Kita menggunakan frase
‘bekerja banting tulang’ untuk menggambarkan kerja keras yang kita lakukan.
Kita, sudah bekerja hingga di batas tertinggi yang bisa kita lakukan.
Demikianlah makna frase itu kira-kira. Pertanyaannya adalah; apakah kita
benar-benar mengetahui dimana batas kemampuan kita dalam bekerja?
Kalau saya pribadi sih, belum benar-benar tahu; dimana sih batas kemampuan saya dalam bekerja ini. Meskipun saya pernah dicap sebagai seorang gila kerja. Pernah merangkap hingga tiga jabatan dalam satu periode yang sama. Datang sebelum jam 7 pagi ke kantor. Makan siang diruang kerja. Dan pulang nyaris larut malam.
Saya tetap tidak tahu, dimana batas kemampuan kerja saya. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda mengetahui batas kemampuan Anda bekerja?
Kalau saya pribadi sih, belum benar-benar tahu; dimana sih batas kemampuan saya dalam bekerja ini. Meskipun saya pernah dicap sebagai seorang gila kerja. Pernah merangkap hingga tiga jabatan dalam satu periode yang sama. Datang sebelum jam 7 pagi ke kantor. Makan siang diruang kerja. Dan pulang nyaris larut malam.
Saya tetap tidak tahu, dimana batas kemampuan kerja saya. Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda mengetahui batas kemampuan Anda bekerja?
Saya belum pernah bertemu
orang yang memiliki jawaban akurat atas pertanyaan itu. Yang sering saya temui
adalah orang-orang yang merasa sudah bekerja maksimal. Baru ‘merasa’ lho.
Sehingga kita, mengenal istilah ‘kerja banting tulang’ itu. Bahkan jika kita
menggunakan indera perasa alias sensing atau feeling terhadap frase itu, maka
kita akan merasakan adanya konotasi energy penuh tekanan dari hanya mendengar
atau mengucapkan frase itu. Jika Anda berkata ‘saya sudah kerja banting tulang’,
apakah suasana mental Anda cenderung positif atau negatif? Ketika mengucapkan
kalimat itu, Anda merasa bahagia atau sebaliknya? Apakah dengan mengatakannya
Anda menjadi semakin termotivasi untuk mengerjakan lebih banyak atau
mengharapkan bisa berhenti setidaknya barang sejenak?
Mungkin kita punya
tingkatan sensitivitas perasaan yang berbeda. Namun saya yakin, kita bisa
merasakan hal yang sama. Yaitu kesan mental bahwa frase itu cenderung membawa
energy pasif atau bahkan negatif dibandingkan dengan peluangnya dalam mendorong
kita untuk lebih aktif dan mendapatkan enegy positif. Jika merasa sudah bekerja
banting tulang, mengapa mesti bekerja lebih banyak lagi, bukan?
Padahal. Kita. Tidak
benar-benar tahu. Dimana sesungguhnya batas kemampuan kita dalam bekerja.
Sungguh sahabatku, meskipun kita sudah bekerja ‘habis-habisan’; belum tentu kita
sudah bekerja hingga dibatas tertinggi kemampuan yang kita miliki. Percaya deh.
Kemampuan Anda dalam bekerja itu, jauh melampaui apa yang sudah Anda lakukan
selama ini. Ada bukti yang mendukung pernyataan itu? Banyak. Misalnya begini.
Anda berada pada satu posisi tertentu. Sebagai seorang pekerja handal, Anda
merasa sudah bekerja banting tulang. Bekerja semaksimal yang Anda bisa. Arti
maksimal itu kan semua kemampuan sudah dikerahkan demi dedikasi pada pekerjaan
itu.
Suatu saat, Anda
dihadapkan pada posisi yang cukup berat. Diberi penugasan yang lebih banyak. Dan
diberi tanggungjawab yang lebih besar. Maka sejak saat itu, Anda mesti bekerja
lebih giat dan lebih keras lagi. Lantas apa yang terjadi? Eh, ternyata Anda bisa
ya? Itu menunjukkan bahwa apa yang Anda sebut sebagai ‘sudah bekerja maksimal’
tahun lalu itu sebenarnya sama sekali tidak benar. Maksimalnya Anda tahun lalu
itu sudah dilampaui oleh ‘kerja maksimal’ Anda tahun ini dengan tugas, pekerjaan
dan tanggungjawab yang lebih banyak, lebih besar, dan lebih berat dari
sebelumnya.
