Dimana Batas Kemampuan Bekerja Anda



Kita menggunakan frase ‘bekerja banting tulang’ untuk menggambarkan kerja keras yang kita lakukan. Kita, sudah bekerja hingga di batas tertinggi yang bisa kita lakukan. Demikianlah makna frase itu kira-kira. Pertanyaannya adalah; apakah kita benar-benar mengetahui dimana batas kemampuan kita dalam bekerja?

Kalau saya pribadi sih, belum benar-benar tahu; dimana sih batas kemampuan saya dalam bekerja ini. Meskipun saya pernah dicap sebagai seorang gila kerja. Pernah merangkap hingga tiga jabatan dalam satu periode yang sama. Datang sebelum jam 7 pagi ke kantor. Makan siang diruang kerja. Dan pulang nyaris larut malam.
Saya tetap tidak tahu, dimana batas kemampuan kerja saya. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda mengetahui batas kemampuan Anda bekerja?

Saya belum pernah bertemu orang yang memiliki jawaban akurat atas pertanyaan itu. Yang sering saya temui adalah orang-orang yang merasa sudah bekerja maksimal. Baru ‘merasa’ lho. Sehingga kita, mengenal istilah ‘kerja banting tulang’ itu. Bahkan jika kita menggunakan indera perasa alias sensing atau feeling terhadap frase itu, maka kita akan merasakan adanya konotasi energy penuh tekanan dari hanya mendengar atau mengucapkan frase itu. Jika Anda berkata ‘saya sudah kerja banting tulang’, apakah suasana mental Anda cenderung positif atau negatif? Ketika mengucapkan kalimat itu, Anda merasa bahagia atau sebaliknya? Apakah dengan mengatakannya Anda menjadi semakin termotivasi untuk mengerjakan lebih banyak atau mengharapkan bisa berhenti setidaknya barang sejenak?

Mungkin kita punya tingkatan sensitivitas perasaan yang berbeda. Namun saya yakin, kita bisa merasakan hal yang sama. Yaitu kesan mental bahwa frase itu cenderung membawa energy pasif atau bahkan negatif dibandingkan dengan peluangnya dalam mendorong kita untuk lebih aktif dan mendapatkan enegy positif. Jika merasa sudah bekerja banting tulang, mengapa mesti bekerja lebih banyak lagi, bukan?

Padahal. Kita. Tidak benar-benar tahu. Dimana sesungguhnya batas kemampuan kita dalam bekerja. Sungguh sahabatku, meskipun kita sudah bekerja ‘habis-habisan’; belum tentu kita sudah bekerja hingga dibatas tertinggi kemampuan yang kita miliki. Percaya deh. Kemampuan Anda dalam bekerja itu, jauh melampaui apa yang sudah Anda lakukan selama ini. Ada bukti yang mendukung pernyataan itu? Banyak. Misalnya begini. Anda berada pada satu posisi tertentu. Sebagai seorang pekerja handal, Anda merasa sudah bekerja banting tulang. Bekerja semaksimal yang Anda bisa. Arti maksimal itu kan semua kemampuan sudah dikerahkan demi dedikasi pada pekerjaan itu.

Suatu saat, Anda dihadapkan pada posisi yang cukup berat. Diberi penugasan yang lebih banyak. Dan diberi tanggungjawab yang lebih besar. Maka sejak saat itu, Anda mesti bekerja lebih giat dan lebih keras lagi. Lantas apa yang terjadi? Eh, ternyata Anda bisa ya? Itu menunjukkan bahwa apa yang Anda sebut sebagai ‘sudah bekerja maksimal’ tahun lalu itu sebenarnya sama sekali tidak benar. Maksimalnya Anda tahun lalu itu sudah dilampaui oleh ‘kerja maksimal’ Anda tahun ini dengan tugas, pekerjaan dan tanggungjawab yang lebih banyak, lebih besar, dan lebih berat dari sebelumnya.

Benarkan? Anda belum sampai ke batas kemampuan yang sesungguhnya? Itu, baru contoh biasa. Sekarang izinkan saya menyampaikan contoh yang ekstrim. Saya ingin bertanya pada Anda: “Di kantor Anda, Adakah orang yang bekerja sedemikian kerasnya hingga meninggal dunia?” Saya yakin tidak ada. Dan itu artinya, tidak ada orang yang benar-benar sudah bekerja hingga melewati batas kemampuan tertingginya. Lho, kok bisa disimpulkan begitu? Iya dong. Bukankah kita suka berkata ‘sampai titik darah penghabisan’ untuk menggambarkan komitmen tertinggi kita kepada sesuatu? Jadi, jika masih ada tersisa setetes darah yang mengalir dalam urat nadi kita berarti kita belum mencapai batas tertinggi itu.

