Joseph O’ Connor dan John Seymour dalam buku mereka Introducing NLP mengungkapkan sebuah ringkasan yang menarik tentang mempelajari NLP. Mereka mengatakan, “Jika NLP harus dipresentasikan dalam seminar yang hanya berlangsung selama 3 menit, maka kemungkinannya adalah sang presenter akan maju ke depan dan berkata, ‘Bapak-bapak dan Ibu-ibu, untuk dapat sukses dalam hidup, Anda harus mengingat 3 hal:
· Tahu persis apa yang Anda inginkan dengan memiliki gambaran yang jelas tentang hasil akhir tersebut.
· Selalu lah peka terhadap informasi yang Anda dapat kenali melalui indera yang Anda miliki dan cermatilah apa saja yang sudah Anda capai hingga saat ini.
· Memiliki fleksibilitas untuk terus-menerus melakukan penyesuaian terhadap tindakan yang Anda ambil sampai Anda mendapatkan hasil yang Anda inginkan.
‘Ia lalu akan menuliskan di papan tulis:
Outcome
Acuity
Flexibility
dan pergi meninggalkan ruangan.’”
Hal penting pertama yang harus kita tahu adalah apa yang kita inginkan (outcome) dengan mempelajari NLP. Mustahil mencapai suatu tempat jika kita bahkan tidak tahu secara jelas tempat yang ingin kita tuju, bukan? Jika sudah, kita harus memiliki kepekaan yang tinggi (acuity) terhadap berbagai hal yang terjadi dalam perjalanan kita mencapai tujuan. Kepekaan tersebut akan amat membantu kita mencermati sejauh mana kita sudah melangkah di jalur yang benar dan mendekatkan kita pada tujuan yang kita inginkan. Terakhir, mempelajari NLP mengharuskan kita untuk memiliki lebih banyak pilihan. Ya, pilihan yang lebih banyak memungkinkan kita untuk bersikap fleksibel ketika menghadapi berbagai macam tantangan dalam mencapai tujuan. Inti dari prinsipnya, ”Jika Anda melakukan hal yang sama, maka Anda pasti akan mendapatkan hasil yang sama. Ketika Anda mengerjakan satu hal dan hasilnya tidak memuaskan, segera lakukan hal yang lain!” Ingat presuposisi yang lalu? Mereka yang fleksibel akan memiliki pengaruh yang lebih besar.
Mari kita bahas lebih detil satu per satu.
Outcome
Segala sesuatu diciptakan 2 kali, pertama dalam pikiran dan kedua dalam perbuatan. Inilah salah satu pelajaran penting yang diajarkan oleh Stephen R. Covey dalam buku legendarisnya, The 7 Habits. Perhatikan sebuah bangunan megah berharga miliaran rupiah dan Anda akan mendapati ia sudah ada dalam benak sang pemilik dan arsitek jauh sebelum bangunan tersebut. Cermati perusahaan-perusahaan besar yang sudah berdiri puluhan tahun dan saat ini mendunia, maka Anda akan mendengar kisah para pendiri dengan pemikiran visioner mereka. Dengarkan lagu-lagu yang melegenda dan saya yakin Anda tidak akan mendapati satu pun di antaranya tercipta begitu saja tanpa khayalan sang penulis jauh sebelum lagu tersebut direkam dan diedarkan.
Well, ilmu tentang merumuskan tujuan memang bukan merupakan ilmu baru. Ia sudah ada jauh sebelum NLP dilahirkan. Jika tujuan seringkali dikonotasikan dengan hasil di luar diri kita yang ingin kita capai, maka NLP melengkapi definisi ini dengan mengatakan bahwa tujuan/hasil akhir/outcome hakikatnya adalah suatu kondisi yang diinginkan dalam diri kita (desired state). Misalnya, saat ini Anda merasa belum puas dengan pekerjaan Anda sekarang sebab belum berhasil memberikan Anda penghasilan yang memungkinkan Anda bisa memiliki rumah sendiri, dan karenanya Anda menginginkan sebuah pekerjaan baru yang mampu menjadikan Anda seseorang dengan kemampuan finansial untuk membeli rumah sehingga menimbulkan kepuasan dalam diri Anda. Nah, outcome dalam NLP tidak hanya pekerjaan dan rumah yang Anda inginkan, melainkan juga perasaan puas yang muncul karena keberhasilan Anda mencapainya.
