Silakan mengambil posisi duduk yang nyaman bagi Anda. Pejamkan mata, dan ikuti instruksi berikut ini.
Ingat-ingatlah sebuah kejadian menyenangkan yang Anda alami baru-baru ini. Anda bisa melihatnya dengan jelas? Bagus. Sekarang, perhatikan dengan lebih detil gambaran pengalaman tersebut. Gambaran tersebut berwarna atau hitam putih? Tiga dimensi atau datar seperti sebuah foto? Anda ada di dalam gambaran dan menjadi bagian di dalamnya atau Anda adalah penonton yang menyaksikan kejadian tersebut? Apakah gambaran tersebut bergerak seperti sebuah film atau diam? Apakah ia terlihat terang atau gelap, suram, atau di antara keduanya? Apakah gambaran tersebut fokus atau tidak?
Sekarang, dengarkan suara yang muncul dari pengalaman itu. Suara tersebut keras atau lembut? Bagaimana dengan nada suaranya, tinggi atau rendah? Dari manakah asalnya suara tersebut? Terdengar cepat atau lambatkah ia?
Selanjutnya, rasakan kinestetik yang muncul. Seberapa besarkah intensitas yang muncul dari pengalaman tersebut? Adakah Anda merasakan adanya tekstur, berat, bentuk, atau suhu tertentu darinya? Di bagian tubuh Anda yang manakah Anda merasakannya? Adakah aroma atau rasa (dari lidah) yang muncul darinya?
Selamat datang di Pintu Persepsi bagian ketiga! Melanjutkan kedua bahasan yang lalu, pada tulisan kali ini—bagian akhir dari basic rep system—saya akan mengajak Anda untuk mendiskusikan pengalaman yang baru saja Anda lewati pada latihan di atas. Ia adalah submodality. Secara singkat, submodalitas adalah kualitas yang dapat dihasilkan oleh rep system kita. Lebih dalam dari sekedar visual, audio, atau pun kinestetik, submodalitas memungkinkan kita untuk merasakan ‘warna’ yang dimunculkan oleh pengalaman kita. Hitam putih-berwarna, tiga-dua dimensi, bergerak-diam, terang-gelap, dll adalah kualitas yang dapat dihasilkan oleh rep system visual. Suara keras-lembut, nada tinggi-rendah, suara dari jauh-dekat, cepat-lambat, dll adalah kualitas dari rep system auditori. Sementara intentitas, tekstur, berat, bentuk, suhu, dll adalah kualitas dari rep system kinestetik.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan dengan submodalitas ini?
Amat banyak. Cobalah lakukan kembali latihan pertama di atas dan catat kualitas yang ada pada pengalaman menyenangkan Anda. Setelah itu, ikuti latihan berikut ini.
Pikirkan sebuah pengalaman paling menyedihkan yang pernah Anda alami. Sudah? Sip. Alami kembali pengalaman tersebut dan cermati submodalitasnya. Bagaimana kualitas visualnya? Bagaimana pula kualitas audio-nya? Rasakan kualitas kinestetiknya.
OK, coba tuliskan kualitas dari pengalaman menyedihkan Anda. Jika sudah, bandingkan dengan kualitas dari pengalaman menyenangkan Anda.
Anda bisa melihat perbedaannya, bukan?
Inilah salah satu penemuan besar dalam NLP: setiap jenis pengalaman dikode oleh otak kita dengan kualitas yang berbeda-beda. Pengalaman buruk-baik, menyedihkan-menyenangkan, menakutkan-menggairahkan, dll direpresentasikan dengan kualitasnya masing-masing dalam pikiran kita. Nah, penemuan besar kedua yang lebih penting: kita dapat mengubah kualitas dari pengalaman yang ada dalam pikiran kita dan karenanya mengubah pula efek yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut.
Nah, bagi Anda yang sudah melakukan latihan kedua di atas, cobalah otak-atik submodalitas yang ada dalam pengalaman Anda tersebut. Caranya, Anda ganti saja submodalitas yang ada dengan kebalikannya. Misalnya, jika ia hitam-putih gantilah ia dengan warna-warni ceria, gambar diam menjadi bergerak, fokus menjadi kabur, kecilkan suara yang keras, percepat suara yang lambat, dan ganti lagu yang menyeramkan dengan lagu yang lucu. Sudah?
Nah, cobalah rasakan efek emosionalnya sekarang. Anda bisa merasakan perubahannya, kan? Inilah yang dimaksud oleh salah satu presuposisi NLP sebagai “the map is not the territory”. Wilayahnya tidak pernah berubah, makna yang kita berikan kepada wilayah itulah yang senantiasa bisa berubah. Memakai istilah lain yang sering saya kemukakan: pengalaman bukanlah kejadian yang kita alami, melainkan makna yang kita berikan kepada kejadian tersebut. NLP memberikan gambaran praktis bagaimana prinsip ini bekerja.
Well, untuk menghasilkan perubahan yang permanen memang tidak semudah ini prosesnya. Namun demikian, cobalah dulu latihan seperti ini beberapa kali sehingga Anda bisa menggunakannya dengan cukup smooth. Langkah ini penting, karena memang inilah dasar dari berbagai teknik-teknik praktis NLP yang akan kita bahas dalam artikel-artikel selanjutnya. Untuk saat ini, cukup pahami bahwa apa yang ada dalam pikiran Anda hanyalah peta yang bisa Anda ubah sesuai keinginan Anda. So, let’s run our own brain!