Oh. Maaf. Dulu sekali, ada sahabat saya yang meninggal saat bertugas. Seorang salesman. Mengendarai sepeda motornya. Lalu tertabrak oleh sebuah mobil yang melaju kencang. Jiwanya tidak tertolong. Kami semua berduka atas kejadian itu. Mengenang sahabat. Sekaligus memikirkan resiko yang mesti kami hadapi selama menjalankan pekerjaan ini.

Anda juga mungkin pernah mendengar insiden di pabrik yang menyebabkan karyawan meninggal dunia. Misalnya, pada tanggal 20 Januari 2004 silam, dunia kerja kita dikejutkan oleh kebakaran di sebuah pabrik kimia hingga puluhan karyawan terluka dan 2 orang diantaranya meninggal termasuk direktur produksinya. Dikantor Anda, mungkin juga ada orang yang meninggal dunia. Mungkin. Saya tidak tahu pasti.
Berarti ada ya orang yang bekerja sedemikian kerasnya hingga meninggal dunia? Tidak. Semua yang kita ceritakan itu adalah ‘kecelakaan’ kerja. Bukan bekerja terlampau keras sehingga meninggal dunia. Anda, tentu dapat melihat perbedaannya bukan? Mari perhatikan. Kenyataannya, kita tidak harus bekerja hingga meninggal dunia untuk bisa mengerahkan semua kemampuan hingga dibatas tertingginya.

Tahu kenapa? Karena kita, belum benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan yang kita miliki ini. Meskipun kita gemar sekali mengatakan;”Gue kurang apa lagi coba? Semuanya sudah gue lakukan?!” Tetap saja kita belum bekerja sampai dibatas tertinggi kemampuan kita. Benar? Tentu benar. Bahkan ketika kita mengatakan “Gue kerja sampai kepala jadi kaki, dan kaki jadi kepala!” Kita. Belum sampai dibatas kemampuan kerja itu.

Sengaja saya menunjukkan contoh ekstrim itu, sahabatku. Supaya kita semakin sadar betapa selama ini begitu banyak potensi diri yang belum kita daya gunakan. Kita. Masih sering membatasi kerja keras kita dengan jumlah rupiah yang kita dapatkan dari kantor. Kita merasa rugi jika mesti bekerja ekstra. Sepertinya perusahaan untung. Dan kita tidak dapat apa-apa. Maka jadilah kita orang yang hanya mau bekerja seadanya saja. Sesuai dong dengan bayaran yang kita terima. Dan kita, tidak menyadari bahwa sikap seperti itu hanya menjadikan kita ahli dalam hal menyia-nyiakan kapasitas diri yang kita miliki.

Sahabatku. Jika kita bekerja hanya dengan batasan uang, maka kita bisa menjadi pribadi yang kerdil. Memang wajar, jika kita kecewa dengan bayaran kecil yang saat ini kita dapatkan. Namun bayaran besar yang kita dambakan itu justru akan semakin menjauh, jika kita bekerja hanya seadanya saja. Bukan bayaran besar yang duluan datang sahabatku. Tetapi pembuktian yang bisa kita tunjukkan yang mesti muncul lebih dahulu.

Sekarang coba Anda perhatikan. Ketika kita bekerja untuk menantang diri hingga dibatas mana kemampuan kerja tertinggi kita itu – bukan untuk sekedar memenuhi kewajiban setara dengan sejumlah uang. Maka kita, bisa menjadi manusia yang ‘seutuhnya’ dalam definisi apapun. Dimata atasan, kita dinilai bagus. Dimata kolega, kita pun diakui sebagai professional yang tangguh. Dan dimata Tuhan. Kita termasuk orang yang menghargai anugerah yang telah diberikanNya berupa keunggulan pribadi yang boleh jadi; tidak dimiliki oleh orang lain.