Menulis mengenai hal ini, saya teringat sebuah formula merumuskan tujuan yang pertama kali saya pelajari beberapa tahun lalu: SMART, alias Specific, Measurable, Attainable, Realistic, dan Timeable. Menggunakan formula ini, kita harus merumuskan tujuan yang spesifik dan mendetil, terukur secara valid, bisa dicapai, memungkinkan untuk dicapai, dan berada pada jangka waktu tertentu. Berpegang pada definisi outcome di atas, fokus dari perumusan tujuan tidak saja pada hasil akhir (end result) tapi juga pada proses pencapaiannya yang terwujud dalam desired state. Bukankah Anda pernah mengalami suatu saat ketika sebuah hasil akhir tercapai namun Anda tidak puas dengannya? Di titik inilah NLP ingin menjadikan pencapaian tujuan sebagai tanggung jawab pribadi alih-alih hal lain yang berada di luar lingkaran pengaruh kita.
Silakan mencermati rumus goal setting ala NLP berikut ini:
1. Ungkapkan dalam bentuk kalimat positif. Tujuan yang efektif harus dinyatakan dalam kalimat yang berbentuk positif dan bebas dari kata-kata negasi (seperti kata tidak, jangan, bukan, dll). Mengapa? Meminjam ungkapan dari Tony Buzan, otak kita diciptakan untuk sukses, karenanya ia hanya bisa memproses kalimat yang berbentuk positif. Coba pada detik ini jangan memikirkan sebuah pohon beringin berdaun warna ungu! Meskipun saya sudah menebalkan kata ’jangan’ pada kalimat di atas, saya yakin pikiran Anda tetap memunculkan pohon beringin berdaun warna ungu terlebih dahulu baru kemudian mengalihkannya pada hal lain. Alih-alih mengatakan ”Saya memiliki tubuh yang bebas dari sakit” katakanlah ”Saya memiliki tubuh yang sehat”.
2. Deskripsikan dalam kalimat yang mampu mendayagunakan keseluruhan indera kita. Pikirkan sesuatu yang pernah Anda impikan dan sekarang sudah berhasil Anda dapatkan. Sudah? Bagus. Cobalah deskripsikan hal tersebut, dan saya yakin Anda akan menyadari bahwa Anda mampu menjelaskannya dengan mendetil baik dari sisi gambaran, kata-kata, maupun perasaan yang Anda miliki terhadapnya. Nah, demikianlah seharusnya tujuan dibuat. Jika Anda ingin tujuan Anda mampu menimbulkan motivasi dan karenanya membukakan jalan untuk mencapainya, ciptakanlah ia sedetil mungkin sehingga Anda dapat membayangkan, mendengar, dan merasakannya menjadi milik Anda.
3. Berdasarkan inisiatif dan kontrol diri kita sendiri. ”Saya ingin orang tua saya menghargai saya” bukanlah sebuah tujuan yang efektif, sebab ia berada di luar kontrol diri kita. Sebagai gantinya, tetapkanlah tujuan yang berada dalam lingkaran pengaruh kita seperti, ”Saya memiliki kemampuan komunikasi yang baik sehingga dapat meyakinkan orang tua saya akan pilihan karir yang saya buat”.
4. Memiliki konteks yang spesifik. Anda tentu masih ingat dengan bahasan kita mengenai makna dan konteks, kan? Nah, sebuah tujuan akan memberi makna yang mendalam bagi diri Anda hanya jika ia berada dalam konteks yang memunculkan makna yang tepat bagi Anda. Dalam konteks contoh pada no. 3 di atas, tujuan ’memiliki kemampuan komunikasi yang baik’ dibingkai oleh konteks hubungan dengan orang tua. Hal ini penting, sebab bisa jadi tujuan tersebut tidak Anda inginkan atau perlukan ada dalam konteks lain.
