Apa yang muncul dalam benak Anda jika saya berkata, “Kemarin adalah hari yang indah”?
Bayangan pengalaman menyenangkan yang pernah Anda alami dan Anda anggap indah? Imajinasi suatu hari Anda bersama seseorang yang Anda merasa akan indah? Ucapan seorang kawan yang pernah mengatakan hal yang sama kepada Anda? Pengalaman Anda memakan makanan favorit yang sudah lama sekali Anda inginkan dan akhirnya kesampaian? Sebuah tempat yang pernah Anda kunjungi dan masih teringat-ingat sampai sekarang?
Wow! Sebuah kemungkinan jawaban yang tak terbatas, bukan? Hanya dengan bermodalkan sebuah kalimat sederhana, saya berhasil mengajak Anda untuk berkeliling sejenak ke dalam lautan ingatan yang Anda miliki sejauh umur Anda hingga saat ini. Tidakkah ini luar biasa?
Well, inilah keajaiban pikiran manusia, sekaligus keajaiban bahasa sebagai sebuah kode yang hampir tidak pernah kita lepaskan dalam kehidupan kita sehari-hari. Menggunakan istilah linguistik, ia adalah proses transderivational search atau biasa disingkat sebagai TDS alias sebuah proses pencarian ke ’dalam’ akibat sebuah stimulus yang diberikan kepada pikiran kita. Dengan kata lain, we cannot NOT communicate sebab pikiran kita secara otomatis akan merespon dengan mencari ingatan yang sesuai setiap kali sebuah stimulus datang menghampiri.
Sisi lain, sebuah keajaiban ternyata juga memiliki sisi gelap sebagai sebuah kutukan pula.
Loh, kok bisa?
Tentu bisa, karena dalam proses TDS, otak kita secara refleks akan mencari hal-hal yang paling mudah untuk ditemukan alih-alih berpikir secara logis mencari hal-hal yang paling sesuai maknanya dengan stimulus yang datang.
Tengok saja kembali kalimat di atas. Anda yang sedang jatuh cinta tentu akan begitu mudah memunculkan ingatan tentang sebuah hari yang indah ketika Anda sedang bersama sang kekasih, bukan? Lain lagi bagi Anda yang sedang senang-senangnya karena baru saja mendapat promosi jabatan. Hari yang indah bagi Anda jelas adalah hari ketika Anda menerima pengumuman promosi itu, yang hingga sekarang masih terasa baru kemarin terjadi.
Nah, menjadi kutukan ketika TDS ini terjadi pada saat seperti ini:
Seorang pelanggan menelepon Anda dan berkata dengan kesal, ”Ah, akhirnya diangkat juga. Kenapa sih kalau saya telepon selalu tidak diangkat?”
Atau, pasangan Anda mengatakan, ”Kamu selalu terlambat. Kamu sudah tidak sayang lagi ya?”
Nah lo. Apa yang biasanya muncul dalam benak Anda jika mendengar yang seperti ini? Kebingungan? Kecemasan? Rasa kesal? Campur aduk?
Dan bagaimana Anda akan merespon? Marah dan membentak balik? Mengaku bersalah dan menjadi terdakwa?
Di sinilah teknik NLP yang bernama Meta Model menjadi penting untuk dikuasai. Bahkan, setelah menemukan berbagai model untuk berbagai keperluan, Richard Bandler mengatakan bahwa Meta Model adalah modul terpenting dalam NLP. Meskipun saya belum sempat berdiskusi langsung dengan Bandler mengenai hal ini, saya merasa menemukan alasan ia mengatakan demikian.
Meta Model is a Magic!
Masih ingat kan sejarah NLP tentang Meta Model? Jikalau Anda lupa, silakan lihat di artikel berikut ini, karena saya tidak akan mengulanginya kembali di sini.
Pertama kali mempelajari Meta Model, saya tidak terlalu terkesima dengannya. ”Hanya teknik klarifikasi, apa istimewanya?” Demikian sebuah pertanyaan yang pernah terlontar dalam hati ketika saya baru saja mempelajarinya. Namun, seiring dengan meningkatnya pelajaran NLP saya, ternyata saya salah besar! Yap, Meta Model adalah magic, seperti judul buku yang pertama kali membahas tentangnya, The Structure of Magic.
Bagaimana mungkin?
Jawabannya amat berkait dengan fenomena TDS tadi. Sebuah stimulus, seperti apapun bentuknya, akan tetap memiliki efek untuk memicu pikiran kita mencari ingatan yang sesuai dengannya. Masalahnya, kita seringkali berperilaku berdasarkan respon terhadap ingatan yang ditemukan itu. Padahal, ingatan tersebut belum tentu tepat sama dengan apa yang dimaksudkan oleh lawan bicara kita.
Tidak percaya? Nih, saya tes lagi. Apa yang muncul jika saya berkata, ”Rumah saya adalah tempat yang amat nyaman untuk ditinggali”?
Meskipun Anda belum pernah berkunjung ke rumah saya, saya yakin pikiran Anda tetap akan memunculkan sebuah rumah yang nyaman untuk ditinggali. Nah, masalahnya, rumah siapa kah itu? Tanpa klarifikasi, kita pun mengobrol lebih lanjut tentang ’rumah’ tersebut dan berujung pada debat kusir tentang ’rumah yang nyaman’.
Apa pasal? People respond to their internal map, not to the reality itself. Tanpa sebuah klarifikasi, sebuah komunikasi hanya akan memunculkan kesalahpahaman dan perseteruan karena setiap orang hakikatnya tidak sedang berkomunikasi satu sama lain, melainkan berkomunikasi dengan ’internal map’ mereka masing-masing.