Sahabatku. Silakan simak perilaku para pekerja professional di sekitar Anda. Berapa banyak yang datang ke kantor untuk sekedar memenuhi kewajiban standarnya saja. Dan berapa banyak yang sedemikian bergairahnya untuk menjelajahi kemampuan tertinggi yang dimilikinya dalam bekerja. Sungguh. Hanya sedikit pekerja yang menyadari bahwa kantor mereka adalah tempat terbaik untuk melakukan berbagai eksperimen dalam pendakian hingga ke puncak kapasitas dirinya sendiri. Dan karena jumlah mereka yang sedikit itu, maka mereka mudah terlihat. Dan mereka, bersinar seperti bintang kejora yang berkerlap-kerlip. Semakin gelap gulita malam menyelimuti langit, semakin cemerlang sang kejora terlihat. Sehingga merekalah yang kemudian mendapatkan lebih banyak manfaat. Lebih beragam kesempatan. Dan lebih besar tanggungjawab dimasa depan.

Sungguh sahabatku. Kita tidak akan pernah mengetahui sampai dimana batas kemampuan tertinggi kita dalam bekerja. Jika kita, membatasi kerja keras dan dedikasi kita dengan waktu, uang, pujian, atau imbalan yang kita dapatkan. Bekerja. Bukan sekedar untuk mendapatkan uang dan berbagai imbalan. Karena bekerja, merupakan momen yang sempurna untuk mengetahui batas kemampuan kita yang sesungguhnya. Oleh karena itu sahabatku, teruslah mengeksplorasi kemampuan kerja Anda. Agar bisa mencapai tingkatan tertingginya.

Sekarang, ijinkan saya bertanya;”Dimana batas kemampuan bekerja Anda?”
Sungguh. Kita tidak akan pernah tahu dimana batasnya itu, selama tidak menyelidikanya sendiri. Tidak menjadikan diri kita pekerja yang tangguh. Enggan menunjukkan dedikasi terbaik kepada perusahaan. Kita, mesti mengeksplorasinya sendiri untuk tahu dimana batasan itu. Karena seperti yang difirmankan Tuhan kepada Rasulullah dalam surah 39 (Az-Zumar) ayat 39 :”Katakanlah Muhammad” demikian Tuhan memerintahkan Sang Nabi, untuk menyampaikan kepada umatnya wahyu ini: ”Wahai kaumku. Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu. Sesungguhnya Allah pun bekerja pula. Kelak, kamu akan mengetahui.

Dalam pemahaman saya yang awam ini. Jelas sekali jika bekerja itu bukanlah untuk mematuhi perintah atasan. Bukan untuk memenuhi penugasan dari perusahaan. Bukan pula untuk sekedar mendapatkan sejumlah imbalan. Bekerja menurut firman itu adalah mentaati perintah Tuhan dengan sepenuh kesungguhan. Jika kita bekerja karena ketaatan kepada Tuhan, mana mungkin kita berani bekerja asal-asalan? Sebab ternyata, bukan hanya kita yang bekerja. Tuhan pun bekerja. Dan seperti yang Tuhan janjikan; jika gigih kita dalam mengeksplorasi batas kemampuan dalam bekerja, maka Tuhan akan memberi tahu kita; lebih banyak lagi tentang kemampuan kita yang selama ini masih tersembunyi itu. Karenanya, jika dan hanya jika bersedia mencobanya saja, kita akan tahu dimana batasnya, bukan?

Jadi, dimana batas kemampuan bekerja Anda? Jawbannya hanya bisa Anda ketahui jika terus gigih dan bersungguh-sungguh dalam bekerja. Karena ketika kita bersungguh-sungguh dalam bekerja, Tuhan pun bekerja untuk memberitahu kita; hal-hal yang selama ini belum kita ketahui. Pantaslah jika pengetahuan. Keterampilan. Dan kemahiran. Menjadi milik mereka yang terus menyibukkan dirinya sendiri. Melalui penugasan dan pekerjaan yang sulit, lagi menantang. Karena dengan kesibukan itu, dia membuka jalan Tuhan; untuk menujukinya sesuatu. Yang selama ini belum diketahuinya. Yaitu. Potensi diri tertinggi. Yang dimilikinya. Insya Allah.

Menjadi NLPers yang Sensitif (II)

“Apa yang Anda tahu tentang rapport?” tanya seorang dosen saya di kampus dulu.

“Basa-basi Pak,” jawab beberapa orang.

“Hanya itu?” tanya dosen saya tadi sembari menunjukkan wajah sedikit keheranan.