5. Memunculkan efek sekunder yang positif. ”Anda ingin berhenti merokok? Tanyakanlah terlebih dahulu apa yang Anda dapatkan dari merokok”. Didasarkan pada presuposisi bahwa setiap perilaku pasti memiliki intensi positif, sebuah tujuan yang efektif harus dapat menimbulkan ’kepuasan’ guna memenuhi intensi tersebut. Jika tidak, yang akan terjadi hanyalah perubahan sementara yang tidak bertahan lama. Inilah sebabnya terapi aversif dengan kejutan listrik untuk membuat orang berhenti merokok seringkali tidak manjur, karena ia tidak dapat menggantikan efek nyaman dan rileks yang dihasilkan oleh kegiatan merokok. Untuk dapat mengubah perilaku negatif, temukanlah efek sekunder positif yang ditimbulkannya, dan pastikan pengubahan perilaku tersebut mampu memunculkan efek yang diinginkan.
6. Memiliki sumber daya yang dibutuhkan. ”Apa yang saya butuhkan untuk mencapai tujuan yang saya inginkan ini?” adalah pertanyaan yang harus Anda tanyakan ketika merumuskan tujuan. Dari sini Anda akan mendapati adanya gap antara kondisi yang Anda inginkan dan kondisi saat ini. Nah, di titik inilah Anda akan dapat merasakan apakah tujuan tersebut layak untuk Anda capai atau tidak. Sisi lain, memetakan sumber daya secara jelas juga akan semakin membukakan jalan Anda ke arah pencapaian tujuan sebab akan merangsang segenap tubuh, pikiran, dan perasaan Anda untuk menemukan segala sumber yang bisa Anda dayagunakan.
7. Ekologis baik terhadap diri kita sendiri maupun orang lain. Pada akhirnya, sebuah tujuan haruslah selaras dengan keseluruhan diri kita dan lingkungan tempat kita hidup. Selaras dengan diri, sebab sebuah tujuan yang dirumuskan dengan menggunakan logika seringkali justru bertentangan dengan hati nurani dan hanya mengantarkan kepada kekecewaan saat kita mencapainya. Selaras dengan orang lain, karena kehidupan kita hakikatnya ditopang oleh keberadaan orang lain di sekitar kita. Sebagai contoh, Anda menetapkan tujuan dengan amat detil untuk dapat berkuliah di sebuah jurusan yang banyak dipilih oleh teman-teman Anda sementara dalam hati Anda memiliki jurusan lain yang lebih Anda inginkan. Meskipun Anda berhasil mencapainya, mungkinkah Anda bahagia dengan pilihan Anda? Contoh lain, Anda merumuskan tujuan untuk menjadi presiden direktur perusahaan tempat Anda bekerja hanya dalam waktu 2 tahun sementara posisi Anda saat ini masih berada jauh di bawah. Sekalipun Anda dapat mencapainya dengan bekerja keras siang dan malam, bagaimana dengan keluarga Anda? Puaskah Anda dengan tujuan Anda tersebut jika ternyata berakibat buruk pada kehidupan pribadi Anda? Well, Anda tentu bisa menjawabnya.
Acuity: Journey to Communication and Rapport
Karena ’we can’t not communicate’ dan ’the meaning of the communication lies in the response you get’ maka mustahil bagi kita untuk mencapai tujuan jika kita tidak peka terhadap berbagai sinyal yang selalu memberikan umpan balik mengenai pencapaian tujuan yang kita tetapkan.
Anda tentu pernah berusaha mempengaruhi seseorang dan mendapati orang tersebut menunjukkan ekspresi yang ’aneh’, kan? Nah, dari respon ini Anda kemudian memiliki beberapa pilihan: tetap melanjutkan proses persuasi, menghentikan persuasi Anda, atau mengganti cara Anda dalam mempersuasi. Memilih yang pertama berarti Anda tidak mempedulikan sinyal ketidaksetujuan yang ditunjukkan oleh lawan bicara Anda dan jelas akan menjadikan usaha Anda sia-sia. Memilih yang kedua, Anda amat peduli dengan sinyal tersebut namun memilih untuk memaknainya dengan kegagalan. Nah, yang ketiga ini yang unik. Memilihnya, Anda amat perhatian pada sinyal yang Anda terima dan menyesuaikan usaha Anda demi mendapati sinyal yang sesuai dengan tujuan Anda.