Ingat-ingatlah sebuah kejadian menyenangkan yang Anda alami baru-baru ini. Anda bisa melihatnya dengan jelas? Bagus. Sekarang, perhatikan dengan lebih detil gambaran pengalaman tersebut. Gambaran tersebut berwarna atau hitam putih? Tiga dimensi atau datar seperti sebuah foto? Anda ada di dalam gambaran dan menjadi bagian di dalamnya atau Anda adalah penonton yang menyaksikan kejadian tersebut? Apakah gambaran tersebut bergerak seperti sebuah film atau diam? Apakah ia terlihat terang atau gelap, suram, atau di antara keduanya? Apakah gambaran tersebut fokus atau tidak?
Sekarang, dengarkan suara yang muncul dari pengalaman itu. Suara tersebut keras atau lembut? Bagaimana dengan nada suaranya, tinggi atau rendah? Dari manakah asalnya suara tersebut? Terdengar cepat atau lambatkah ia?
Selanjutnya, rasakan kinestetik yang muncul. Seberapa besarkah intensitas yang muncul dari pengalaman tersebut? Adakah Anda merasakan adanya tekstur, berat, bentuk, atau suhu tertentu darinya? Di bagian tubuh Anda yang manakah Anda merasakannya? Adakah aroma atau rasa (dari lidah) yang muncul darinya?
Selamat datang di Pintu Persepsi bagian ketiga! Melanjutkan kedua bahasan yang lalu, pada tulisan kali ini—bagian akhir dari basic rep system—saya akan mengajak Anda untuk mendiskusikan pengalaman yang baru saja Anda lewati pada latihan di atas. Ia adalah submodality. Secara singkat, submodalitas adalah kualitas yang dapat dihasilkan oleh rep system kita. Lebih dalam dari sekedar visual, audio, atau pun kinestetik, submodalitas memungkinkan kita untuk merasakan ‘warna’ yang dimunculkan oleh pengalaman kita. Hitam putih-berwarna, tiga-dua dimensi, bergerak-diam, terang-gelap, dll adalah kualitas yang dapat dihasilkan oleh rep system visual. Suara keras-lembut, nada tinggi-rendah, suara dari jauh-dekat, cepat-lambat, dll adalah kualitas dari rep system auditori. Sementara intentitas, tekstur, berat, bentuk, suhu, dll adalah kualitas dari rep system kinestetik.
Lalu, apa yang dapat kita lakukan dengan submodalitas ini?
Amat banyak. Cobalah lakukan kembali latihan pertama di atas dan catat kualitas yang ada pada pengalaman menyenangkan Anda. Setelah itu, ikuti latihan berikut ini.
Pikirkan sebuah pengalaman paling menyedihkan yang pernah Anda alami. Sudah? Sip. Alami kembali pengalaman tersebut dan cermati submodalitasnya. Bagaimana kualitas visualnya? Bagaimana pula kualitas audio-nya? Rasakan kualitas kinestetiknya.
OK, coba tuliskan kualitas dari pengalaman menyedihkan Anda. Jika sudah, bandingkan dengan kualitas dari pengalaman menyenangkan Anda.
Anda bisa melihat perbedaannya, bukan?
Inilah salah satu penemuan besar dalam NLP: setiap jenis pengalaman dikode oleh otak kita dengan kualitas yang berbeda-beda. Pengalaman buruk-baik, menyedihkan-menyenangkan, menakutkan-menggairahkan, dll direpresentasikan dengan kualitasnya masing-masing dalam pikiran kita. Nah, penemuan besar kedua yang lebih penting: kita dapat mengubah kualitas dari pengalaman yang ada dalam pikiran kita dan karenanya mengubah pula efek yang ditimbulkan oleh pengalaman tersebut.
Nah, bagi Anda yang sudah melakukan latihan kedua di atas, cobalah otak-atik submodalitas yang ada dalam pengalaman Anda tersebut. Caranya, Anda ganti saja submodalitas yang ada dengan kebalikannya. Misalnya, jika ia hitam-putih gantilah ia dengan warna-warni ceria, gambar diam menjadi bergerak, fokus menjadi kabur, kecilkan suara yang keras, percepat suara yang lambat, dan ganti lagu yang menyeramkan dengan lagu yang lucu. Sudah?
Nah, cobalah rasakan efek emosionalnya sekarang. Anda bisa merasakan perubahannya, kan? Inilah yang dimaksud oleh salah satu presuposisi NLP sebagai “the map is not the territory”. Wilayahnya tidak pernah berubah, makna yang kita berikan kepada wilayah itulah yang senantiasa bisa berubah. Memakai istilah lain yang sering saya kemukakan: pengalaman bukanlah kejadian yang kita alami, melainkan makna yang kita berikan kepada kejadian tersebut. NLP memberikan gambaran praktis bagaimana prinsip ini bekerja.
Well, untuk menghasilkan perubahan yang permanen memang tidak semudah ini prosesnya. Namun demikian, cobalah dulu latihan seperti ini beberapa kali sehingga Anda bisa menggunakannya dengan cukup smooth. Langkah ini penting, karena memang inilah dasar dari berbagai teknik-teknik praktis NLP yang akan kita bahas dalam artikel-artikel selanjutnya. Untuk saat ini, cukup pahami bahwa apa yang ada dalam pikiran Anda hanyalah peta yang bisa Anda ubah sesuai keinginan Anda. So, let’s run our own brain!
Labels:
NLP