Coaching is not enough? Ya, saat saya
bingung menentukan judul apa untuk artikel ini, tiba-tiba diingatkan sebuah film
yang berjudul The World Is Not Enough. Sebagian dari anda tentu pernah
menontonnya bukan? Dan juga sepertinya pertama-tama saya perlu mengucapkan
terima kasih buat mas Teddi P. Yuliawan karena dia yang memotivasi saya untuk
mulai menulis artikel kembali setelah ngobrol santai kami di whatsapp.
Well, coaching sepertinya sedang
booming saat ini di Indonesia. Beberapa coaching school berdiri,
beberapa Coach Trainer kelas dunia mulai melirik Indonesia sebagai salah
satu negara tempat mereka mengadakan pelatihan. Beberapa orang yang berada di
bisnis pengembangan SDM mulai menyebut menambahkan kata Coach di kartu
nama mereka, terlepas mereka memang benar-benar pernah mempelajari
coaching dan menggunakan metode coaching dalam membantu kliennya.
Dan apa yang tulis ini adalah pandangan saya
dalam perspektif pribadi, 100% benar dalam persepsi saya dan belum tentu seperti
itu dalam pandangan anda sebagai pembaca artikel ini. Dan saya tidak ingin
terlibat dalam debat kusir tak berujung mengenai persepsi ini.
Indonesia sedang mengalami euforia
coaching saat ini. Kalau kita sedikit menengok kebelakang, saya ingat
Indonesia pernah mengalami masa di mana kata Motivator menjadi
trend. Banyak orang yang berlomba-lomba menyebut dirinya dengan sebutan
ini dengan berbagai model. Kemudian era tersebut beralih, banyak orang yang
berda dalam bisnis ini menyebut dirinya sebagai Konsultan. Lalu beberapa tahun
yang lalu sebutan Terapis dan sejenisnya menjadi trend dan kini
sepertinya sebutan Coach mulai memasuki eranya. Dalam kacamata bisnis,
menurut saya sih sah-sah saja.
Dengan munculnya coaching sebagai sebuah
trend baru di Indonesia. Saya percaya Coaching School yang
mengajarkan coaching yang benar menurut standar yang disepakati oleh
Federasi Coach Dunia seperti ICF akan banyak bermunculan di Indonesia
karena ini akan menjadi bisnis yang sangat menarik dan mendatangkan
profit yang menjanjikan.
Dan dengan banyaknya orang-orang yang akan
mempelajari coaching yang terstandarisasi, saya berharap kedepannya
semoga lebih banyak orang yang tahu jawaban jika suatu ketika ditanya dengan
pertanyaan “Apa perbedaan peran Motivator dan Coach?” atau “Apa
perbedaan peran Trainer dan Coach” atau juga “Apa perbedaan peran
Terapis dan Coach?” dan mampu melakukan coaching sesuai dengan
metode coaching bukan lainnya.
Nah, sekarang saya ingin menyampaikan apa yang
ingin saya sampaikan di artikel ini. dan saya akan membahas topik ini dari sudut
pandang profesi saya sebagai seorang Executive Coach. Jadi pengamatan
saya adalah fenomena yang terjadi di Perusahaan yang menjadi klien saya yang
belum tentu mewakili populasi Perusahaan di Indonesia.
Saat ini Perusahaan mulai tergila-gila dengan
coaching. Mereka mulai berlomba-lomba menjadikan coaching sebagai
tools maha ampuh untuk mengembangkan sumber daya manusia Perusahaan.
Mereka menggunakan coaching untuk semua hal yang berkaitan dengan
pengembangan SDM. Hasilnya? Implementasi coaching yang gagal. Mereka
kecewa karena coaching tidak berhasil menjadi obat yang ampuh bagi
Perusahaannya. Nantikan Video Book saya yang akan membahas tentang “6
Kesalahan Perusahaan Saat Implementasi Coaching di Perusahaan”. Jika anda
beruntung anda mungkin akan mendapatkannya secara GRATIS.
Mengapa demikian? Karena coaching tidak
dapat berdiri sendiri. Begitu banyak Manager menganggap semua hal dapat
diselesaikan dengan coaching. Mungkin mereka begitu terpengaruh dengan
apa yang mereka terima di kelas Coaching Training yang menceritakan
betapa hebat dan kerennya coaching itu.
Coaching memang hebat dan keren, TAPI
coaching bergantung pada metode yang lainnya. Coaching tidak dapat
berdiri sendiri. Tidak semua tantangan di dalam Perusahaan dapat selesai dengan
coaching. Seorang Manager perlu mampu menjalani beberapa peran
dalam tugasnya sebagai seorang Manager. Mereka perlu dan butuh mampu
menjadi seorang Coach tetapi juga mereka perlu menjadi seorang
Trainer bagi timnya. Perlu juga menjadi Mentor, Konsultan atau
bahkan menjadi Konselor/Terapis bagi timnya. Tidak hanya itu seorang
Manager tetap WAJIB menjalankan fungsinya sendiri sebagai seorang
Manager yang perlu mengambil keputusan pahit dan tidak populer di dalam
waktu yang sempit, dimana coaching bukan pilihan tools yang tepat
untuk itu.
Saya menulis artikel ini berharap anda yang
membacanya memiliki pemahaman yang lain tentang coaching karena jika anda
sebagai Manager di dalam Perusahaan menjadikan coaching sebagai
satu-satunya tools pengembangan SDM di Perusahaan anda, TANPA memberikan
kesempatan kepada teknik development yang lain untuk berjalan beriringan,
berdasarkan pengalaman saya hampir pasti biaya yang dikeluarkan akan menjadi
sangat besar dan juga muncul biaya intangible yang perlu ditanggung
seperti semakin skeptisnya beberapa Manager karena coaching yang
katanya hebat dan keren seperti yang didemonstrasikan di kelas training
tetapi amat sangat tumpul di praktek yang sebenarnya.
So, menutup tulisan saya ini. Saya percaya
coaching adalah tools yang amat sangat powerful jika
penggunanya tahu dimana dan kapan waktu yang tepat mulai melakukannya, kepada
siapa yang perlu di coaching dan kepada siapa yang belum saatnya di
coaching. Selamat membudayakan Coaching di Indonesia.