Nah, seperti apa bentuk dari Meta Model itu? Tunggu artikel berikutnya, OK
Bayangan pengalaman menyenangkan yang pernah Anda alami dan Anda anggap indah? Imajinasi suatu hari Anda bersama seseorang yang Anda merasa akan indah? Ucapan seorang kawan yang pernah mengatakan hal yang sama kepada Anda? Pengalaman Anda memakan makanan favorit yang sudah lama sekali Anda inginkan dan akhirnya kesampaian? Sebuah tempat yang pernah Anda kunjungi dan masih teringat-ingat sampai sekarang?
Wow! Sebuah kemungkinan jawaban yang tak terbatas, bukan? Hanya dengan bermodalkan sebuah kalimat sederhana, saya berhasil mengajak Anda untuk berkeliling sejenak ke dalam lautan ingatan yang Anda miliki sejauh umur Anda hingga saat ini. Tidakkah ini luar biasa?
Well, inilah keajaiban pikiran manusia, sekaligus keajaiban bahasa sebagai sebuah kode yang hampir tidak pernah kita lepaskan dalam kehidupan kita sehari-hari. Menggunakan istilah linguistik, ia adalah proses transderivational search atau biasa disingkat sebagai TDS alias sebuah proses pencarian ke ’dalam’ akibat sebuah stimulus yang diberikan kepada pikiran kita. Dengan kata lain, we cannot NOT communicate sebab pikiran kita secara otomatis akan merespon dengan mencari ingatan yang sesuai setiap kali sebuah stimulus datang menghampiri.
Sisi lain, sebuah keajaiban ternyata juga memiliki sisi gelap sebagai sebuah kutukan pula.
Loh, kok bisa?
Tentu bisa, karena dalam proses TDS, otak kita secara refleks akan mencari hal-hal yang paling mudah untuk ditemukan alih-alih berpikir secara logis mencari hal-hal yang paling sesuai maknanya dengan stimulus yang datang.
Tengok saja kembali kalimat di atas. Anda yang sedang jatuh cinta tentu akan begitu mudah memunculkan ingatan tentang sebuah hari yang indah ketika Anda sedang bersama sang kekasih, bukan? Lain lagi bagi Anda yang sedang senang-senangnya karena baru saja mendapat promosi jabatan. Hari yang indah bagi Anda jelas adalah hari ketika Anda menerima pengumuman promosi itu, yang hingga sekarang masih terasa baru kemarin terjadi.
Nah, menjadi kutukan ketika TDS ini terjadi pada saat seperti ini:
Seorang pelanggan menelepon Anda dan berkata dengan kesal, ”Ah, akhirnya diangkat juga. Kenapa sih kalau saya telepon selalu tidak diangkat?”
Atau, pasangan Anda mengatakan, ”Kamu selalu terlambat. Kamu sudah tidak sayang lagi ya?”
Nah lo. Apa yang biasanya muncul dalam benak Anda jika mendengar yang seperti ini? Kebingungan? Kecemasan? Rasa kesal? Campur aduk?
Dan bagaimana Anda akan merespon? Marah dan membentak balik? Mengaku bersalah dan menjadi terdakwa?
Di sinilah teknik NLP yang bernama Meta Model menjadi penting untuk dikuasai. Bahkan, setelah menemukan berbagai model untuk berbagai keperluan, Richard Bandler mengatakan bahwa Meta Model adalah modul terpenting dalam NLP. Meskipun saya belum sempat berdiskusi langsung dengan Bandler mengenai hal ini, saya merasa menemukan alasan ia mengatakan demikian.
Meta Model is a Magic!
Masih ingat kan sejarah NLP tentang Meta Model? Jikalau Anda lupa, silakan lihat di artikel berikut ini, karena saya tidak akan mengulanginya kembali di sini.
Pertama kali mempelajari Meta Model, saya tidak terlalu terkesima dengannya. ”Hanya teknik klarifikasi, apa istimewanya?” Demikian sebuah pertanyaan yang pernah terlontar dalam hati ketika saya baru saja mempelajarinya. Namun, seiring dengan meningkatnya pelajaran NLP saya, ternyata saya salah besar! Yap, Meta Model adalah magic, seperti judul buku yang pertama kali membahas tentangnya, The Structure of Magic.
Bagaimana mungkin?
Jawabannya amat berkait dengan fenomena TDS tadi. Sebuah stimulus, seperti apapun bentuknya, akan tetap memiliki efek untuk memicu pikiran kita mencari ingatan yang sesuai dengannya. Masalahnya, kita seringkali berperilaku berdasarkan respon terhadap ingatan yang ditemukan itu. Padahal, ingatan tersebut belum tentu tepat sama dengan apa yang dimaksudkan oleh lawan bicara kita.
Tidak percaya? Nih, saya tes lagi. Apa yang muncul jika saya berkata, ”Rumah saya adalah tempat yang amat nyaman untuk ditinggali”?
Meskipun Anda belum pernah berkunjung ke rumah saya, saya yakin pikiran Anda tetap akan memunculkan sebuah rumah yang nyaman untuk ditinggali. Nah, masalahnya, rumah siapa kah itu? Tanpa klarifikasi, kita pun mengobrol lebih lanjut tentang ’rumah’ tersebut dan berujung pada debat kusir tentang ’rumah yang nyaman’.
Apa pasal? People respond to their internal map, not to the reality itself. Tanpa sebuah klarifikasi, sebuah komunikasi hanya akan memunculkan kesalahpahaman dan perseteruan karena setiap orang hakikatnya tidak sedang berkomunikasi satu sama lain, melainkan berkomunikasi dengan ’internal map’ mereka masing-masing.
Nah, seperti apa bentuk dari Meta Model itu? Tunggu artikel berikutnya, OK