Pertanyaan saya: mungkinkah Anda memiliki pilihan-pilihan ini jika Anda tidak peka terhadap sinyal-sinyal umpan balik yang tertuju pada Anda? Saya yakin tidak. Inilah sebabnya mengapa NLP amat menitikberatkan keterampilan untuk ’membaca’ dan memahami state orang lain, sebab tanpanya Anda akan menemukan banyak kesulitan dalam berkomunikasi dan karenanya pula membangun keakraban dengan diri sendiri juga orang lain.
Loh, dengan diri sendiri juga?
Ya, sebab komunikasi tidak hanya bisa terjadi dengan orang lain. Diri kita sendiri pun memiliki bagian-bagian (parts) yang saling berkaitan satu sama lain. Ingat presuposisi ’mind and body inevitably and inescapably affect each other’? Bagian-bagian ini senantiasa memberikan sinyal-sinyal sebagai tanda kesetujuan/ketidaksetujuan akan berbagai pilihan yang kita buat. Cobalah bekerja keras tanpa istirahat dan saya berani bertaruh dalam waktu singkat tubuh Anda akan memunculkan sinyal untuk beristirahat seperti demam, flu, dll. Begitupun ketika Anda mengeluarkan emosi marah yang meledak-ledak, tidakkah Anda merasakan beberapa bagian tubuh Anda tidak nyaman?
Anda tentu masih ingat tentang bahasan kita mengenai membangun keakraban dengan orang lain melalui proses matching dan mirroring kan? Nah, mungkinkah kita mampu menggunakan cara yang sama jika kita bahkan tidak bisa menangkap sinyal-sinyal komunikasi orang lain? Tentu tidak, bukan? Sebelum kita mempelajari hal ini lebih dalam, saya ingin Anda mengingat-ingat hal berikut ini dengan baik:
Kunci dari keakraban adalah pemahaman, dan kunci dari pemahaman adalah kepekaan.
Flexibility: From Pacing to Leading
Manusia hidup dengan pola, agar banyak hal menjadi mudah dan tidak harus dijalani dengan trial and error setiap saat. Sekali sebuah pola terbentuk, ia akan menjalani siklusnya sampai selesai setiap kali ia dipicu. Masalah muncul ketika pola yang terbentuk sejak dulu ini sudah tidak lagi sesuai dengan konteks hidup kita saat ini. Mengubahnya menuntut kecerdikan yang mampu secara bertahap mengalihkan pola lama menjadi pola baru yang kita inginkan. Inilah inti dari change management.
Ibarat mengendarai sebuah mobil, Anda tentu bisa membayangkan akibat yang muncul jika secara tiba-tiba Anda membelokkan kemudi secara drastis, kan? Ini pulalah prinsip perubahan dalam NLP: perubahan itu menyakitkan hanya jika proses transisinya tidak direncanakan dengan baik, resistence indicates the lack of rapport. Nah, proses transisi inilah yang dinamakan pacing dan leading dalam NLP. Pacing adalah proses menyelaraskan dan memahami pola lama (baik dalam konteks diri sendiri maupun orang lain), sedangkan leading adalah proses mengarahkan pola lama kepada pola baru yang kita inginkan.
Sebuah pertanyaan muncul: Apa bedanya pacing dengan rapport tadi? Bukankah dalam rapport juga terdapat pemahaman?
Pacing adalah prosesnya, dan rapport adalah indikatornya. Anda boleh berusaha menyelaraskan diri sebaik mungkin dengan orang lain, namun sampai Anda berhasil membangun rapport Anda tidak akan bisa melakukan leading. Pernah memiliki radio analog? Nah, pacing adalah proses pencarian frekuensi gelombang radio yang tepat, dan rapport adalah koneksi yang terbangun ketika Anda menemukan gelombang tersebut dan karenanya dapat menikmati lagu kesukaan Anda.
