“Apa yang Anda tahu tentang rapport?” tanya seorang dosen saya di kampus dulu.
“Basa-basi Pak,” jawab beberapa orang.
“Hanya itu?” tanya dosen saya tadi sembari menunjukkan wajah sedikit keheranan.
“Ya, rapport itu kan misalnya waktu kita baru pertama kali bertemu dengan klien, lalu kita ajak dia bicara, tanya tentang kabarnya hari ini, dsb. Mirip basa-basi kalau kita ketemu sama orang baru,” jelas salah seorang dari rekan yang hadir waktu itu.
Well, sama dengan Anda, saya pun terheran-heran mendengar jawaban seperti ini muncul di kelas tingkat lanjut dari para mahasiswa fakultas psikologi. Namun demikian, kejadian ini menjawab pertanyaan saya selama beberapa kali menjadi asisten praktikum mata kuliah tes dan wawancara yang menuntut mahasiswa untuk berhubungan dengan orang yang baru saja mereka kenal.
Rapport dalam psikologi didefinisikan sebagai prosedur untuk membangun keakraban dalam proses komunikasi agar baik sender maupun receiver memiliki pandangan yang sama tentang hal yang dikomunikasikan sehingga proses komunikasi pun berjalan dengan efektif. Melengkapi definisi ini, NLP mengajarkan bahwa rapport adalah proses connection building agar antara pihak yang berkomunikasi berada dalam ‘gelombang’ yang sama. Tanpa rapport, kita ibarat seseorang yang memiliki keinginan untuk mencapai sebuah tempat di seberang sungai besar tanpa ada jembatan yang menjadi penghubung. Kita mungkin bisa mencapai tempat tersebut, namun tentu dengan effort yang cukup besar baik dengan cara berenang atau membuat rakit plus berjibaku dengan derasnya arus air. Memahami dan mengaplikasikan rapport akan menjadikan Anda seorang komunikator handal dengan hambatan resistensi minimal.
Nah, jika pada bahasan yang lalu kita sudah mempelajari prosedur dasar rapport building melalui sensory acuity, artikel kali ini akan menjelaskan proses kelanjutannya yang sudah sedikit saya singgung juga: matching dan mirroring.
Mempelajari NLP, saya menemukan bahwa proses membangun rapport sebenarnya berada pada level unconscious.
Tidak percaya? Bagus. Perhatikan dialog berikut ini.
“Salam kenal, saya Tommy.”
“Salam kenal juga, saya Andre. Mas Tommy dari mana Mas?”
“Oh, saya dari PT. Sumber Maju.”
“Wah, Sumber Maju? Saya punya kenalan tuh disana, namanya Santy. Mas Tommy kenal?”
“Ya jelas kenal. Kita kan satu lantai meskipun beda departemen. Mas Andre kenal dia dimana?”
“Santy itu teman satu kampung saja di Blora. Kuliah juga bareng di UI. Cuma beda fakultas aja. Dia di Ekonomi, saya di FISIP.”
“Loh, Mas Andre ini dari Blora juga toh? Bloranya ning endi Mas? Aku yo seko Blora e. Walah, jebulane konco sak kampung iki.”
“Weleh..weleh. Omahku ning sebelahe kantor Bupati Mas. Eh, aku njaluk no teleponmu Mas. Mengko ngobrol maneh yo. Wah, dadi kilingan wangine sate aku.”
Bisa menebak kelanjutannya?
Saya yakin dialog seperti ini juga sering terjadi pada Anda. Pertanyaan saya: Mengapa Tommy merasa perlu menyebutkan—dengan bahasa Jawa pula—bahwa ia juga berasal dari Blora?
Yak, tepat! Sama persis dengan jawaban yang sering saya dengar: supaya lebih akrab. Loh, apa hubungan membicarakan tempat asal dengan keakraban?
Yang dilakukan oleh Tommy sebenarnya adalah usaha untuk melakukan matching dan mirroring. Ibarat dua pendulum dengan ukuran yang sama persis, seberapa keras pun salah satunya digerakkan, secara bertahap keduanya akan bergerak secara sinkron. Pada proses matching dan mirroring, kita berusaha untuk memahami orang lain dengan menyamakan cara berpikir, berbicara, dan bertindak, yang akan mengantarkan kita untuk merasakan state/kondisi yang sedang ia alami saat itu. Nah, jika sudah urusan state seperti ini, unconscious-lah yang berperan.