“Ya, rapport itu kan misalnya waktu kita baru pertama kali bertemu dengan klien, lalu kita ajak dia bicara, tanya tentang kabarnya hari ini, dsb. Mirip basa-basi kalau kita ketemu sama orang baru,” jelas salah seorang dari rekan yang hadir waktu itu.

Well, sama dengan Anda, saya pun terheran-heran mendengar jawaban seperti ini muncul di kelas tingkat lanjut dari para mahasiswa fakultas psikologi. Namun demikian, kejadian ini menjawab pertanyaan saya selama beberapa kali menjadi asisten praktikum mata kuliah tes dan wawancara yang menuntut mahasiswa untuk berhubungan dengan orang yang baru saja mereka kenal.

Rapport dalam psikologi didefinisikan sebagai prosedur untuk membangun keakraban dalam proses komunikasi agar baik sender maupun receiver memiliki pandangan yang sama tentang hal yang dikomunikasikan sehingga proses komunikasi pun berjalan dengan efektif. Melengkapi definisi ini, NLP mengajarkan bahwa rapport adalah proses connection building agar antara pihak yang berkomunikasi berada dalam ‘gelombang’ yang sama. Tanpa rapport, kita ibarat seseorang yang memiliki keinginan untuk mencapai sebuah tempat di seberang sungai besar tanpa ada jembatan yang menjadi penghubung. Kita mungkin bisa mencapai tempat tersebut, namun tentu dengan effort yang cukup besar baik dengan cara berenang atau membuat rakit plus berjibaku dengan derasnya arus air. Memahami dan mengaplikasikan rapport akan menjadikan Anda seorang komunikator handal dengan hambatan resistensi minimal.

Nah, jika pada bahasan yang lalu kita sudah mempelajari prosedur dasar rapport building melalui sensory acuity, artikel kali ini akan menjelaskan proses kelanjutannya yang sudah sedikit saya singgung juga: matching dan mirroring.

Mempelajari NLP, saya menemukan bahwa proses membangun rapport sebenarnya berada pada level unconscious.

Tidak percaya? Bagus. Perhatikan dialog berikut ini.

“Salam kenal, saya Tommy.”

“Salam kenal juga, saya Andre. Mas Tommy dari mana Mas?”

“Oh, saya dari PT. Sumber Maju.”

“Wah, Sumber Maju? Saya punya kenalan tuh disana, namanya Santy. Mas Tommy kenal?”

“Ya jelas kenal. Kita kan satu lantai meskipun beda departemen. Mas Andre kenal dia dimana?”

“Santy itu teman satu kampung saja di Blora. Kuliah juga bareng di UI. Cuma beda fakultas aja. Dia di Ekonomi, saya di FISIP.”

“Loh, Mas Andre ini dari Blora juga toh? Bloranya ning endi Mas? Aku yo seko Blora e. Walah, jebulane konco sak kampung iki.”

“Weleh..weleh. Omahku ning sebelahe kantor Bupati Mas. Eh, aku njaluk no teleponmu Mas. Mengko ngobrol maneh yo. Wah, dadi kilingan wangine sate aku.”

Bisa menebak kelanjutannya?

Saya yakin dialog seperti ini juga sering terjadi pada Anda. Pertanyaan saya: Mengapa Tommy merasa perlu menyebutkan—dengan bahasa Jawa pula—bahwa ia juga berasal dari Blora?

Yak, tepat! Sama persis dengan jawaban yang sering saya dengar: supaya lebih akrab. Loh, apa hubungan membicarakan tempat asal dengan keakraban?

Yang dilakukan oleh Tommy sebenarnya adalah usaha untuk melakukan matching dan mirroring. Ibarat dua pendulum dengan ukuran yang sama persis, seberapa keras pun salah satunya digerakkan, secara bertahap keduanya akan bergerak secara sinkron. Pada proses matching dan mirroring, kita berusaha untuk memahami orang lain dengan menyamakan cara berpikir, berbicara, dan bertindak, yang akan mengantarkan kita untuk merasakan state/kondisi yang sedang ia alami saat itu. Nah, jika sudah urusan state seperti ini, unconscious-lah yang berperan.

Lalu, bagaimana persisnya kita melakukan matching dan mirroring?