OK, inilah peta perjalanan kita untuk menjadi seorang praktisi NLP. Sembari membaca kembali, merenungkan dengan mengatakan kepada diri sendiri ”Ini adalah jalan saya”, dan merasakan sinyal-sinyal kesuksesan muncul dari perasaan Anda, putuskan sekarang juga untuk memulai langkah pertama
· Tahu persis apa yang Anda inginkan dengan memiliki gambaran yang jelas tentang hasil akhir tersebut.
· Selalu lah peka terhadap informasi yang Anda dapat kenali melalui indera yang Anda miliki dan cermatilah apa saja yang sudah Anda capai hingga saat ini.
· Memiliki fleksibilitas untuk terus-menerus melakukan penyesuaian terhadap tindakan yang Anda ambil sampai Anda mendapatkan hasil yang Anda inginkan.
‘Ia lalu akan menuliskan di papan tulis:
Outcome
Acuity
Flexibility
dan pergi meninggalkan ruangan.’”
Hal penting pertama yang harus kita tahu adalah apa yang kita inginkan (outcome) dengan mempelajari NLP. Mustahil mencapai suatu tempat jika kita bahkan tidak tahu secara jelas tempat yang ingin kita tuju, bukan? Jika sudah, kita harus memiliki kepekaan yang tinggi (acuity) terhadap berbagai hal yang terjadi dalam perjalanan kita mencapai tujuan. Kepekaan tersebut akan amat membantu kita mencermati sejauh mana kita sudah melangkah di jalur yang benar dan mendekatkan kita pada tujuan yang kita inginkan. Terakhir, mempelajari NLP mengharuskan kita untuk memiliki lebih banyak pilihan. Ya, pilihan yang lebih banyak memungkinkan kita untuk bersikap fleksibel ketika menghadapi berbagai macam tantangan dalam mencapai tujuan. Inti dari prinsipnya, ”Jika Anda melakukan hal yang sama, maka Anda pasti akan mendapatkan hasil yang sama. Ketika Anda mengerjakan satu hal dan hasilnya tidak memuaskan, segera lakukan hal yang lain!” Ingat presuposisi yang lalu? Mereka yang fleksibel akan memiliki pengaruh yang lebih besar.
Mari kita bahas lebih detil satu per satu.
Outcome
Segala sesuatu diciptakan 2 kali, pertama dalam pikiran dan kedua dalam perbuatan. Inilah salah satu pelajaran penting yang diajarkan oleh Stephen R. Covey dalam buku legendarisnya, The 7 Habits. Perhatikan sebuah bangunan megah berharga miliaran rupiah dan Anda akan mendapati ia sudah ada dalam benak sang pemilik dan arsitek jauh sebelum bangunan tersebut. Cermati perusahaan-perusahaan besar yang sudah berdiri puluhan tahun dan saat ini mendunia, maka Anda akan mendengar kisah para pendiri dengan pemikiran visioner mereka. Dengarkan lagu-lagu yang melegenda dan saya yakin Anda tidak akan mendapati satu pun di antaranya tercipta begitu saja tanpa khayalan sang penulis jauh sebelum lagu tersebut direkam dan diedarkan.
Well, ilmu tentang merumuskan tujuan memang bukan merupakan ilmu baru. Ia sudah ada jauh sebelum NLP dilahirkan. Jika tujuan seringkali dikonotasikan dengan hasil di luar diri kita yang ingin kita capai, maka NLP melengkapi definisi ini dengan mengatakan bahwa tujuan/hasil akhir/outcome hakikatnya adalah suatu kondisi yang diinginkan dalam diri kita (desired state). Misalnya, saat ini Anda merasa belum puas dengan pekerjaan Anda sekarang sebab belum berhasil memberikan Anda penghasilan yang memungkinkan Anda bisa memiliki rumah sendiri, dan karenanya Anda menginginkan sebuah pekerjaan baru yang mampu menjadikan Anda seseorang dengan kemampuan finansial untuk membeli rumah sehingga menimbulkan kepuasan dalam diri Anda. Nah, outcome dalam NLP tidak hanya pekerjaan dan rumah yang Anda inginkan, melainkan juga perasaan puas yang muncul karena keberhasilan Anda mencapainya.
