Cara Berpikir Orang NLP


“NLP itu pola pikir, bukan hanya teknik,” ujar salah seorang trainer NLP yang pernah menjadi instruktur dalam pelatihan NLP yang saya ikuti. Mendengar itu, saya yang belum lama mendengar istilah NLP pun sedikit penasaran: apa yang dia maksud dengan ‘pola pikir NLP’ itu. Sepenangkapan saya waktu itu, beberapa konsep dan teknik NLP yang diajarkan sebenarnya tidak terlalu asing bagi saya. Ia hanyalah pengembangan mutakhir dari psikologi juga—latar belakang pendidikan saya. Hanya saja, ketika itu rasa ingin tahu saya pun terpecut akibat hasil-hasil praktik NLP yang dipaparkan oleh sang trainer. Jadilah saya kemudian mencari berbagai macam cara untuk mempelajari NLP sedikit lebih dalam.

Alhasil, dalam beberapa bulan belakangan saya berhasil menemukan beberapa buku NLP. Ditambah ‘rejeki nomplok’ yang saya terima di awal tahun untuk mengikuti pelatihan Systemic NLP, mulai terbukalah mata, telinga, dan hati saya terhadap ilmu yang satu ini. Perlahan-lahan, saya pun mulai setuju: NLP memang adalah suatu pola pikir.

Loh kok?

Ya, NLP memang ilmu tentang manusia. Berbeda dengan psikologi yang berisi kumpulan pandangan dari para ahli dengan sudut masing-masing, NLP fokus pada bagaimana menjadikan manusia efektif. Karena itulah maka sejak awal (dan sampai saat ini tentunya) NLP banyak mempelajari mereka yang excellent dalam bidangnya masing-masing. Nah, dari fokus inilah kemudian lahir dasar filosofi yang menjadi fondasi dari pengembangan teknik-teknik NLP lebih lanjut. Nah, pada bahasan kali ini, saya akan membahas 2 dasar filosofi NLP, yaitu The Pillars of NLP dan NLP Presuppositions.



The Pillars of NLP

Ini adalah 6 prinsip dasar yang menjadi landasan utama jika Anda dan saya ingin mempelajari NLP secara utuh, yaitu:
Diri sendiri. Diri kita sendiri adalah bagian yang paling penting dari setiap proses intervensi dalam NLP, sebab NLP baru menjadi berguna jika kita gunakan secara utuh. Selayaknya sebuah pisau dapat digunakan untuk memasak atau melukai orang lain, baik atau buruknya efek yang ditimbulkan oleh NLP juga amat ditentukan oleh diri kita sendiri sebagai pelaku praktik NLP. Begitupun tingkat kesuksesan kita dalam menggunakan NLP juga amat tergantung dari seberapa ahli kita dalam menguasai setiap detilnya. Semakin kongruen kita, semakin sukses lah kita. Kongruen disini adalah ketika tujuan, keyakinan, dan nilai-nilai yang kita miliki sejalan dengan perilaku dan ucapan yang kita lakukan.
Presuppositions. Presuposisi adalah prinsip dasar dari NLP yang digunakan untuk mengembangkan dan mengaplikasikan teknik-teknik NLP. Ia adalah taken for granted, yang membedakan NLP dibanding yang lain.
Rapport. Rapport adalah hubungan yang berkualitas yang dihasilkan dari rasa saling percaya. Anda baru bisa mendapatkan rapport hanya jika Anda sudah bisa memahami dan mengerti cara orang lain melihat dunia dari sudut pandang mereka. Dengan kata lain, rapport adalah seperti kita berbicara dengan bahasa orang lain. Ketika kita sudah memiliki rapport, orang yang kita ajak bicara akan merasa dihargai dan seketika menjadi lebih responsif. Sekalipun dapat dibangun secara instan, dalam jangka panjang rapport membutuhkan rasa saling percaya yang tinggi.
Outcome. Kunci utama untuk menguasai keterampilan dasar dari NLP adalah memahami secara rinci apa yang Anda inginkan dan mampu membantu orang lain untuk juga memahami secara rinci apa yang mereka inginkan. Keterampilan NLP selalu didasarkan pada fokus untuk memikirkan hasil yang kita inginkan, sehingga kita selalu mengambil tindakan yang berorientasi pada tujuan. Pola pikir hasil ini dibagi menjadi 3:
Memahami kondisi saat ini
Memahami kondisi yang kita inginkan
Merencakana strategi untuk mencapainya
Feedback. Sekali kita memahami apa yang kita inginkan, kita harus selalu menaruh perhatian terhadap hasil yang sudah kita capai sejauh ini, sehingga kita selalu tahu apa yang harus kita lakukan selanjutnya. Inilah yang dinamakan dengan feedback. Kita harus terus memperhatikan secara jeli berbagai informasi yang kita dapat melalui apa yang kita lihat, kita dengar, dan kita rasakan.
Flexibility. Ketika Anda tahu apa yang Anda inginkan dan apa yang Anda dapat sejauh ini, ketika itu pula lah Anda harus memiliki cukup banyak strategi untuk mencapainya. Satu cara tidak bekerja, segera gunakan cara lain. NLP selalu mendorong tiap orang untuk senantiasa fokus pada tujuan dan fleksibel dalam menggunakan berbagai macam cara untuk mencapainya.