Lalu, bagaimana persisnya kita melakukan matching dan mirroring?
Kita dapat melakukannya mulai dari me-match dan mirror fisiologi, suara, posisi tubuh, gerakan tubuh, ekspresi wajah, gerakan mata, kata-kata, gerakan kepala, dll. Ketika lawan bicara Anda berbicara dengan suara rendah, misalnya, sesuaikan suara Anda dengan nada suaranya tersebut. Pada saat ia bercerita dengan bersemangat dengan nada tinggi, respon lah dengan nada yang sama. Begitu pun dengan gerakan tubuhnya. Jika ia menggerakkan kepala ke kanan ketika berbicara mengenai sesuatu hal, sesuaikan lah gerakan kepala Anda pada arah yang sama dengannya. Namun demikian, ada satu kata kunci yang harus Anda ingat ketika melakukan match dan mirror gerakan tubuh: lakukanlah hanya ketika Anda sedang merespon dan jangan ketika mereka sedang berbicara. Dengan cara ini, match dan mirror Anda akan lebih alami smooth.
Sampai di sini, sebuah pertanyaan muncul: Mungkinkan orang lain akan menyadari jika saya melakukan mirroring seperti ini?
Mungkin saja, namun pengalaman saya melakukannya beberapa tahun belakangan, saya belum pernah ‘tertangkap basah’. Pun ketika saya me-mirror seseorang yang ternyata juga pernah mempelajari NLP. Begitu ia mengatakan, “Wah, Anda lagi match and mirror saya ya?”, saya merespon, “Tentu, karena saya senang berbicara dengan Anda.” Selesai.
Well, fokus lah untuk berlatih melakukan match dan mirror secara bertahap sehingga Anda dapat melakukannya secara refleks. Dengan demikian, match dan mirror Anda bukan lagi dibuat-buat dan efek koneksinya akan semakin terasa. Namun demikian, jika Anda masih ragu-ragu, cobalah untuk pertama-tama melatih crossover mirroring, yaitu melakukan mirroring dengan bagian tubuh yang berbeda. Misalnya, lawan bicara Anda menggerakkan kaki, maka Anda menyesuaikannya dengan menggerakkan tangan. Anda bahkan bisa menyesuaikan gerakan irama nafas seseorang dengan gerakan jari Anda sesuai dengan irama nafasnya. Begitu juga dengan kecepatan bicara. Tingkatkan kecepatan bicara Anda seiring dengan meningkatnya intensitas emosi gembira mereka dan turunkan kecepatan ketika intensitas tersebut menurun kembali.
Mudah bukan?
Nah, pertanyaan selanjutnya: bagaimana kita tahu bahwa kita sudah memiliki rapport yang baik dengan seseorang?
Ada 5 hal yang bisa kita jadikan tanda (The User’s Manual for the Brain Vol I):
Cermati kesesuain gerakan, nada bicara, dan kata-kata yang Anda gunakan dengan lawan bicara Anda.
Perhatikan jika muncul semacam perasaan yang unik pada daerah perut Anda. Pada awalnya, hal ini akan terasa sedikit aneh, namun dalam perjalanan Anda akan menandainya sebagai munculnya perasaan menyatu dengan lawan bicara Anda.
Tidak lama setelah Anda mendeteksi munculnya perasaan ini, Anda akan menandai perubahan pada warna wajah lawan bicara Anda. Nah, akan mampu merasakan pula perubahan perasaan yang berefek pada perubahan warna wajah ini.
Anda akan mendengar pernyataan seperti, “Kok kayaknya kita sudah pernah kenal lama ya?” atau “Kayaknya enak ya ngobrol sama kamu”. Pernyataan seperti ini adalah interpersonal state yang umum muncul dari 2 orang yang berada dalam rapport. Masing-masing seolah feel at home.
Lakukan tes, jika lawan bicara Anda mengikuti, maka rapport Anda sudah terbangun dengan amat baik. Cobalah untuk mengubah posisi duduk, mengganti predikat yang Anda gunakan, atau bahkan mengganti subyek pembicaraan.