Menulis mengenai hal ini, saya teringat sebuah formula merumuskan tujuan yang pertama kali saya pelajari beberapa tahun lalu: SMART, alias Specific, Measurable, Attainable, Realistic, dan Timeable. Menggunakan formula ini, kita harus merumuskan tujuan yang spesifik dan mendetil, terukur secara valid, bisa dicapai, memungkinkan untuk dicapai, dan berada pada jangka waktu tertentu. Berpegang pada definisi outcome di atas, fokus dari perumusan tujuan tidak saja pada hasil akhir (end result) tapi juga pada proses pencapaiannya yang terwujud dalam desired state. Bukankah Anda pernah mengalami suatu saat ketika sebuah hasil akhir tercapai namun Anda tidak puas dengannya? Di titik inilah NLP ingin menjadikan pencapaian tujuan sebagai tanggung jawab pribadi alih-alih hal lain yang berada di luar lingkaran pengaruh kita.
Silakan mencermati rumus goal setting ala NLP berikut ini:
1. Ungkapkan dalam bentuk kalimat positif. Tujuan yang efektif harus dinyatakan dalam kalimat yang berbentuk positif dan bebas dari kata-kata negasi (seperti kata tidak, jangan, bukan, dll). Mengapa? Meminjam ungkapan dari Tony Buzan, otak kita diciptakan untuk sukses, karenanya ia hanya bisa memproses kalimat yang berbentuk positif. Coba pada detik ini jangan memikirkan sebuah pohon beringin berdaun warna ungu! Meskipun saya sudah menebalkan kata ’jangan’ pada kalimat di atas, saya yakin pikiran Anda tetap memunculkan pohon beringin berdaun warna ungu terlebih dahulu baru kemudian mengalihkannya pada hal lain. Alih-alih mengatakan ”Saya memiliki tubuh yang bebas dari sakit” katakanlah ”Saya memiliki tubuh yang sehat”.
2. Deskripsikan dalam kalimat yang mampu mendayagunakan keseluruhan indera kita. Pikirkan sesuatu yang pernah Anda impikan dan sekarang sudah berhasil Anda dapatkan. Sudah? Bagus. Cobalah deskripsikan hal tersebut, dan saya yakin Anda akan menyadari bahwa Anda mampu menjelaskannya dengan mendetil baik dari sisi gambaran, kata-kata, maupun perasaan yang Anda miliki terhadapnya. Nah, demikianlah seharusnya tujuan dibuat. Jika Anda ingin tujuan Anda mampu menimbulkan motivasi dan karenanya membukakan jalan untuk mencapainya, ciptakanlah ia sedetil mungkin sehingga Anda dapat membayangkan, mendengar, dan merasakannya menjadi milik Anda.
3. Berdasarkan inisiatif dan kontrol diri kita sendiri. ”Saya ingin orang tua saya menghargai saya” bukanlah sebuah tujuan yang efektif, sebab ia berada di luar kontrol diri kita. Sebagai gantinya, tetapkanlah tujuan yang berada dalam lingkaran pengaruh kita seperti, ”Saya memiliki kemampuan komunikasi yang baik sehingga dapat meyakinkan orang tua saya akan pilihan karir yang saya buat”.
4. Memiliki konteks yang spesifik. Anda tentu masih ingat dengan bahasan kita mengenai makna dan konteks, kan? Nah, sebuah tujuan akan memberi makna yang mendalam bagi diri Anda hanya jika ia berada dalam konteks yang memunculkan makna yang tepat bagi Anda. Dalam konteks contoh pada no. 3 di atas, tujuan ’memiliki kemampuan komunikasi yang baik’ dibingkai oleh konteks hubungan dengan orang tua. Hal ini penting, sebab bisa jadi tujuan tersebut tidak Anda inginkan atau perlukan ada dalam konteks lain.