Benarkan? Anda belum
sampai ke batas kemampuan yang sesungguhnya? Itu, baru contoh biasa. Sekarang
izinkan saya menyampaikan contoh yang ekstrim. Saya ingin bertanya pada Anda:
“Di kantor Anda, Adakah orang yang bekerja sedemikian kerasnya hingga meninggal
dunia?” Saya yakin tidak ada. Dan itu artinya, tidak ada orang yang benar-benar
sudah bekerja hingga melewati batas kemampuan tertingginya. Lho, kok bisa
disimpulkan begitu? Iya dong. Bukankah kita suka berkata ‘sampai titik darah
penghabisan’ untuk menggambarkan komitmen tertinggi kita kepada sesuatu? Jadi,
jika masih ada tersisa setetes darah yang mengalir dalam urat nadi kita berarti
kita belum mencapai batas tertinggi itu.
Oh. Maaf. Dulu sekali,
ada sahabat saya yang meninggal saat bertugas. Seorang salesman. Mengendarai
sepeda motornya. Lalu tertabrak oleh sebuah mobil yang melaju kencang. Jiwanya
tidak tertolong. Kami semua berduka atas kejadian itu. Mengenang sahabat.
Sekaligus memikirkan resiko yang mesti kami hadapi selama menjalankan pekerjaan
ini.
Anda juga mungkin pernah
mendengar insiden di pabrik yang menyebabkan karyawan meninggal dunia. Misalnya,
pada tanggal 20 Januari 2004 silam, dunia kerja kita dikejutkan oleh kebakaran
di sebuah pabrik kimia hingga puluhan karyawan terluka dan 2 orang diantaranya
meninggal termasuk direktur produksinya. Dikantor Anda, mungkin juga ada orang
yang meninggal dunia. Mungkin. Saya tidak tahu pasti.
Berarti ada ya orang yang
bekerja sedemikian kerasnya hingga meninggal dunia? Tidak. Semua yang kita
ceritakan itu adalah ‘kecelakaan’ kerja. Bukan bekerja terlampau keras sehingga
meninggal dunia. Anda, tentu dapat melihat perbedaannya bukan? Mari perhatikan.
Kenyataannya, kita tidak harus bekerja hingga meninggal dunia untuk bisa
mengerahkan semua kemampuan hingga dibatas tertingginya.
Tahu kenapa? Karena kita,
belum benar-benar mengerahkan seluruh kemampuan yang kita miliki ini. Meskipun
kita gemar sekali mengatakan;”Gue kurang apa lagi coba? Semuanya sudah gue
lakukan?!” Tetap saja kita belum bekerja sampai dibatas tertinggi kemampuan
kita. Benar? Tentu benar. Bahkan ketika kita mengatakan “Gue kerja sampai kepala
jadi kaki, dan kaki jadi kepala!” Kita. Belum sampai dibatas kemampuan kerja
itu.
Sengaja saya menunjukkan
contoh ekstrim itu, sahabatku. Supaya kita semakin sadar betapa selama ini
begitu banyak potensi diri yang belum kita daya gunakan. Kita. Masih sering
membatasi kerja keras kita dengan jumlah rupiah yang kita dapatkan dari kantor.
Kita merasa rugi jika mesti bekerja ekstra. Sepertinya perusahaan untung. Dan
kita tidak dapat apa-apa. Maka jadilah kita orang yang hanya mau bekerja
seadanya saja. Sesuai dong dengan bayaran yang kita terima. Dan kita, tidak
menyadari bahwa sikap seperti itu hanya menjadikan kita ahli dalam hal
menyia-nyiakan kapasitas diri yang kita miliki.
Sahabatku. Jika kita
bekerja hanya dengan batasan uang, maka kita bisa menjadi pribadi yang kerdil.
Memang wajar, jika kita kecewa dengan bayaran kecil yang saat ini kita dapatkan.
Namun bayaran besar yang kita dambakan itu justru akan semakin menjauh, jika
kita bekerja hanya seadanya saja. Bukan bayaran besar yang duluan datang
sahabatku. Tetapi pembuktian yang bisa kita tunjukkan yang mesti muncul lebih
dahulu.
Sekarang coba Anda
perhatikan. Ketika kita bekerja untuk menantang diri hingga dibatas mana
kemampuan kerja tertinggi kita itu – bukan untuk sekedar memenuhi kewajiban
setara dengan sejumlah uang. Maka kita, bisa menjadi manusia yang ‘seutuhnya’
dalam definisi apapun. Dimata atasan, kita dinilai bagus. Dimata kolega, kita
pun diakui sebagai professional yang tangguh. Dan dimata Tuhan. Kita termasuk
orang yang menghargai anugerah yang telah diberikanNya berupa keunggulan pribadi
yang boleh jadi; tidak dimiliki oleh orang lain.