“Basa-basi Pak,” jawab beberapa orang.
“Hanya itu?” tanya dosen saya tadi sembari menunjukkan wajah sedikit keheranan.
“Ya, rapport itu kan misalnya waktu kita baru pertama kali bertemu dengan klien, lalu kita ajak dia bicara, tanya tentang kabarnya hari ini, dsb. Mirip basa-basi kalau kita ketemu sama orang baru,” jelas salah seorang dari rekan yang hadir waktu itu.
Well, sama dengan Anda, saya pun terheran-heran mendengar jawaban seperti ini muncul di kelas tingkat lanjut dari para mahasiswa fakultas psikologi. Namun demikian, kejadian ini menjawab pertanyaan saya selama beberapa kali menjadi asisten praktikum mata kuliah tes dan wawancara yang menuntut mahasiswa untuk berhubungan dengan orang yang baru saja mereka kenal.
Rapport dalam psikologi didefinisikan sebagai prosedur untuk membangun keakraban dalam proses komunikasi agar baik sender maupun receiver memiliki pandangan yang sama tentang hal yang dikomunikasikan sehingga proses komunikasi pun berjalan dengan efektif. Melengkapi definisi ini, NLP mengajarkan bahwa rapport adalah proses connection building agar antara pihak yang berkomunikasi berada dalam ‘gelombang’ yang sama. Tanpa rapport, kita ibarat seseorang yang memiliki keinginan untuk mencapai sebuah tempat di seberang sungai besar tanpa ada jembatan yang menjadi penghubung. Kita mungkin bisa mencapai tempat tersebut, namun tentu dengan effort yang cukup besar baik dengan cara berenang atau membuat rakit plus berjibaku dengan derasnya arus air. Memahami dan mengaplikasikan rapport akan menjadikan Anda seorang komunikator handal dengan hambatan resistensi minimal.
Nah, jika pada bahasan yang lalu kita sudah mempelajari prosedur dasar rapport building melalui sensory acuity, artikel kali ini akan menjelaskan proses kelanjutannya yang sudah sedikit saya singgung juga: matching dan mirroring.
Mempelajari NLP, saya menemukan bahwa proses membangun rapport sebenarnya berada pada level unconscious.
Tidak percaya? Bagus. Perhatikan dialog berikut ini.
“Salam kenal, saya Tommy.”
“Salam kenal juga, saya Andre. Mas Tommy dari mana Mas?”
“Oh, saya dari PT. Sumber Maju.”
“Wah, Sumber Maju? Saya punya kenalan tuh disana, namanya Santy. Mas Tommy kenal?”
“Ya jelas kenal. Kita kan satu lantai meskipun beda departemen. Mas Andre kenal dia dimana?”
“Santy itu teman satu kampung saja di Blora. Kuliah juga bareng di UI. Cuma beda fakultas aja. Dia di Ekonomi, saya di FISIP.”
“Loh, Mas Andre ini dari Blora juga toh? Bloranya ning endi Mas? Aku yo seko Blora e. Walah, jebulane konco sak kampung iki.”
“Weleh..weleh. Omahku ning sebelahe kantor Bupati Mas. Eh, aku njaluk no teleponmu Mas. Mengko ngobrol maneh yo. Wah, dadi kilingan wangine sate aku.”
Bisa menebak kelanjutannya?
Saya yakin dialog seperti ini juga sering terjadi pada Anda. Pertanyaan saya: Mengapa Tommy merasa perlu menyebutkan—dengan bahasa Jawa pula—bahwa ia juga berasal dari Blora?
Yak, tepat! Sama persis dengan jawaban yang sering saya dengar: supaya lebih akrab. Loh, apa hubungan membicarakan tempat asal dengan keakraban?
Yang dilakukan oleh Tommy sebenarnya adalah usaha untuk melakukan matching dan mirroring. Ibarat dua pendulum dengan ukuran yang sama persis, seberapa keras pun salah satunya digerakkan, secara bertahap keduanya akan bergerak secara sinkron. Pada proses matching dan mirroring, kita berusaha untuk memahami orang lain dengan menyamakan cara berpikir, berbicara, dan bertindak, yang akan mengantarkan kita untuk merasakan state/kondisi yang sedang ia alami saat itu. Nah, jika sudah urusan state seperti ini, unconscious-lah yang berperan.