5. Memunculkan efek sekunder yang positif. ”Anda ingin berhenti merokok? Tanyakanlah terlebih dahulu apa yang Anda dapatkan dari merokok”. Didasarkan pada presuposisi bahwa setiap perilaku pasti memiliki intensi positif, sebuah tujuan yang efektif harus dapat menimbulkan ’kepuasan’ guna memenuhi intensi tersebut. Jika tidak, yang akan terjadi hanyalah perubahan sementara yang tidak bertahan lama. Inilah sebabnya terapi aversif dengan kejutan listrik untuk membuat orang berhenti merokok seringkali tidak manjur, karena ia tidak dapat menggantikan efek nyaman dan rileks yang dihasilkan oleh kegiatan merokok. Untuk dapat mengubah perilaku negatif, temukanlah efek sekunder positif yang ditimbulkannya, dan pastikan pengubahan perilaku tersebut mampu memunculkan efek yang diinginkan.
6. Memiliki sumber daya yang dibutuhkan. ”Apa yang saya butuhkan untuk mencapai tujuan yang saya inginkan ini?” adalah pertanyaan yang harus Anda tanyakan ketika merumuskan tujuan. Dari sini Anda akan mendapati adanya gap antara kondisi yang Anda inginkan dan kondisi saat ini. Nah, di titik inilah Anda akan dapat merasakan apakah tujuan tersebut layak untuk Anda capai atau tidak. Sisi lain, memetakan sumber daya secara jelas juga akan semakin membukakan jalan Anda ke arah pencapaian tujuan sebab akan merangsang segenap tubuh, pikiran, dan perasaan Anda untuk menemukan segala sumber yang bisa Anda dayagunakan.
7. Ekologis baik terhadap diri kita sendiri maupun orang lain. Pada akhirnya, sebuah tujuan haruslah selaras dengan keseluruhan diri kita dan lingkungan tempat kita hidup. Selaras dengan diri, sebab sebuah tujuan yang dirumuskan dengan menggunakan logika seringkali justru bertentangan dengan hati nurani dan hanya mengantarkan kepada kekecewaan saat kita mencapainya. Selaras dengan orang lain, karena kehidupan kita hakikatnya ditopang oleh keberadaan orang lain di sekitar kita. Sebagai contoh, Anda menetapkan tujuan dengan amat detil untuk dapat berkuliah di sebuah jurusan yang banyak dipilih oleh teman-teman Anda sementara dalam hati Anda memiliki jurusan lain yang lebih Anda inginkan. Meskipun Anda berhasil mencapainya, mungkinkah Anda bahagia dengan pilihan Anda? Contoh lain, Anda merumuskan tujuan untuk menjadi presiden direktur perusahaan tempat Anda bekerja hanya dalam waktu 2 tahun sementara posisi Anda saat ini masih berada jauh di bawah. Sekalipun Anda dapat mencapainya dengan bekerja keras siang dan malam, bagaimana dengan keluarga Anda? Puaskah Anda dengan tujuan Anda tersebut jika ternyata berakibat buruk pada kehidupan pribadi Anda? Well, Anda tentu bisa menjawabnya.
Acuity: Journey to Communication and Rapport
Karena ’we can’t not communicate’ dan ’the meaning of the communication lies in the response you get’ maka mustahil bagi kita untuk mencapai tujuan jika kita tidak peka terhadap berbagai sinyal yang selalu memberikan umpan balik mengenai pencapaian tujuan yang kita tetapkan.
Anda tentu pernah berusaha mempengaruhi seseorang dan mendapati orang tersebut menunjukkan ekspresi yang ’aneh’, kan? Nah, dari respon ini Anda kemudian memiliki beberapa pilihan: tetap melanjutkan proses persuasi, menghentikan persuasi Anda, atau mengganti cara Anda dalam mempersuasi. Memilih yang pertama berarti Anda tidak mempedulikan sinyal ketidaksetujuan yang ditunjukkan oleh lawan bicara Anda dan jelas akan menjadikan usaha Anda sia-sia. Memilih yang kedua, Anda amat peduli dengan sinyal tersebut namun memilih untuk memaknainya dengan kegagalan. Nah, yang ketiga ini yang unik. Memilihnya, Anda amat perhatian pada sinyal yang Anda terima dan menyesuaikan usaha Anda demi mendapati sinyal yang sesuai dengan tujuan Anda.