Kita dapat melakukannya mulai dari me-match dan mirror fisiologi, suara, posisi tubuh, gerakan tubuh, ekspresi wajah, gerakan mata, kata-kata, gerakan kepala, dll. Ketika lawan bicara Anda berbicara dengan suara rendah, misalnya, sesuaikan suara Anda dengan nada suaranya tersebut. Pada saat ia bercerita dengan bersemangat dengan nada tinggi, respon lah dengan nada yang sama. Begitu pun dengan gerakan tubuhnya. Jika ia menggerakkan kepala ke kanan ketika berbicara mengenai sesuatu hal, sesuaikan lah gerakan kepala Anda pada arah yang sama dengannya. Namun demikian, ada satu kata kunci yang harus Anda ingat ketika melakukan match dan mirror gerakan tubuh: lakukanlah hanya ketika Anda sedang merespon dan jangan ketika mereka sedang berbicara. Dengan cara ini, match dan mirror Anda akan lebih alami smooth.

Sampai di sini, sebuah pertanyaan muncul: Mungkinkan orang lain akan menyadari jika saya melakukan mirroring seperti ini?

Mungkin saja, namun pengalaman saya melakukannya beberapa tahun belakangan, saya belum pernah ‘tertangkap basah’. Pun ketika saya me-mirror seseorang yang ternyata juga pernah mempelajari NLP. Begitu ia mengatakan, “Wah, Anda lagi match and mirror saya ya?”, saya merespon, “Tentu, karena saya senang berbicara dengan Anda.” Selesai.

Well, fokus lah untuk berlatih melakukan match dan mirror secara bertahap sehingga Anda dapat melakukannya secara refleks. Dengan demikian, match dan mirror Anda bukan lagi dibuat-buat dan efek koneksinya akan semakin terasa. Namun demikian, jika Anda masih ragu-ragu, cobalah untuk pertama-tama melatih crossover mirroring, yaitu melakukan mirroring dengan bagian tubuh yang berbeda. Misalnya, lawan bicara Anda menggerakkan kaki, maka Anda menyesuaikannya dengan menggerakkan tangan. Anda bahkan bisa menyesuaikan gerakan irama nafas seseorang dengan gerakan jari Anda sesuai dengan irama nafasnya. Begitu juga dengan kecepatan bicara. Tingkatkan kecepatan bicara Anda seiring dengan meningkatnya intensitas emosi gembira mereka dan turunkan kecepatan ketika intensitas tersebut menurun kembali.

Mudah bukan?

Nah, pertanyaan selanjutnya: bagaimana kita tahu bahwa kita sudah memiliki rapport yang baik dengan seseorang?

Ada 5 hal yang bisa kita jadikan tanda (The User’s Manual for the Brain Vol I):
Cermati kesesuain gerakan, nada bicara, dan kata-kata yang Anda gunakan dengan lawan bicara Anda.
Perhatikan jika muncul semacam perasaan yang unik pada daerah perut Anda. Pada awalnya, hal ini akan terasa sedikit aneh, namun dalam perjalanan Anda akan menandainya sebagai munculnya perasaan menyatu dengan lawan bicara Anda.
Tidak lama setelah Anda mendeteksi munculnya perasaan ini, Anda akan menandai perubahan pada warna wajah lawan bicara Anda. Nah, akan mampu merasakan pula perubahan perasaan yang berefek pada perubahan warna wajah ini.
Anda akan mendengar pernyataan seperti, “Kok kayaknya kita sudah pernah kenal lama ya?” atau “Kayaknya enak ya ngobrol sama kamu”. Pernyataan seperti ini adalah interpersonal state yang umum muncul dari 2 orang yang berada dalam rapport. Masing-masing seolah feel at home.
Lakukan tes, jika lawan bicara Anda mengikuti, maka rapport Anda sudah terbangun dengan amat baik. Cobalah untuk mengubah posisi duduk, mengganti predikat yang Anda gunakan, atau bahkan mengganti subyek pembicaraan.

Menjadi NLPers yang Sensitif (I)

“Apa itu matching dan mirroring? Cuma niru-niru aja kan? Memangnya orang nggak malah jadi marah kalau kita tirukan gerakannya?”

Demikian respon yang pernah saya terima ketika mengajarkan rapport building ala NLP dalam sebuah pelatihan untuk para mentor les privat di Jogja 2 tahun lalu. Tidak mengherankan memang jika ia bereaksi demikian, karena ternyata ia memang baru pernah mendengar istilah tersebut dalam sebuah seminar NLP, tanpa memahami secara utuh filosofi dan berlatih melakukannya secara langsung.