Lalu, bagaimana persisnya kita melakukan matching dan mirroring?
Kita dapat melakukannya mulai dari me-match dan mirror fisiologi, suara, posisi tubuh, gerakan tubuh, ekspresi wajah, gerakan mata, kata-kata, gerakan kepala, dll. Ketika lawan bicara Anda berbicara dengan suara rendah, misalnya, sesuaikan suara Anda dengan nada suaranya tersebut. Pada saat ia bercerita dengan bersemangat dengan nada tinggi, respon lah dengan nada yang sama. Begitu pun dengan gerakan tubuhnya. Jika ia menggerakkan kepala ke kanan ketika berbicara mengenai sesuatu hal, sesuaikan lah gerakan kepala Anda pada arah yang sama dengannya. Namun demikian, ada satu kata kunci yang harus Anda ingat ketika melakukan match dan mirror gerakan tubuh: lakukanlah hanya ketika Anda sedang merespon dan jangan ketika mereka sedang berbicara. Dengan cara ini, match dan mirror Anda akan lebih alami smooth.
Sampai di sini, sebuah pertanyaan muncul: Mungkinkan orang lain akan menyadari jika saya melakukan mirroring seperti ini?
Mungkin saja, namun pengalaman saya melakukannya beberapa tahun belakangan, saya belum pernah ‘tertangkap basah’. Pun ketika saya me-mirror seseorang yang ternyata juga pernah mempelajari NLP. Begitu ia mengatakan, “Wah, Anda lagi match and mirror saya ya?”, saya merespon, “Tentu, karena saya senang berbicara dengan Anda.” Selesai.
Well, fokus lah untuk berlatih melakukan match dan mirror secara bertahap sehingga Anda dapat melakukannya secara refleks. Dengan demikian, match dan mirror Anda bukan lagi dibuat-buat dan efek koneksinya akan semakin terasa. Namun demikian, jika Anda masih ragu-ragu, cobalah untuk pertama-tama melatih crossover mirroring, yaitu melakukan mirroring dengan bagian tubuh yang berbeda. Misalnya, lawan bicara Anda menggerakkan kaki, maka Anda menyesuaikannya dengan menggerakkan tangan. Anda bahkan bisa menyesuaikan gerakan irama nafas seseorang dengan gerakan jari Anda sesuai dengan irama nafasnya. Begitu juga dengan kecepatan bicara. Tingkatkan kecepatan bicara Anda seiring dengan meningkatnya intensitas emosi gembira mereka dan turunkan kecepatan ketika intensitas tersebut menurun kembali.
Mudah bukan?
Nah, pertanyaan selanjutnya: bagaimana kita tahu bahwa kita sudah memiliki rapport yang baik dengan seseorang?
Ada 5 hal yang bisa kita jadikan tanda (The User’s Manual for the Brain Vol I):
Cermati kesesuain gerakan, nada bicara, dan kata-kata yang Anda gunakan dengan lawan bicara Anda.
Perhatikan jika muncul semacam perasaan yang unik pada daerah perut Anda. Pada awalnya, hal ini akan terasa sedikit aneh, namun dalam perjalanan Anda akan menandainya sebagai munculnya perasaan menyatu dengan lawan bicara Anda.
Tidak lama setelah Anda mendeteksi munculnya perasaan ini, Anda akan menandai perubahan pada warna wajah lawan bicara Anda. Nah, akan mampu merasakan pula perubahan perasaan yang berefek pada perubahan warna wajah ini.
Anda akan mendengar pernyataan seperti, “Kok kayaknya kita sudah pernah kenal lama ya?” atau “Kayaknya enak ya ngobrol sama kamu”. Pernyataan seperti ini adalah interpersonal state yang umum muncul dari 2 orang yang berada dalam rapport. Masing-masing seolah feel at home.
Lakukan tes, jika lawan bicara Anda mengikuti, maka rapport Anda sudah terbangun dengan amat baik. Cobalah untuk mengubah posisi duduk, mengganti predikat yang Anda gunakan, atau bahkan mengganti subyek pembicaraan.
Labels:
NLP