Pertanyaan saya: mungkinkah Anda memiliki pilihan-pilihan ini jika Anda tidak peka terhadap sinyal-sinyal umpan balik yang tertuju pada Anda? Saya yakin tidak. Inilah sebabnya mengapa NLP amat menitikberatkan keterampilan untuk ’membaca’ dan memahami state orang lain, sebab tanpanya Anda akan menemukan banyak kesulitan dalam berkomunikasi dan karenanya pula membangun keakraban dengan diri sendiri juga orang lain.
Loh, dengan diri sendiri juga?
Ya, sebab komunikasi tidak hanya bisa terjadi dengan orang lain. Diri kita sendiri pun memiliki bagian-bagian (parts) yang saling berkaitan satu sama lain. Ingat presuposisi ’mind and body inevitably and inescapably affect each other’? Bagian-bagian ini senantiasa memberikan sinyal-sinyal sebagai tanda kesetujuan/ketidaksetujuan akan berbagai pilihan yang kita buat. Cobalah bekerja keras tanpa istirahat dan saya berani bertaruh dalam waktu singkat tubuh Anda akan memunculkan sinyal untuk beristirahat seperti demam, flu, dll. Begitupun ketika Anda mengeluarkan emosi marah yang meledak-ledak, tidakkah Anda merasakan beberapa bagian tubuh Anda tidak nyaman?
Anda tentu masih ingat tentang bahasan kita mengenai membangun keakraban dengan orang lain melalui proses matching dan mirroring kan? Nah, mungkinkah kita mampu menggunakan cara yang sama jika kita bahkan tidak bisa menangkap sinyal-sinyal komunikasi orang lain? Tentu tidak, bukan? Sebelum kita mempelajari hal ini lebih dalam, saya ingin Anda mengingat-ingat hal berikut ini dengan baik:
Kunci dari keakraban adalah pemahaman, dan kunci dari pemahaman adalah kepekaan.
Flexibility: From Pacing to Leading
Manusia hidup dengan pola, agar banyak hal menjadi mudah dan tidak harus dijalani dengan trial and error setiap saat. Sekali sebuah pola terbentuk, ia akan menjalani siklusnya sampai selesai setiap kali ia dipicu. Masalah muncul ketika pola yang terbentuk sejak dulu ini sudah tidak lagi sesuai dengan konteks hidup kita saat ini. Mengubahnya menuntut kecerdikan yang mampu secara bertahap mengalihkan pola lama menjadi pola baru yang kita inginkan. Inilah inti dari change management.
Ibarat mengendarai sebuah mobil, Anda tentu bisa membayangkan akibat yang muncul jika secara tiba-tiba Anda membelokkan kemudi secara drastis, kan? Ini pulalah prinsip perubahan dalam NLP: perubahan itu menyakitkan hanya jika proses transisinya tidak direncanakan dengan baik, resistence indicates the lack of rapport. Nah, proses transisi inilah yang dinamakan pacing dan leading dalam NLP. Pacing adalah proses menyelaraskan dan memahami pola lama (baik dalam konteks diri sendiri maupun orang lain), sedangkan leading adalah proses mengarahkan pola lama kepada pola baru yang kita inginkan.
Sebuah pertanyaan muncul: Apa bedanya pacing dengan rapport tadi? Bukankah dalam rapport juga terdapat pemahaman?
Pacing adalah prosesnya, dan rapport adalah indikatornya. Anda boleh berusaha menyelaraskan diri sebaik mungkin dengan orang lain, namun sampai Anda berhasil membangun rapport Anda tidak akan bisa melakukan leading. Pernah memiliki radio analog? Nah, pacing adalah proses pencarian frekuensi gelombang radio yang tepat, dan rapport adalah koneksi yang terbangun ketika Anda menemukan gelombang tersebut dan karenanya dapat menikmati lagu kesukaan Anda.
OK, inilah peta perjalanan kita untuk menjadi seorang praktisi NLP. Sembari membaca kembali, merenungkan dengan mengatakan kepada diri sendiri ”Ini adalah jalan saya”, dan merasakan sinyal-sinyal kesuksesan muncul dari perasaan Anda, putuskan sekarang juga untuk memulai langkah pertama