Berbeda dengan teknik-teknik persuasi yang umum diajarkan, NLP menawarkan pendekatan yang lebih humanis dalam soal membangun keakraban sampai mempengaruhi orang lain.

Wah, benarkah?

Tentu. Berangkat dari presuposisi bahwa we respect each person’s model of the world, NLP selalu mengajak kita untuk memahami lebih dulu ‘peta’ yang dimiliki oleh orang lain sebelum mengajaknya untuk memahami ‘peta’ yang kita punya—meminjam istilah Stephen R. Covey, seek first to understand then to be understood.

Lalu, bagaimana persisnya kita melakukan hal ini?

Masih ingat dengan bahasan kita sebelumnya? Bagus, karena kita akan meninjaunya lebih dalam kali ini. Pada bagian pertama ini, saya akan fokus dulu di proses seek first to understand.

Dalam NLP terdapat istilah sensory acuity. Ia adalah kemampuan kita untuk mencermati dan mendengar secara sadar komunikasi non verbal orang lain dengan lebih efektif. Dengan kata lain, jika kita memiliki sensory acuity yang baik, kita akan lebih tajam dalam menandai, memonitor, dan menginterpretasikan sinyal-sinyal non verbal yang disampaikan oleh lawan bicara kita. Karena sinyal ini umumnya tidak disadari, maka kemampuan ini mutlak diperlukan jika kita ingin membangun keakraban dengan seseorang dengan cepat.

Mengembangkan sensory acuity memang membutuhkan latihan secara terus-menerus. Nah, di sini pula lah perbedaan NLP dengan yang lain. NLP tidak mengajarkan kita untuk melatih sensory acuity pertama kali dengan mengamati orang lain, melainkan justru dengan mengamati diri sendiri. Setelah kita aware dengan setiap sinyal non verbal yang keluar unconsciously dari diri kita, maka menangkap sinyal orang lain adalah urusan mudah. Meminjam ajaran dari Genie Laborde, kuncinya adalah dengan meluangkan setidaknya 15 menit setiap hari untuk melihat dan mendengar dengan lebih dalam.

Setidaknya ada 5 hal penting yang bisa Anda jadikan bahan latihan, yaitu dengan mengamati:

1. Cara bernafas.

Cara kita bernafas adalah kunci penting untuk memahami kondisi/state yang sedang kita alami. Anda dapat memperhatikan mulai dari dimana kita bernafas (pada bagian dada atau perut), tempo kita bernafas, sampai pada pola bernafas yang muncul ketika kita sedang berbicara dengan orang lain. Jika sudah, cermatilah perubahan yang timbul seiring dengan perubahan kondisi dalam diri Anda (internal state). Setelah Anda dapat menandai perbedaanya barulah Anda mulai untuk berlatih dengan mencermati orang lain. Well, terkadang memang tidak terlalu mudah sih untuk melakukan yang terakhir ini. Pertama, kita seringkali kesulitan karena pakaian cukup tebal yang mereka kenakan atau pola nafas yang pendek. Kedua, memperhatikan dada seseorang (apalagi lawan jenis) cukup lama tentu bisa menimbulkan masalah bukan? Nah, dalam kasus seperti ini, kita bisa gunakan cara lain seperti memperhatikan bahu bagian atas. Untuk menambah jam terbang, Anda juga bisa menonton TV sembari mematikan suaranya dan menebak kondisi sang aktor/aktris hanya dengan memperhatikan gerak bahunya. Jika angle yang diambil cukup dekat, Anda bahkan bisa membandingkan gerak bahu tersebut dengan mengobservasi kemunculan otot pada leher mereka.

2. Perubahan warna.

Ah, mana mungkin bisa? Jelas bisa. Yang paling mudah, Anda tentu sudah sering melihat kan seorang yang sedang amat marah dan warna wajahnya berubah menjadi merah? Biarpun kulit mereka agak gelap, perubahan ini pasti tetap terasa. Nah, seiring dengan meningkatnya keahlian observasi Anda, perbedaan ini pun akan makin mudah Anda kenali. Ada beberapa tips praktis. Pertama, berpikirlah dengan kontras. Secara bertahap, Anda akan menemukan bahwa wajah seseorang tidak hanya memiliki satu warna saja—warna kulitnya sendiri. Saya sendiri sering berlatih dengan mengamati mereka yang berkulit sangat putih dan saya mencermati bahwa di wajah mereka terkadang ada area-area tertentu yang berwarna merah muda, kecoklatan, kehijauan, kekuningan, bahkan kebiruan. Nah, langkah selanjutnya adalah membandingkan warna-warna tersebut dengan kondisi/state orang tersebut. Misalnya, ada beberapa orang yang pipinya menjadi berwarna merah muda ketika sedang tersipu-sipu malu. Namun jika intensitas malunya meningkat maka warnanya menjadi lebih ke arah merah meskipun belum seperti merahnya orang yang sedang marah.