NLP Presuppositions

Presuposisi adalah prinsip utama, filosofi dasar, dan belief dari NLP. Prinsip-prinsip ini memang bukanlah sesuatu yang universal, karenanya kita tidak harus benar-benar meyakini kesemuanya. Ia disebut sebagai presuposisi karena kita memang dengan sengaja meyakininya sebagai sesuatu yang benar dan bertindak berdasarkan itu. Pada dasarnya, presuposisi sebenarnya adalah kumpulan dari suatu set prinsip etika kehidupan.
People respond to their experience, not to reality itself. Kita tidak pernah tahu pasti apa yang disebut dengan realita. Indra, keyakinan, dan pengalaman masa lalu kita memang memberikan sebuah peta sebagai gambaran bagaimana seharusnya kita bertindak, namun yang namanya peta tidak pernah sama persis dengan daerah yang digambarkannya. Kita tidak pernah tahu daerah aslinya, maka bagi kita peta itu adalah daerah aslinya (the map is the teritory). Beberapa jenis peta memang cukup baik dalam menggambarkan keadaan aslinya, karenanya kita bisa berlayar dalam hidup dengan aman. Namun peta yang salah tentu akan mengakibatkan kita tersasar ke daerah yang salah pula. NLP adalah seni untuk mengubah peta ini sehingga kita memiliki kebebasan yang lebih besar untuk menentukan arah hidup kita.
Having a choice is better than not having a choice. Selalu mencari sebuah peta yang bisa memberikan Anda pilihan paling banyak dan selalu mengambil tindakan yang memungkinkan Anda untuk memiliki lebih banyak pilihan. Semakin banyak pilihan yang Anda miliki, semakin Anda memiliki kebebasan, dan semakin besar pula pengaruh yang Anda miliki.
People make the best choice they can at the time. Setiap orang selalu berusaha untuk membuat pilihan yang terbaik yang mereka bisa, sesuai dengan peta yang mereka miliki. Pilihan tersebut bisa jadi buruk dan merusak, namun bagi diri mereka sendiri, ini adalah langkah terbaik yang bisa mereka ambil. Beri mereka pilihan yang lebih baik, maka mereka dengan mudah menerimanya. Lebih jauh, beri mereka peta yang mampu menyediakan lebih banyak pilihan yang lebih baik.
People work perfectly. Tidak ada seorang pun yang benar-benar melakukan hal yang salah. Kita semua menjalankan strategi yang kita punya dengan sempurna. Kalau pun ternyata hasilnya tidak sempurna, maka strategi itulah yang barangkali memang tidak efektif. Cari tahu strategi Anda dan orang lain, sehingga Anda bisa menyesuaikan strategi yang Anda miliki agar lebih efektif.
All sctions have a purpose. Perilaku kita bukanlah sesuatu yang acak, sebab kita selalu berusaha untuk mencapai sesuatu dari perilaku yang kita munculkan, sekalipun kita tidak selalu sadar akan hal itu.
Every behavior has a positive intention. Semua tindakan yang kita ambil setidaknya memiliki 1 tujuan—untuk mencapai sesuatu yang kita inginkan yang menguntungkan bagi kita. NLP memisahkan intensi yang ada di balik setiap perilaku dari perilaku itu sendiri. Kita tidak dapat menilai seseorang dari perilaku mereka, sebab ketika mereka memiliki pilihan perilaku yang lebih baik dan tetap bisa memenuhi intensi positif mereka, mereka pasti akan mengambilnya.
Pikiran bawah sadar menyeimbangkan pikiran sadar. Pikiran bawah sadar adalah semua hal yang tidak muncul di pikiran sadar pada suatu waktu tertentu. Ia mengandung semua sumber daya yang kita butuhkan untuk hidup dalam keseimbangan.
The meaning of the communication is not what you intend, but also the response you get. Respon tersebut bisa jadi bukanlah sesuatu yang Anda inginkan, namun tidak pernah ada kegalalan dalam komunikasi, ia hanyalah umpan balik agar Anda menyesuaikan cara komunikasi Anda.
We already have all the resources we need or we can create them. Tidak ada yang namanya unresourceful people, yang ada hanyalah unresourceful state of mind.
Mind and body form a system, keduanya adalah ekspresi yang berbeda dari seseorang yang sama. Pikiran dan tubuh saling berinteraksi dan mempengarusi satu sama lain. Mustahil kita bisa membuat perubahan pada salah satunya tanpa mengakibatkan perubahan pada yang lain. Ketika kita berpikir dengan cara yang berbeda, tubuh kita akan berubah. Ketika kita bertindak dengan cara yang berbeda, pikiran kita pun akan berubah.
We process all information through our senses. Mengembangkan indra yang Anda miliki agar kesemuanya lebih peka terhadap berbagai informasi yang muncul akan membuat Anda lebih jelas dalam berpikir.
Modelling successful performance leads to excellence. Jika ada seseorang yang bisa melakukan sesuatu dengan sempurna, maka ia bisa kita model untuk kemudian kita ajarkan kepada orang lain. Dengan demikian, setiap orang bisa mempelajari untuk mendapatkan hasil yang lebih baik dengan cara mereka sendiri. Anda tidak akan menjadi kloning dari orang yang Anda model, Anda hanya belajar dari mereka.
If you want to understand, act. Inti dari belajar terletak pada praktik.


Nah, Anda sudah memulai perjalanan untuk menjadi orang NLP sekarang. Pertanyaan saya: manakah dari semua presuposisi tersebut yang belum sesuai dengan diri Anda?