Sahabatku. Silakan simak
perilaku para pekerja professional di sekitar Anda. Berapa banyak yang datang ke
kantor untuk sekedar memenuhi kewajiban standarnya saja. Dan berapa banyak yang
sedemikian bergairahnya untuk menjelajahi kemampuan tertinggi yang dimilikinya
dalam bekerja. Sungguh. Hanya sedikit pekerja yang menyadari bahwa kantor mereka
adalah tempat terbaik untuk melakukan berbagai eksperimen dalam pendakian hingga
ke puncak kapasitas dirinya sendiri. Dan karena jumlah mereka yang sedikit itu,
maka mereka mudah terlihat. Dan mereka, bersinar seperti bintang kejora yang
berkerlap-kerlip. Semakin gelap gulita malam menyelimuti langit, semakin
cemerlang sang kejora terlihat. Sehingga merekalah yang kemudian mendapatkan
lebih banyak manfaat. Lebih beragam kesempatan. Dan lebih besar tanggungjawab
dimasa depan.
Sungguh sahabatku. Kita
tidak akan pernah mengetahui sampai dimana batas kemampuan tertinggi kita dalam
bekerja. Jika kita, membatasi kerja keras dan dedikasi kita dengan waktu, uang,
pujian, atau imbalan yang kita dapatkan. Bekerja. Bukan sekedar untuk
mendapatkan uang dan berbagai imbalan. Karena bekerja, merupakan momen yang
sempurna untuk mengetahui batas kemampuan kita yang sesungguhnya. Oleh karena
itu sahabatku, teruslah mengeksplorasi kemampuan kerja Anda. Agar bisa mencapai
tingkatan tertingginya.
Sekarang, ijinkan saya
bertanya;”Dimana batas kemampuan bekerja Anda?”
Sungguh. Kita tidak akan
pernah tahu dimana batasnya itu, selama tidak menyelidikanya sendiri. Tidak
menjadikan diri kita pekerja yang tangguh. Enggan menunjukkan dedikasi terbaik
kepada perusahaan. Kita, mesti mengeksplorasinya sendiri untuk tahu dimana
batasan itu. Karena seperti yang difirmankan Tuhan kepada Rasulullah dalam surah
39 (Az-Zumar) ayat 39 :”Katakanlah Muhammad” demikian Tuhan
memerintahkan Sang Nabi, untuk menyampaikan kepada umatnya wahyu ini:
”Wahai kaumku. Bekerjalah sesuai dengan keadaanmu. Sesungguhnya Allah pun
bekerja pula. Kelak, kamu akan mengetahui.”
Dalam pemahaman saya yang awam ini. Jelas sekali jika
bekerja itu bukanlah untuk mematuhi perintah atasan. Bukan untuk memenuhi
penugasan dari perusahaan. Bukan pula untuk sekedar mendapatkan sejumlah
imbalan. Bekerja menurut firman itu adalah mentaati perintah Tuhan dengan
sepenuh kesungguhan. Jika kita bekerja karena ketaatan kepada Tuhan, mana
mungkin kita berani bekerja asal-asalan? Sebab ternyata, bukan hanya kita yang
bekerja. Tuhan pun bekerja. Dan seperti yang Tuhan janjikan; jika gigih kita
dalam mengeksplorasi batas kemampuan dalam bekerja, maka Tuhan akan memberi tahu
kita; lebih banyak lagi tentang kemampuan kita yang selama ini masih tersembunyi
itu. Karenanya, jika dan hanya jika bersedia mencobanya saja, kita akan tahu
dimana batasnya, bukan?
Jadi, dimana batas kemampuan bekerja Anda? Jawbannya hanya
bisa Anda ketahui jika terus gigih dan bersungguh-sungguh dalam bekerja. Karena
ketika kita bersungguh-sungguh dalam bekerja, Tuhan pun bekerja untuk
memberitahu kita; hal-hal yang selama ini belum kita ketahui. Pantaslah jika
pengetahuan. Keterampilan. Dan kemahiran. Menjadi milik mereka yang terus
menyibukkan dirinya sendiri. Melalui penugasan dan pekerjaan yang sulit, lagi
menantang. Karena dengan kesibukan itu, dia membuka jalan Tuhan; untuk
menujukinya sesuatu. Yang selama ini belum diketahuinya. Yaitu. Potensi diri
tertinggi. Yang dimilikinya. Insya Allah.