3. Perubahan otot-otot.

Selain warna, perubahan pada otot-otot juga dapat menjadi indikator perubahan kondisi internal kita. Contoh paling mudah—lagi-lagi—adalah dengan mengamati ketika kita sedang berada dalam state dengan intensitas tinggi seperti amat marah, amat sedih, amat tertekan, atau amat gembira.

Ah, saya baru ingat contoh yang bagus. Perhatikan ketika kita sedang mendapat sebuah pertanyaan yang mengajak kita untuk berpikir keras. Yap, otot-otot pada bagian kening tentu akan mengkerut yang berakibat pada tampak berkerutnya kening tersebut. Cermati pula ketika kita sedang jijik, otot bagian mana yang berubah? Tepat, bagian hidung dan sekitar mulut bagian atas. Bagaimana dengan ketika terheran-heran? Ketika marah? Ketika depresi? Ketika putus asa? He..he..asyik kan?

Nah, sejalan dengan latihan yang Anda lalui, Anda akan semakin mudah mencermati perubahan otot pada bagian tubuh yang lain.

4. Perubahan pada bibir bawah.

Satu lagi sinyal yang hampir tidak mungkin untuk dikendalikan secara sadar, perubahan pada bibir. Anda bisa mengamati perubahan dalam hal perubahan ukuran, warna, bentuk, ujung bibir, tekstur, gerakan, juga melebar dan mengkerutnya. Ingat-ingat saat Anda melihat rekan yang sedang mengomel dan bedakan dengan ketika ia sedang bercerita kisah yang menggembirakan. Anda bisa menemukan perbedaanya? Bagus. Hanya saja, seperti pada latihan mengamati gerak dada, Anda juga perlu berhati-hati ketika mengamati bagian tubuh yang satu ini. Saran saya, mulailah dari mereka yang Anda kenal dengan amat dekat dulu seperti anggota keluarga.

5. Nada suara.

Tidak bisa dipungkiri, nada suara adalah elemen penting yang akan mempengaruhi makna dari kalimat yang kita ucapkan pada orang lain. Cobalah memotivasi orang lain dengan nada suara rendah, tanpa tekanan, dan suara yang pelan pula. Saya berani jamin kalau kalimat motivasi Anda tidak akan pernah membekas dalam hati mereka. Begitu pula dengan kritikan yang sebenarnya amat pedas, namun disampaikan dengan nada suara yang amat lembut, pasti tidak akan menimbulkan intensitas emosi yang terlalu tinggi. Sama dengan cara bernafas, perubahan warna, perubahan otot, dan perubahan bibir, perubahan pada nada suara juga adalah kata kunci penting untuk memahami kondisi internal kita. Berlatihlah mulai dari mendengarkan perubahan pada volume, nada, ritme, tempo, kejelasan, dan resonansi. Jika masih kesulitan untuk mendengarkan secara langsung, Anda bisa menggunakan TV ataupun radio sebagai media latihan. Jika menggunakan TV, cobalah untuk tidak melihat gambarnya dan hanya mendengarkan suaranya lalu deteksilah perubahan yang terjadi. Kalau sudah begini, saya yakin Anda akan lebih mudah untuk memahami kondisi internal orang lain dan karenanya akan lebih empatik ketika mendengar karena Anda bisa memasuki dunianya dan merasakan perasaan dari sudut pandangnya.

Nah, sampai di sini, cobalah untuk menggabungkan ‘data’ yang Anda peroleh dari kelima perubahan sinyal non verbal di atas sekaligus untuk memahami kondisi internal Anda dan orang lain. Secara bertahap, Anda akan mulai merasakan bahwa kesemuanya saling berkaitan satu sama lain.

Well, ini adalah skill. So, hanya ada satu kuncinya: berlatih, berlatih, berlatih!